Thursday, July 12, 2018

Polemik Presiden Threshold



oleh Esep Regan Pribadi
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan

“Kebahagiaan rakyat, itulah sebagai Undang-undang tertinggi”
Marcus Cullius Cicero
Baru-baru ini publik sedikit digemparkan oleh fenomena politik yang muncul menjelang perhelatan akbar pilpres 2019, yaitu terkait dengan Presiden Threshold yang diibaratkan itu seperti  “Tahu bulat digoreng dadakan”, kenapa demikian karena jika melihat historis perjalanan demokrasi di Indonesia sebetulnya  istilah presiden treshold ini sudah tidak asing lagi di dengar ditelinga para politisi di Indonesia. Karena sejarah mencatat di dalam ketentuan ambang batas presiden (presiden treshold) yang diatur di dalam Pasal 222 Undang-undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, telah diterapkan pada penyelenggaraan pemilu sebelumnya yaitu pada Pilpres tahun 2009 dan Pilpres tahun 2014 ditambah lagi aturan ambang batas ini juga telah diterapkan pada pilkada tahun 2015 dan 2016. Pertanyaannya mengapa dulu dua kali pilpres amabang batas presiden tidak ramai namun sekarang sebaliknya ? Ada apa dibalik pro-kontra presiden threshold khususnya di momentum menjelang pilpres 2019 ? Apakah ada udang dibalik batu? Kita tidak tahu. Tapi sebelum membahas lebih dalam mengenai hal itu penulis akan memberikan sedikit pencerdasan terkait apa itu yang dinamakan presiden threshold.

Apa itu Presiden Threshold ?
Threshold adalah bahasa Inggris, yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia dapat berarti ambang batas. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat berarti ambang batas. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ambang batas diartikan sebagai : “tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi”. Threshold atau ambang batas ini diadopsi dalam sistem pemilu, sebagai formulasi perhitungan suara dan kursi perwakilan proposional. Threshold juga dipahami sebagai sistem perwakilan proposional, angka dan proposional minimum, dari jumlah pemilih untuk menjadi perwakilan di parlemen. Ambang batas tersebut dipaksakan untuk di laksanakan dalam pemilu berdasarkan aturan Perundang-Undangan yang berlaku, sehingga partai yang tidak mendapat suara ambang batas tidak berhak mendapat kursi atau tidak dapat diikutkan dalam  dalam perhitungan kursi. Sederhananya seperti ini di dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, partai politik atau koalisi partai politik yang tidak mencapai ambang batas, tidak berhak mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Respon Para Praktisi dan Akademisi
Sejak ditandatangani pada bulan agustus 2017, ambang batas presiden atau Presiden Shreshold terus menuai banyak perdebatan di kalangan para politisi yaitu partai-partai terutama yang paling kontras itu antara partai pendukung pemerintah dan partai oposisi. Tidak kalah dengan hal itu bahkan polemik ini juga turut menyedot perhatian para praktisi dan akademisi. Sebanyak 12 praktisi dan akademisi tersebut melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para penggugat tersebut sedikitnya sudah dua kali melakukan mengajukan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden yaitu pada bulan Januari dan bulan juni kemarin, yang membahas terkait pada Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Namun usaha dari para penggugat belum membuahkan hasil karena dua kali gugatan tersebut berakhir dengan penolakan oleh MK. Meskipun demikian para penggugat tersebut berasumsi bahwa yang namanya ambang batas yang diatur dalam pasal tersebut bisa mengekang kedaulatan dan kebebasan rakyat dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih lagi katanya dengan adanya Presiden Threshold ini dapat mengakibatkan munculnya calon Presiden tunggal, yaitu Jokowi yang menjadi pertahana, kondisi tersebut membuat kwatir para akademisi dan praktisi karena dapat mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Pragmatisme Partai Politik
            Menarik memang jika melihat dinamika partai politik sekarang, jika tertuju kepada pilpres 2019 sudah kita ketahui cukup banyak partai politik yang sudah mendeklarasikan diri  mendukunng pertahana yaitu Presiden Jokowi untuk diusung menjadi calon Presiden 2019-2024. Jika merujuk kepada teori koalisi menurut William Riker, partai politik di Indonesia kebanyakan cenderung menggunakan model pilihan rasional dimana koalisi dibuat semata-mata hanya untuk mendapatkan bagian kekuasaan dan keuntungan. Pragmatisme ini banyak terjadi pada partai-partai pendukung  Jokowi, karena cukup tingginya elaktabilitas jokowi ini membuat sebagian partai seolah-olah minder mengusung kadernya sendiri sehingga pada akhirnya jalan pintas mereka tidak lain yaitu mendukung Jokowi. Dan dinamika tersebut pun berdampak kepada partai-partai diluar koalisi dimana mereka kesulitan menacri kader yang mampu mengimbangi Jokowi untuk bertarung di perhelatan akbar Pemilihan Presiden periode 2019-2024 yang akan datang.

Realitas Rakyat Indonesia
Agar perut rakyat terisi, keadaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya. – M. Hatta
            Terlepas dari pro-kontra mengenai presiden threshold yang seolah-olah terjadi dari kubu pemerintah dan oposisi, diharapkan essensinya tetap yaitu untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan perorangan, kelompok, maupun partai politik. karena dibalik memilih seorang pemimpin rakyat tentunya selalu menanti angin segar yang akan membawa perubahan dan harapan baru kearah yang lebih baik. Pada akhirnya kembali lagi bahwa kedaulatan tertinggi mutlak berada di tangan rakyat, karena siapapun yang nanti akan maju mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia periode 2019-2024 tentunya harus sosok terbaik yang akan membawa perubahan-perubahan besar untuk Indonesia.
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: