oleh Esep
Regan Pribadi
Mahasiswa
S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
“Kebahagiaan
rakyat, itulah sebagai Undang-undang tertinggi”
Marcus
Cullius Cicero
Baru-baru
ini publik sedikit digemparkan oleh fenomena politik yang muncul menjelang
perhelatan akbar pilpres 2019, yaitu terkait dengan Presiden Threshold yang diibaratkan itu
seperti “Tahu bulat digoreng dadakan”,
kenapa demikian karena jika melihat historis perjalanan demokrasi di Indonesia
sebetulnya istilah presiden treshold ini
sudah tidak asing lagi di dengar ditelinga para politisi di Indonesia. Karena sejarah
mencatat di dalam ketentuan ambang batas presiden (presiden treshold) yang diatur di dalam Pasal 222 Undang-undang 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, telah diterapkan pada penyelenggaraan pemilu
sebelumnya yaitu pada Pilpres tahun 2009 dan Pilpres tahun 2014 ditambah lagi
aturan ambang batas ini juga telah diterapkan pada pilkada tahun 2015 dan 2016.
Pertanyaannya mengapa dulu dua kali pilpres amabang batas presiden tidak ramai
namun sekarang sebaliknya ? Ada apa dibalik pro-kontra presiden threshold khususnya di momentum
menjelang pilpres 2019 ? Apakah ada udang dibalik batu? Kita tidak tahu. Tapi
sebelum membahas lebih dalam mengenai hal itu penulis akan memberikan sedikit
pencerdasan terkait apa itu yang dinamakan presiden threshold.
Apa itu Presiden Threshold ?
Threshold
adalah bahasa Inggris, yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia dapat berarti
ambang batas. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat berarti
ambang batas. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ambang
batas diartikan sebagai : “tingkatan batas yang masih dapat diterima atau
ditoleransi”. Threshold atau ambang batas ini diadopsi dalam sistem pemilu,
sebagai formulasi perhitungan suara dan kursi perwakilan proposional. Threshold juga dipahami sebagai sistem
perwakilan proposional, angka dan proposional minimum, dari jumlah pemilih
untuk menjadi perwakilan di parlemen. Ambang batas tersebut dipaksakan untuk di
laksanakan dalam pemilu berdasarkan aturan Perundang-Undangan yang berlaku,
sehingga partai yang tidak mendapat suara ambang batas tidak berhak mendapat
kursi atau tidak dapat diikutkan dalam
dalam perhitungan kursi. Sederhananya seperti ini di dalam pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, partai politik atau koalisi partai politik yang
tidak mencapai ambang batas, tidak berhak mengajukan calon Presiden dan Wakil
Presiden.
Respon Para Praktisi dan Akademisi
Sejak
ditandatangani pada bulan agustus 2017, ambang batas presiden atau Presiden Shreshold terus menuai banyak perdebatan
di kalangan para politisi yaitu partai-partai terutama yang paling kontras itu
antara partai pendukung pemerintah dan partai oposisi. Tidak kalah dengan hal
itu bahkan polemik ini juga turut menyedot perhatian para praktisi dan
akademisi. Sebanyak 12 praktisi dan akademisi tersebut melakukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Para penggugat tersebut sedikitnya sudah dua kali
melakukan mengajukan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden yaitu
pada bulan Januari dan bulan juni kemarin, yang membahas terkait pada Pasal 222
Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Namun usaha
dari para penggugat belum membuahkan hasil karena dua kali gugatan tersebut
berakhir dengan penolakan oleh MK. Meskipun demikian para penggugat tersebut
berasumsi bahwa yang namanya ambang batas yang diatur dalam pasal tersebut bisa
mengekang kedaulatan dan kebebasan rakyat dalam memilih Presiden dan Wakil
Presiden. Terlebih lagi katanya dengan adanya Presiden Threshold ini dapat mengakibatkan munculnya calon Presiden tunggal,
yaitu Jokowi yang menjadi pertahana, kondisi tersebut membuat kwatir para
akademisi dan praktisi karena dapat mengancam keberlangsungan demokrasi di
Indonesia.
Pragmatisme Partai Politik
Menarik memang jika melihat dinamika
partai politik sekarang, jika tertuju kepada pilpres 2019 sudah kita ketahui
cukup banyak partai politik yang sudah mendeklarasikan diri mendukunng pertahana yaitu Presiden Jokowi
untuk diusung menjadi calon Presiden 2019-2024. Jika merujuk kepada teori
koalisi menurut William Riker, partai politik di Indonesia kebanyakan cenderung
menggunakan model pilihan rasional dimana koalisi dibuat semata-mata hanya
untuk mendapatkan bagian kekuasaan dan keuntungan. Pragmatisme ini banyak
terjadi pada partai-partai pendukung
Jokowi, karena cukup tingginya elaktabilitas jokowi ini membuat sebagian
partai seolah-olah minder mengusung kadernya sendiri sehingga pada akhirnya
jalan pintas mereka tidak lain yaitu mendukung Jokowi. Dan dinamika tersebut
pun berdampak kepada partai-partai diluar koalisi dimana mereka kesulitan
menacri kader yang mampu mengimbangi Jokowi untuk bertarung di perhelatan akbar
Pemilihan Presiden periode 2019-2024 yang akan datang.
Realitas Rakyat Indonesia
Agar perut rakyat terisi,
keadaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena
panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya. – M. Hatta
Terlepas dari pro-kontra mengenai
presiden threshold yang seolah-olah
terjadi dari kubu pemerintah dan oposisi, diharapkan essensinya tetap yaitu
untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan perorangan, kelompok, maupun partai
politik. karena dibalik memilih seorang pemimpin rakyat tentunya selalu menanti
angin segar yang akan membawa perubahan dan harapan baru kearah yang lebih
baik. Pada akhirnya kembali lagi bahwa kedaulatan tertinggi mutlak berada di
tangan rakyat, karena siapapun yang nanti akan maju mencalonkan diri menjadi
Presiden Indonesia periode 2019-2024 tentunya harus sosok terbaik yang akan
membawa perubahan-perubahan besar untuk Indonesia.
0 comments: