Oleh Robby Xandria Mustajab NIM 1507
Mahasiswa S1 Pendidikan Kewarganegaraan
Sejarah mencatat bahwa negara
Indonesia pernah mengalami perubahan dalam sistem pemerintahan nya, yaitu saat
reformasi tahun 1998. Dan salah satu tuntutan reformasi saat itu adalah dengan
dilakukan nya perubahan di dalam tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang kala itu
cenderung tidak memberi ruang kepada masyarakat untuk mengutarakan aspirasi
nya. Sampai saat ini pun kita sepakat bahwa peristiwa sebelum reformasi 1998
adalah kecacatan dalam berDemokrasi di Indonesia. Mungkin perlu saya ingatkan
kembali teori Abraham Lincoln, "Demokrasi itu dari rakyat, untuk rakyat
dan oleh rakyat". Lalu ketika ruang aspirasi ditutup, apakah masih
pantas dikatakan Indonesia menganut sistem Demokrasi?
Pepatah mengatakan bahwa pengalaman
adalah guru terbaik, dan sebodoh bodohnya keledai tak akan pernah jatuh ke
lubang yang sama. Kita sadar bahwa pengalaman buruk sistem otoriter di masa
lalu yang menolak masukan dan anti kritik adalah suatu kegagalan berdemokrasi,
dan saat ini nampaknya kita harus siaga kembali menelan pil pahit cacatnya
demokrasi di Indonesia. Pasalnya di Dewan Perwakilan Rakyat sana sedang sibuk
membangun "Dinding pertahanan" untuk mereka, bagaimana tidak? ada 3
pasal kontroversial dalam revisi Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR,DPR,
DPRD, DPD :
1. Pasal 73 tentang pemanggilan paksa,"DPR berhak
melakukan pemanggilan paksa untuk yang mangkir 3x dari pemanggilan anggota
dewan dan polisi pun bisa dilibatkan untuk menyandra selama 30 hari dalam
pemanggilan paksa yang dimandatkan oleh parlemen"
2. Pasal 122, "Mahkamah Kehormatan Dewan dapat
mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap perorangan, kelompok, atau
badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR"
3. Pasal 245,"Setiap aparat penegak hukum yang
berhak memeriksa anggota dewan atas kasus tindak pidana harus mendapat izin
dari Presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan."
1. Kita bahas pasal 73. Pasal ini terjadi akibat tidak
hadirnya KPK dalam pemanggilan yang dilakukan oleh pansus
angket DPR. Pasal ini dimana logikanya? Ketika
Kepolisian juga dijadikan alat kekuasaan para wakil rakyat yang terhormat
disana untuk bertindak sesuka nya untuk menahan seseorang hanya karena tidak
datang saat dipanggil.
2. Lalu pasal 122. Ketika para wakil rakyat yang
terhormat ini sudah anti kritik dan masukan masyarakat, lalu untuk apa ada
mereka? Mereka seharusnya ada untuk menerima aspirasi, masukan maupun kritikan
rakyat bukan malah antipati terhadap keinginan rakyat padahal mereka dipilih
dan mengemban amanat rakyat.
3. Pasal 245. Ini jelas mengkerdilkan tugas dan fungsi
dari aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya, jika tiap kasus yang
ditemui harus ada izin. Ya percuma saja ada penyidikan dan penyelidikan oleh
tim penyidik KPK (misalnya) jika anggota DPR disana berlindung di balik dinding
birokrasi atau "Izin MKD dan Presiden" yang membuat ruang kepada
oknum pejabat pemerintah yang diduga korupsi untuk sedikitnya memiliki waktu
untuk "merapihkan" harta kotor mereka. Akhirnya kerdilah KPK.
Revisi Undang-Undang MD3 ini jika terealisasikan
memang akan benar-benar kembali membawa kita pada masa orde baru dimana kritik
dan saran itu menjadi sesuatu yang haram dilakukan oleh rakyat kepada
pemerintahnya. Tugas kita selaku mahasiswa mengawal terus setiap
kebijakan yang cenderung mundur dan primitif seperti revisi Undang-Undang MD3
ini.
Untuk para anggota dewan terhormat yang duduk disana,
jika hanya ingin diberi pandangan dan masukan yang baik-baik saja dan tidak
siap bahkan tidak mau di kritik dan diberi masukan oleh rakyat Indonesia
alangkah lebih baik jika menjabat sebagai anggota dewan di negara lain saja
yang memiliki sistem anti kritik rakya.
Anggap saja tulisan ini sebagai saran bukan kritikan,
karena kan jika mengkritik "kehormatan" DPR dan anggota DPR bisa
ditindak, untung ini saran.
Rakyat Indonesia,
Robby Xandria Mustajab
0 comments: