Monday, February 19, 2018

Menyoal 'Dinding Pertahanan' Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Saat Ini


Oleh Robby Xandria Mustajab NIM 1507
Mahasiswa S1 Pendidikan Kewarganegaraan



Sejarah mencatat bahwa negara Indonesia pernah mengalami perubahan dalam sistem pemerintahan nya, yaitu saat reformasi tahun 1998. Dan salah satu tuntutan reformasi saat itu adalah dengan dilakukan nya perubahan di dalam tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang kala itu cenderung tidak memberi ruang kepada masyarakat untuk mengutarakan aspirasi nya. Sampai saat ini pun kita sepakat bahwa peristiwa sebelum reformasi 1998 adalah kecacatan dalam berDemokrasi di Indonesia. Mungkin perlu saya ingatkan kembali teori Abraham Lincoln, "Demokrasi itu dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat". Lalu ketika ruang  aspirasi ditutup, apakah masih pantas dikatakan Indonesia menganut sistem Demokrasi?
Pepatah mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik, dan sebodoh bodohnya keledai tak akan pernah jatuh ke lubang yang sama. Kita sadar bahwa pengalaman buruk sistem otoriter di masa lalu yang menolak masukan dan anti kritik adalah suatu kegagalan berdemokrasi, dan saat ini nampaknya kita harus siaga kembali menelan pil pahit cacatnya demokrasi di Indonesia. Pasalnya di Dewan Perwakilan Rakyat sana sedang sibuk membangun "Dinding pertahanan" untuk mereka, bagaimana tidak? ada 3 pasal kontroversial dalam revisi Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR,DPR, DPRD, DPD :
1. Pasal 73 tentang pemanggilan paksa,"DPR berhak melakukan pemanggilan paksa untuk yang mangkir 3x dari pemanggilan anggota dewan dan polisi pun bisa dilibatkan untuk menyandra selama 30 hari dalam pemanggilan paksa yang dimandatkan oleh parlemen"
2. Pasal 122, "Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap perorangan, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR"
3. Pasal 245,"Setiap aparat penegak hukum yang berhak memeriksa anggota dewan atas kasus tindak pidana harus mendapat izin dari Presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan."
1. Kita bahas pasal 73. Pasal ini terjadi akibat tidak hadirnya KPK dalam pemanggilan yang dilakukan oleh pansus 
angket DPR. Pasal ini dimana logikanya? Ketika Kepolisian juga dijadikan alat kekuasaan para wakil rakyat yang terhormat disana untuk bertindak sesuka nya untuk menahan seseorang hanya karena tidak datang saat dipanggil.
2. Lalu pasal 122. Ketika para wakil rakyat yang terhormat ini sudah anti kritik dan masukan masyarakat, lalu untuk apa ada mereka? Mereka seharusnya ada untuk menerima aspirasi, masukan maupun kritikan rakyat bukan malah antipati terhadap keinginan rakyat padahal mereka dipilih dan mengemban amanat rakyat.
3. Pasal 245. Ini jelas mengkerdilkan tugas dan fungsi dari aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya, jika tiap kasus yang ditemui harus ada izin. Ya percuma saja ada penyidikan dan penyelidikan oleh tim penyidik KPK (misalnya) jika anggota DPR disana berlindung di balik dinding birokrasi atau "Izin MKD dan Presiden" yang membuat ruang kepada oknum pejabat pemerintah yang diduga korupsi untuk sedikitnya memiliki waktu untuk "merapihkan" harta kotor mereka. Akhirnya kerdilah KPK.

Revisi Undang-Undang MD3 ini jika terealisasikan memang akan benar-benar kembali membawa kita pada masa orde baru dimana kritik dan saran itu menjadi sesuatu yang haram dilakukan oleh rakyat kepada pemerintahnya.  Tugas kita selaku mahasiswa mengawal terus setiap kebijakan yang cenderung mundur dan primitif seperti revisi Undang-Undang MD3 ini.
Untuk para anggota dewan terhormat yang duduk disana, jika hanya ingin diberi pandangan dan masukan yang baik-baik saja dan tidak siap bahkan tidak mau di kritik dan diberi masukan oleh rakyat Indonesia alangkah lebih baik jika menjabat sebagai anggota dewan di negara lain saja yang memiliki sistem anti kritik rakya.

Anggap saja tulisan ini sebagai saran bukan kritikan, karena kan jika mengkritik "kehormatan" DPR dan anggota DPR bisa ditindak, untung ini saran.

Rakyat Indonesia,
Robby Xandria Mustajab

Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: