Friday, December 8, 2017

MAHA STORY


Karya : Fajar Bagja Gumilar Winata 1505909
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan


Kerap kali selalu muncul pertanyaan dan pernyataan klasik yang kerap kali dirasakan mahasiswa

"jar, kuliah dimana?"
"Bandung?"
"Jurusan apa?"
"Lah ngapain jauh-jauh "

Sejujurnya sampai saat ini , belum pernah ada sedikitpun rasa sesal kenapa harus merantau hanya untuk sekolah di universitas yang di dekat rumah pun ada. Satu-satunya penyesalan adalah, setiap diberikan kesempatan pulang ke rumah aku tidak pernah bisa memberikan sambutan kepada orang tua yang sampai saat ini masih menjadi alasan utama untuk pulang yaitu ibu selayaknya anak-anak yang berbakti pada orang tuanya. Aku juga mempunyai ayah , sama seperti orang lain yang berbeda hanya saja tidak bisa "lagi" bercengkrama dan bercanda gurau , aku sadar ibuku semakin tua baik fisik maupun cara berbicara.

Pasti ada yang tanya, "Kenapa nggak pulang aja tiap minggu? Kan kalau naik motor lebih gampang terus mamah ada temennya"

Betul. Aku sebenarnya bukan tidak mampu, tidak ingin ataupun tidak sempat. Tapi, ada suatu malam di semester awal aku kuliah, selalu muncul paradigma tidak mau mengalah yang kata orang sih itu fajar banget , muncul pemikiran bahwa "ayah saja dulu bisa kuat merantau bahkan hingga ke negeri sebrang tanpa kabar sekalipun , aku tau , jadi anak laki-laki harus tahan banting, jaga diri, mandiri sebelum akhirnya cari uang sendiri . Pulang bagiku hanyalah sebatas memastikan keadaan ibuku baik-baik saja, terlepas dari itu aku selalu berharap saudaraku bisa sukses kelak suatu saat nanti , sepahit pahitnya kopi telah ayah minum , berkali kali , dengan kurun waktu yang cukup lama hingga akhirnya semanis manisnya gula bisa ia nikmati "

Dari situ, ada pesan yang sebenarnya tidak diucapkan langsung, akan tetapi aksi nyata sebagai seorang ayah yang harus menjadi contoh untuk anak-anaknya "Akan ada saatnya kamu akan pergi yang benar pergi. Rumahmu saat ini bukan lagi rumah bagi kamu kelak. Kamu akan membangun sendiri rumah untukmu dan orang-orang asing yang akan jadi bagian dari kehidupanmu. Kamu akan berjuang sendiri. Kamu akan memimpin kerajaan terbesar dalam hidupmu kelak . Dan tentunya harus bisa berjuang sendiri. Mengulang apa yang kami lakukan dulu, yaa . Bersama wanita yang telah melahirkanmu . Dan aku tau kamu dapat melakukannya lebih baik daripada aku "

Maka dari itu, aku pikir caraku untuk jarang pulang adalah caraku yang paling kejam terhadap diri sendiri untuk bisa sesuai dengan pesan yang aku ambil paksa itu .


Bandung, beserta jutaan pesonanya, manusia-manusianya, siang harinya yang sangat membakar, malam hingga pagi harinya yang selalu diselimuti embun, warkop dan kafe yang akrab menjadi saksi keluhan akhir bulanku, lampu jalan yang berbias setiap malam, kota kembang yang meneduhkan, kuliner yang mengenyangkan, Taman kota yang ramai, adat istiadan dan latar belakang yang beragam , cilimus, ledeng dan geger kalong yang dingin, kemacetan tiada henti, kota sejuta tongkrongan, ramainya kendaraan plat luar kota setiap akhir pekan, nongkrong di warkop mang yus yang enak dan nyaman tiada tara meskipun harga kadang membuat sesak, pecel lele geger arum dengan kol goreng bermandikan minyak, angkringan ITB dengan pengamen waria 24 jam, warteg cempaka yang super murah, KPAD yang selalu menjadi tempat aku mengonteskan burung peliharaanku, riuhnkota dengan kemerlip cahaya lampu, McD yang selalu menjadi saksi destinasinpertamaku kala aku berkenalan, Hokben dengan bau bau sedap yang selalu tercium hingga jalan raya, atau suasana berkendara malam melewati flyover dengan kecepatan tinggi walaupun banyak isu begal , perjalanan setiabudhi - permata buah batu yang menjadi saksi dikala aku merasa bosan , game online yang setia update tiap minggu demi menemani kegabutanku, dan gadis belia yang sudah lihay ber-make up , dan gurauan orang-orang saiko disekitar..... yang sesederhana itu bisa membuat kota kembang ini punya tempat istimewa disetiap sudutnya.

Tapi, kebenaran yang paling aku hindari adalah kenyataan bahwa aku lebih mengenal tanah rantau ketimbang tanah kelahiran adalah satu-satunya kebenaran yang paling tidak ingin aku akui. Tapi majalengka tempat aku dibesarkan bukan hanya sebatas daerah ternyaman sampai kini. Tapi kenyataannya majalengka adalah saksi , dimana aku awalnaya merangkak hingga mulai bisa berjalan lurus , saksi yang awalnya aku hanya bisa berbisik hingga berteriak , saksi dari awalnya aku anak cengeng hingga menjadi pria dewasa . Mungkin :D

Meskipun begitu, kemanapun langkah ini tertuju, ke kota, kabupaten, kecamatam, desa , bahkan gunung - gunung yang pernah aku daki serta alam bebas lainyang pernah aku hinggapi , negara lain yang menjadi cita-citaku untuk berlayar, kepada rumah pula lah aku berlabuh. Kdan kepada orang tualah aku tersungkuh.

Kuliah di perantauan adalah cara paling asyik menikmati proses kehidupan yang abstrak, menikmatk jeda dalam hidup yang maya ini. Sejauh apapun tanah rantaumu tak apa , pergilah , kau akan tahu bahwa yang kamu tahu tentang anak kost seperti Indomie , promag di akhir bulan dan tempat nongkrong super murah itu benar-benar ada, dan itu yang akan kami rindukan.

Menulis bagiku hanya sebatas emosi , meskipun tidak bisa menulis untuk dibagikan ke orang banyak seperti tokoh-tokoh sastra. kau masih bisa membagikannya ke buah kerja keras mu di malam jumat sunah rasul malam itu , kelak kau akan berkata, "Dulu papah banyak mantannya" atau "Dulu papah sering berburu wifi gratis dimanapun itu" atau "Dulu papah so soan berlogat atau gaya bicara seperti orang bandung biar dikatain gaul " ataupun cerita cerita bersama teman-teman Sepergoblokanmu di kampus

Dimanapun dan kapanpun, hijrah itu adalah nikmat. Hijrah adalah sesuatu yang harus kamu nikmati, kamu rasakan setiap detiknya, setiap momennya . Terkadang banyak momen yang terlalu indah, terlalu asik yang tidak bisa kamu abadikan oleh kamera ataupun media lain.

Kenikmatan yang pada akhirnya menyadarkan kita bahwa berpindah-pindah tempat, berganti-ganti cita-cita adalah pemanasan yang tepat sebelum kita menetap setelah akhir hayat.

Ttd : yang sedang menandai tanggal oleh lingkaran bulat meray di perantuan yang entah kapan akan pulang .

Bandung , 16 november 2017

(Terinspirasi dari tulisan dengan judul merantau; menikmati jeda tentang kota Solo, oleh Ghiyats Ramadhan. Dengan beberapa perubahan. Versi aslinya: aesna.tumblr.com)

Terima kasih kepada penulis sesungguhnya yang dengan begitu indahnya merangkai tulisan hingga dapat menginspirasi saya dan membuat saya mengharu biru. Salam!
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

2 comments: