Karya: Hilman Gufron NIM 1507548
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaran
Sudah menjadi kebiasaan kita sebagai manusia stereotip. Kita
selalu melakukan generalisasi terhadap sesuatu. Hanya karena teman kita yang
keturunan china pelit misalnya, kita seketika mencap bahwa keturunan china itu
pelit. Hanya karena teman kita yang orang papua keras kepala, kita tanpa pikir
panjang mengatakan bahwa semua orang papua itu keras kepala. Bahkan dalam
urusan agama. Karena kebanyakan pengeboman rumah ibadah dilakukan oleh orang
yang beragama Islam, Jadilah Islam yang dijadikan koban streotip. Untuk itulah
diciptakan sebuah kata ajaib yang dapat memutus rantai generalisasi ini, yaitu
kata “oknum”. Oknum adalah kata mujarab yang dapat menghancurkan stereotip.
Oknum juga dapat menjaga integritas dan kepercayaan diri Instansi yang bisa
dibilang level tinggi sekalipun. Kepolisian bisa mengatakan polisi yang
mengonsumsi narkoba itu oknum. Polisi yang tertangkap pungli itu oknum. Polisi
yang Korupsi itu oknum. Itulah fungsi dari oknum.
Salah satu korban lain dari stereotip adalah politik.
Politik di mata masyarakat adalah sesuatu yang negatif. Hal ini disebabkan
oknum-oknum pelaku politik memberikan gambaran yang mengerikan bagi masyarakat
mengenai politik. Politik itu seperti tempat kotor, penuh dengan mafia,
penjahat, manusia haus kekuasaan, mencari musuh dan permainan berbahaya. Masih
teringat di telinga ketika seorang teman ditanya. “Katanya kamu suka politik?
Kenapa malah ambil PKn?”. Jawabnya “Orang tua bilang ga boleh belajar kaya
begituan”. Ilmu Politik sudah seperti ilmu hitam. Sepertinya itulah gambaran
besar masyarakat memandang dunia politik saat ini. Setidaknya gambaran dunia
hukum bisa menandingi stereotip buruk terhadap dunia politik. Bahkan tidak
sedikit masyrakat bisa dikatakan sangat anti terhadap politik.
Sejatinya, Politik adalah Volunteerisme atau
Kesukarelaan. Kebanyakan adalah Individu-individu yang sudah mapan yang peduli
terhadap masyarakat dengan mengabdikan diri sebagai pelayan masyarakat. Politik
bukan melulu soal kekuasaan. Manusia yang terjun ke dunia politik adalah manusia
yang rela untuk memperhatikan kepentingan umum di samping kepentingan
pribadinya. Itulah sebabnya mereka disebut para sukarelawan “The Volunteer”.
Lihat bagaimana negara maju seperti Singapura yang memperlihatkan kedewasaan
berpolitik. Dalam masyarakat yang sudah mapan, adalah sebuah keberuntungan
adanya individu yang siap untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Bahkan
hampir semua pejabat negara Singapura tidak menerima gajinya dan justru
disumbangkan kepada negara. Lalu mengapa Indonesia berbeda? Mengapa masyarakat
memandang dunia politik dengan stereotip buruk? Mengapa semakin banyak manusia
yang anti-politik?. Bisa jadi karena salah satunya, oknum-oknum politik yang
jauh lebih banyak daripada politikus sejati. Aneh memang, oknum justru
merupakan mayoritas.
Di Indonesia, Politik adalah salah satu mata pencaharian. Itu
benar-benar terlihat dengan jelas. Jabatan Politik adalah sebuah profesi.
Pernah dilakukan sebuah penelitian oleh lembaga survei yang juga didampingi KPK
bahwa biaya kampanye seorang calon tidak sebanding dengan Gaji yang diterima
oleh nya jika ia terpilih. Calon Kepala Daerah misalnya, membutuhkan dana untuk
kampanye sekitar 25 juta rupiah untuk setiap desa/titik. Bisa dibayangkan
jumlah dana kampanye jika dikalikan dengan jumlah desa. Itupun hanya untuk
kampanye semata. Belum untuk biaya lain. Lalu berapa gaji yang diterimanya?
Ternyata hanya berkisar 20 juta rupiah per bulan untuk setiap gaji kotornya.
Melihat hasil survei ini, bahkan beberpa teman saya yang berminat jadi walikota
pun sedikit mengkerut mukanya. Namun yang mengejutkan adalah semua calon yang
sudah terpilih dan menjadi kepala daerah justru kekayaannya meningkat setelah
mereka terpilih. Baik meningkat dengan kuantitas sedikit maupun meningkat
secara signifikan. Belum lagi masalah kaderisasi partai yang salah. Yang juga
semakin mencoreng dunia politik. Bagaimana mungkin kader yang telah mengabdi
puluhan tahun dari bawah bisa kalah untuk dicalonkan ketika akan disaingkan
hanya dengan seseorang yang muncul tiba-tiba. Money Politic kah?
Entah lah.
Lalu kendala lain dalam menjadikan Politik sebagai Volunteerisme adalah
ekonomi yang mapan. Tidak bisa dipungkiri bahwa yang menyebabkan politik
menjadi sebuah mata pencaharian ataupun money politik dapat berkembang subur
adalah ekonomi masayarakat dan para pelaku politik yang tidak mapan. Tidak
mungkin seseorang bisa masuk politik karena sukarela jika melihat kekotoran
dunia Polirik. Tidak mungkin suara masyarakat bisa dibeli dengan uang jika
masyarakatnya sudah tidak memikirkan uang lagi. Jadi, bagi beberapa orang, saat
ini adalah hal yang mustahil memupuk nilai Volunteerisme di
Indonesia. Maka muncul juga ide calon independen. Calon yang hendak masuk dunia
politik tanpa Partai. Deparpolisasi ini sebenarnya bukan solusi. Pemimpin
daerah yang hendak membuat kebijakan harus berdiskusi atau dalam hal
ini berdiplomasi politik dengan wakil rakyat seperti DPRD yang notabene berasal
dari Partai. Oleh karena itulah, partai adalah unsur utama dalam dunia
demokrasi. Menghindar dari partai bukanlah pemecahan masalah.
Sosialisasi partai politik sangat diperlukan. Jangan sampai
kebencian terhadap politik membuat kita enggan untuk mempelajari Politik.
Anti-Politik bukanlah sebuah keniscayaan. Pedagang kaki lima harus memahami
Politik. Politik lah yang menentukan zona-zona kalian boleh berdagang dan tidak
boleh berdagang. Pengusaha harus memahami politik. Politik lah yang menentukan
jumlah pajak yang harus kalian bayar setiap tahunnya. Dokter juga harus
memahami politik. Siapa menduga misalnya jika berganti kepemimpinan politik
dengan kebijakan pengiriman dokter ke tempat terpencil. Tidak lupa Guru juga.
Kepemimpinan Politik yang berganti dan berubah bisa mengurangi gaji, atau
bahkan menghapus gaji ketiga belas kalian. Eh, bukan itu saja, yang paling utama
kepemimpinan politik yang berganti bisa mengubah kurikulum juga. Membuat repot
kan?
0 comments: