Monday, September 21, 2020

Paid Promote: Penting Walau Kadang Ngeselin

 

pp

Sumber Ilustrasi: Cerita Pengusaha

Sebagai mahasiswa yang sudah memasuki masa akhir di kehidupan kampus, kepedulian saya terhadap himpunan semakin lama semakin menurun. Bagaimana jalannya kaderisasi, ribut-ribut apa yang terjadi, hingga kapan himpunan membuat kegiatan, tidak lagi saya acuhkan. Keengganan saya untuk bertanya ataupun melihat akun sosial media himpunan memperparah buta informasi ini.
Hanya ada satu hal yang membuat saya kembali terkoneksi dengan himpunan. Paid promote. Saat saya membuka Intagram lalu melihat iklan yang sama diunggah oleh beberapa akun baik di stories maupun di feed, saya tahu bahwa himpunan akan membuat suatu kegiatan. Terima kasih paid promote.
Selama pandemi berlangsung dan dana usaha ‘konvensional’ tidak bisa dijalankan, kita akan lebih sering berjumpa dengan paid promote. Peristiwa ini dapat diambil sisi positif oleh mahasiswa yang masih aktif berkegiatan khususnya bagi mereka yang sering ditunjuk menjadi divisi danus. Tidak perlu lagi jualan cireng, menyimpannya di lorong fakultas, lalu menutup hari dengan mengetahui fakta bahwa harus nombok karena banyak yang tidak bayar.
Berbeda dengan dana usaha lain, paid promote memiliki konsep yang inovatif. Secara singkat konsep paid promote itu mengumpulkan banyak akun hingga memiliki jumlah akun dan followers yang banyak, yang kemudian menjadi daya tarik bagi pengiklan, apabila pengiklan tertarik dan memakai jasa dari paid promote tersebut, semua akun yang didaftarkan harus mengiklankan produk atau jasa pengiklan sesuai kesepakatan yang diatur. Barang yang tidak ada harganya (akun media sosial), dikumpulkan sehingga memiliki nilai. Nampaknya, ini adalah pengejawantahan dari surplus value absolute yang diutarakan oleh Susilo Toer di video Asumsi yang berjudul Bumi Pramoedya: Cerita Soesilo Toer dari Blora.

Belakangan saya tahu bahwa paid promote memiliki peran penting dalam suatu kegiatan. Contohnya, paid promote yang dilakukan pada kegiatan Civics Responsive Revolution Competition (CRRC) 2020 dapat menghasilkan dana hingga ± Rp. 360.000. Jumlah yang cukup besar melihat tidak adanya modal yang dikeluarkan. 

Namun, pernyataan 'mencari uang tidak semudah itu' ternyata benar adanya. Jalan berliku harus ditempuh oleh panitia khususnya divisi dana usaha. Dalam melaksanakan paid promote, Divisi Danus harus merangkul panitia agar dapat berkomitmen dalam pelaksanaan paid promote

“Waktu pp (paid promote) pertama tuh kesulitannya jadi orang-orang tuh harus diingetin satu-satu buat nge-post, kebayang gak sih harus pc(personal chat)-in  hampir 45 orang, apalagi  ada yang susah dihubungin jadi koordinasinya sempet kacau” ujar Arin Minawati, Ketua Divisi Danus CRRC 2020.

Prinsip 'pembeli adalah raja' pun berlaku di paid promote. Beberapa pengiklan memonitor jasa yang dibelinya hingga memberlakukan sistem khusus. 

“Ada pengalaman jadi ada satu online shop yang jeli banget, jadi ada 15 orang yang gak nge-post, aku ditanyain sama si admin dari online shop itu sendiri kayak, ini gimana? Kenapa yang nge-post baru segini, jam sekian ditunggu ya harus sampai segini, ada yang gitu …. trus kalo akun besar kayak akun-akun resmi gitu lebih ribet lagi karena kayak kita harus ngelaporin bikin (file di Microsoft Wordgitu kita ngelaporin orang-orang yang post nya tuh jam berapa terus juga siapa namanya harus dicantumin terus harus ngirimin ke sana” tutur Arin.

Bak perlakuan sebuah merk terhadap brand ambassador-nya, paid promote juga dilarang untuk mengiklankan jasa yang sama. 

“Pernah juga dimarahin sama costumer gara-gara aku tuh nge-PP in jasa yang sama kaya misalnya hari ini aku dapat list yang PP itu jasa followers, jasa followers, sama baju, aku tuh harus buang satu jadi harus ada satu aja nggak boleh sama nggak boleh dapat toko yang jual jasa yang sama” ucapnya.

Kesulitan-kesulitan tersebut belum termasuk upaya penyaringan pengiklan—demi menghindari iklan penipuan ataupun produk yang memiliki potensi mengganggu—dan sentimen negatif yang mereka dapatkan. Sejauh yang saya tahu lebih banyak orang sebal dengan paid promote dibanding mereka yang menanggapinya dengan b aja. Untuk menguji hipotesis ini, saya membuat survei di Instagram dengan bermodal fitur polling, hasilnya 62% sebal dengan paid promote.
Untuk mendapat informasi lebih mendalam, saya mempertanyakan alasan memilih opsi sebal di survei tersebut kepada salah satu mahasiswa yang pernah menjadi bagian dari tim paid promote.

“Pertama pas liat beranda isinya tuh iklan semua, jadi esensi seni di Instagram cenderung berkurang, jadinya udah agak jarang stalk beranda. Kedua, viewer story jadi berkurang. Sebenernya gapapa juga sih, cuma kita malah jadi mikir mungkin orang-orang keganggu atau temen kita yang mau tau aktivitas atau kabar kita jadi malah disuguhkan sama iklan. Ketiga, kadang ada foto PP yang artisnya tuh bajunya terlalu minim (menurut kita), jadi pas upload tuh kaya semacam ada perasaan ga enak gitu ke kitanya. Paling itu sih dukanya dari paid promote” tutur mahasiswa yang tidak ingin disebutkan namanya. 

Hal ini menunjukkan sebagaimana pun menguntungkannya paid promote, dia tidak bisa lepas dari karakteristik dana usaha: membuat kita berpikir bahwa mencari uang itu susah. Siapapun yang hendak melakukan paid promote harus mampu menanggung beban-beban tersebut. 
Namun agar perpecahan bangsa tidak terjadi, pelaku serta penonton paid promote harus mencari jalan tengah. Pelaku paid promote harus menyadari bahwa mereka mempersulit followers-nya untuk mendapatkan informasi yang diinginkan (baca:ngebala) atau bahkan membuat pencemaran dunia maya—dengan iklan penipuan, produk palsu, dan produk yang tidak sedap untuk dilihat—sedangkan penonton paid promote harus juga menyadari bahwa para pelaku paid promote melakukannya atas tuntutan organisasi—khususnya karena budget tidak realistis yang diajukan divisi acara—sehingga mau tidak mau mereka harus melakukannya demi organisasi dan kepentingan aktualisasi diri.
Saya tidak merasa solusi 'kalo ngga suka ya tinggal unfollow' adalah solusi terbaik yang kita miliki. Alih-alih menyelesaikan masalah, solusi tersebut akan lebih memperkeruh suasana. Ketika diunfollow, pelaku paid promote bisa saja sakit hati lantas mengutuk organisasi yang membuatnya melakukan paid promote. Setelah tumbuh dewasa dan memiliki pekerjaan di Kemenkunham misalnya, bisa saja dendam tersebut masih tersisa hingga akhirnya melakukan abuse of power dan mencabut izin dari organisasi tersebut. Tentu kita tidak menginginkan itu. 
Untuk mendapatkan solusi yang mewakili seluruh masyarakat global, saya blusukan dari satu room chat ke room chat lain. Ternyata solusi yang diinginkan telah disebutkan berkali-kali di tulisan ini. Masyarakat memohon bagi pelaku paid promote untuk melakukan penyaringan terhadap iklan yang akan diterima.
Pelaku paid promote diharapkan untuk menghindari iklan penipuan, produk palsu, serta produk yang tidak sedap dipandang mata. Dalam pelaksanaannya, pelaku paid promote disarankan untuk membuat syarat-syarat tertentu.

 "Menurut aku sangat disarankan untuk membuat term and condition lebih spesifiknya sih kaya produk makanan/kecantikan itu harus ada bpom nyaa dan dicantumkan buktinya juga, buat pamflet nya itu jangan ada unsur sara/penipuan dan lain-lain supaya pihak penyelenggara PP-nya itu lebih selektif terima costumer karena mereka punya tanggung jawab juga sih menurut akuu apalagi yang menyelenggarakan PP itu kan banyaknya itu rata-rata dari mahasiswa yang mencantumkan nama acara, jurusan dan univ juga kan" saran Arin Minawati.

Selain menghindari iklan penipuan, produk palsu, serta produk yang tidak sedap dipandang mata, pelaku paid promote juga diharapkan menolak iklan yang tidak jelas.

"Kadang yang paid promote baiknya sih filter mau promote yang kaya gimana, dan syaratnya harus ketat gitu, misal hanya produk wkw .... Kalo produk masih diwajarkan sih menurut akang. Tapi kalo yang ultah (ulang tahun) atau ucapan-ucapan gitu masuk bagian ga jelasnya" ujar Akang-akang asal Gegerkalong.

Selain tindakan preventif terhadap iklan yang dapat mencemarkan sosial media, jumlah iklan yang diterima per harinya dapat menjadi solusi tambahan. Strategi yang dilakukan oleh panitia CRRC 2020 dengan hanya menerima tiga iklan sehari dapat dijadikan contoh agar memberikan kesempatan bagi masing-masing followers khususnya lingkungan pertemanan yang terdampak masih dapat bernafas di sosial media.

Apabila hal-hal tersebut telah dilakukan, maka sisanya tinggal tugas bagi penonton paid promote untuk melatih kesabaran. Penonton paid promote diharapkan untuk dapat memaklumi teman-teman yang sedang melakukan proses aktualisasi diri dan semoga diberikan tenaga lebih untuk nge-scroll di sosial media.


Penulis: Farent Bonatama Sagala

Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: