Monday, October 15, 2012

Atas Nama Kemanusiaan


Munir Said Atas Nama Kemanusiaan
(A.S. Pratama Alisyahbana)


Kematian tidak meniadakan seseorang, Hanya naluri pembunuh yang menghendaki seseorang lenyap, Para korban yang meninggal hidup dalam ingatan, Para korban yang belum jelas nasibnya ada dalam penantian, Para pembela mereka hadir dalam hening suara hati, yang diam-diam memanggil kita untuk menolak terlibat dalam  mafia persekongkolan.


.           Ingatan kita mungkin tidak akan pernah lupa dengan demonstrasi mahasiswa yang dipuncaki dengan kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti, akibat sebuah “kesalahan prosedur” yang dilakukakn oleh aparat dan juga banyaknya penculikan dan orang hilang. Munir Said, pria kelahiran Malang, 8 Desember 1965, adalah salah seorang aktivis kemanusiaan yang mendukung gerakan reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa, Bersama rekan-rekannya di KontraS, Munir pun giat menelisik dan menyingkap misteri penculikan yang tak kunjung terungkap
            Atas nama perjuangan HAM, aktifitas Munir adalah “sarang kematian”, karena terlalu banyak risiko yang mungkin dia dapat dengan menjadi pejuang HAM, apalagi pada masa transisi dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, sudah bukan rahasia umum lagi bila saat itu nyawa tiada lagi nilainya.
            Munir selalu sadar atas risiko pekerjaan yang dilakoninya, bahkan dia mengaku bukan seorang pemberani. Dalam hal teror, Munir mengaku, meskipun takut dia tak pernah mengungkap ketakutannya. “Kalau saya bilang saya dan keluarga takut, berarti si peneror berhasil melaksanakan tugasnya”.
            Munir layaknya air penyejuk ditengah “bara api” tindak kekerasan di Indonesia. Kiprahnya bersama KontraS telah membuka mata berbagai lembaga HAM nasional dan mancanegara   untuk memberikan pengharagaan atas prestasinya. Pengakuan terhadap sepak terjang Munir semakin bertambah dengan menjadi penerima Right Livelihood Award  tahun 2000 untuk pengabdian pemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer Indonesia.
            Sebagai penerima Right Livelihood Award , ia  telah berhak atas hadiah ratusan juta rupiah. Tapi apa yang dia lakukan? Ia enggan menikmati uang itu sendiri. “Aku dikenal karena penderitaan korban pelanggaran HAM, jadi aku serahkan uang itu pada KontraS   agar bisa terus membela para korban. Aku minta sedikit saja, biar aku bisa punya rumah sendiri di Malang”. Munir mampu melawatkan uang yang jelas halanya, ditengah orang-orang yang berlomba mencari uang yang nyata haramnya.
            Cahaya Munir telah dipadamkan, suara Munir telah dimatikan. Ironis, Munir wafat sebagai korban pelanggaran HAM yang semasa hidup menjadi medan perjuangannya. Ia “dipaksa” menutup hidup, racun arsenic dalam jumlah yang “gila” telah menghancurkan sistem organnya. Ia wafat Senin, 7 September 2004 diatas pesawat Garuda GA-974 saat Munir ingin kembali ke bangku kuliah di Utrecht Universiteit, Belanda.


TUBUH MUNIR BOLEH MUNGIL, TAPI NYALINYA JELAS TIDAK KECIL.
PEJUANG ATAS NAMA KEMANUSIAAN
MUNIR SAID
8 DESEMBER 1965 - 7 SEPTEMBER 2004
(Alam.S.Pratama, Ref: Mereka yang Mati Muda (Arifin Surya dkk.), Img:  kepakgaruda.com)
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: