Munir
Said Atas Nama Kemanusiaan
(A.S. Pratama
Alisyahbana)
Kematian tidak
meniadakan seseorang, Hanya naluri pembunuh yang menghendaki seseorang lenyap, Para
korban yang meninggal hidup dalam ingatan, Para korban yang belum jelas
nasibnya ada dalam penantian, Para pembela mereka hadir dalam hening suara
hati, yang diam-diam memanggil kita untuk menolak terlibat dalam mafia persekongkolan.
. Ingatan kita mungkin tidak akan
pernah lupa dengan demonstrasi mahasiswa yang dipuncaki dengan kematian empat
mahasiswa Universitas Trisakti, akibat sebuah “kesalahan prosedur” yang dilakukakn oleh aparat dan juga banyaknya
penculikan dan orang hilang. Munir Said, pria kelahiran Malang, 8 Desember
1965, adalah salah seorang aktivis kemanusiaan yang mendukung gerakan reformasi
yang dimotori oleh para mahasiswa, Bersama rekan-rekannya di KontraS, Munir pun
giat menelisik dan menyingkap misteri penculikan yang tak kunjung terungkap
Atas nama perjuangan HAM, aktifitas
Munir adalah “sarang kematian”,
karena terlalu banyak risiko yang mungkin dia dapat dengan menjadi pejuang HAM,
apalagi pada masa transisi dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, sudah bukan
rahasia umum lagi bila saat itu nyawa tiada lagi nilainya.
Munir selalu sadar atas risiko
pekerjaan yang dilakoninya, bahkan dia mengaku bukan seorang pemberani. Dalam
hal teror, Munir mengaku, meskipun takut dia tak pernah mengungkap
ketakutannya. “Kalau saya bilang saya dan keluarga takut, berarti si peneror
berhasil melaksanakan tugasnya”.
Munir layaknya air penyejuk ditengah
“bara api” tindak kekerasan di
Indonesia. Kiprahnya bersama KontraS telah membuka mata berbagai lembaga HAM
nasional dan mancanegara untuk memberikan pengharagaan atas
prestasinya. Pengakuan terhadap sepak terjang Munir semakin bertambah dengan
menjadi penerima Right Livelihood Award tahun 2000 untuk pengabdian pemajuan HAM
dan kontrol sipil terhadap militer Indonesia.
Sebagai penerima Right Livelihood Award , ia telah berhak atas hadiah ratusan juta rupiah.
Tapi apa yang dia lakukan? Ia enggan menikmati uang itu sendiri. “Aku dikenal
karena penderitaan korban pelanggaran HAM, jadi aku serahkan uang itu pada
KontraS agar bisa terus membela para
korban. Aku minta sedikit saja, biar aku bisa punya rumah sendiri di Malang”.
Munir mampu melawatkan uang yang jelas halanya, ditengah orang-orang yang
berlomba mencari uang yang nyata haramnya.
Cahaya Munir telah dipadamkan, suara
Munir telah dimatikan. Ironis, Munir wafat sebagai korban pelanggaran HAM yang
semasa hidup menjadi medan perjuangannya. Ia “dipaksa” menutup hidup, racun arsenic dalam jumlah yang “gila” telah menghancurkan sistem
organnya. Ia wafat Senin, 7 September 2004 diatas pesawat Garuda GA-974 saat
Munir ingin kembali ke bangku kuliah di Utrecht Universiteit, Belanda.
TUBUH
MUNIR BOLEH MUNGIL, TAPI NYALINYA JELAS TIDAK KECIL.
PEJUANG
ATAS NAMA KEMANUSIAAN
MUNIR
SAID
8
DESEMBER 1965 - 7 SEPTEMBER 2004
(Alam.S.Pratama,
Ref: Mereka yang Mati Muda (Arifin Surya dkk.), Img: kepakgaruda.com)
0 comments: