Oleh Sidik Permana NIM 160354
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
oleh Sidik Permana
1603541 Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan Invested $100
in Cryptocurrencies in 2017...You would now have $524,215:
https://goo.gl/efW8Ef
Invested $100 in Cryptocurrencies in 2017...You would now have $524,215:
https://goo.gl/efW8Ef
Invested $100 in Cryptocurrencies in 2017...You would now have $524,215: https://goo.gl/efW8Ef
Invested $100 in Cryptocurrencies in 2017...You would now have $524,215: https://goo.gl/efW8Ef
PENDAHULUAN
Kamu
calon konglomerat ya. Kamu harus rajin belajar dan membaca, jangan ditelan
sendiri. Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan." (Wiji Thukul). Permasalahan pendidikan bangsa ini
tidak akan pernah selesai untuk diperbincangkan. Setiap kali adanya
kepemimpinan baru, lahir pula kebijakan baru. Kenyataannya, “kebijakan
penguasa” sering kali membuat fenomena yang menarik perhatian masyarakat.
Sejatinya, esensi pendidikan perlu diperhatikan sedemikian rupa karena acap
kali terlupakan dan luput dari pengawasan. Bagaimana pun, pendidikan diciptakan
guna melahirkan generasi penerus bangsa yang mampu memikul harapan bangsa
dengan segenap kemampuan dan mewujudkan kepribadian yang berbasis kebudayaan.
Indonesia adalah negara yang kaya
akan sumber daya alam dan manusia. Melimpah-ruah kekayaan kita hingga membuat
bangsa Eropa silau dan rela menyebrang dunia demi menemukan “Mutiara Hitam Dari
Timur” sejak berabad-abad lalu. Begitu pula sumber daya manusianya, tidak perlu
diperbincangkan lagi soal berbagai penghargaan yang diraih insan muda Indonesia
di kancah kompetisi internasional, sehingga diperhitungkan dalam berbagai kompetisi
internasional. Meirawan (2010:190-192) mengungkapkan: Religion is not the cause, because the propaganda spread everywhere.
Money is not the cause, though a lot of money comes from government debt.
Politic also not the cause, because legeslatif and executieve elections are
running rampant and parliament passionate with multy parties. Education and
learning system is not the cause, many Indonesian students become champions in
various international Olympics. It is said that the main causes and underlying
problems are the weak of characters as national culture, especially the dignity
of human character. Pandangannya ini mengisyaratkan bahwasanya permasalahan
utama yang dihadapi bangsa ini adalah lemahnya karakter budaya bangsa, alhasil
berimbas juga kepada dimensi pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu,
sejatinya pendidikan di Indonesia harus berlandas pada nilai-nilai yang hidup
di masyarakat sebagai fondasi awal dalam membangun karakter peserta didik
sedari dini.
Jaringan Pemantau Pendidikan
Indonesia (JPPI) melakukan penelitian Right
to Education Index (RTEI) guna
mengukur pemenuhan hak atas pendidikan di berbagai negara. Hasil penelitian
menyatakan kualitas pendidikan di Indonesia masih di bawah Ehtiopia dan
Filipina. Penelitian ini dilakukan di 14 negara secara acak, yaitu Inggris,
Kanada, Australia, Filipina, Ethiopia, Korea Selatan, Indonesia, Nigeria,
Honduras, Palestina, Tanzania, Zimbabwe, Kongo dan Chili. Dalam penelitian itu,
ada lima indikator yang diukur oleh JPPI, di antaranya governance, availability, accessibility, acceptability, dan adaptability. Dari lima indikator yang
diukur, Indonesia menempati urutan ke-7 dengan nilai skor sebanyak 77%. Hal ini
menunjukan kualitas pendidikan Indonesia masih berada dibawah Filipina dan
Ethiopia di urutan 4 dan 5 dengan persentase 81% dan 79%.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 dengan
menggunakan metode baru, menunjukan bahwa masih IPM Indonesia, yaitu sebesar
70.18 apabila dirata-ratakan secara nasional. Bahkan, menurut data United Nation Development Programme
(UNDP) yang dikeluarkan pada tahun 2016, berdasarkan data yang dirilis pada Human Development Index Composite Indices menunjukan bahwa
Indonesia berada pada posisi 113 dari 188 negara dan termasuk ke dalam kategori
Medium Human Development yang
didasari oleh 4 indeks penilaian dengan persentase: Life expectancy at birth sebesar 69.1, Expected years of schooling dengan nilai 12.9, Mean years of schooling sebesar 7.9, dan Gross National Income
(GNI) per capita berjumlah 10,053, dengan nilai Human
Development Index (HDI) berjumlah 0.689. Sedangkan apabila berkaca pada
tahun sebelumnya, Indonesia mengalami penurunan dalam skala ranking dunia dari urutan 110 menjadi
113 pada tahun 2015. Memang, pendidikan bukanlah menjadi hal yang mempengaruhi
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) secara keseluruhan. Akan tetapi, ini bisa
menjadi cerminan dan cambukan bagi seluruh pihak guna memperhatikan kualitas
pendidikan Indonesia.
Lalu, bagaimana jadinya bila masih
banyak kasus peserta didik dikeluarkan pihak sekolah karena alasan biaya. Salah
satu kasus yang bisa menjadi gambaran kecil betapa masih adanya praktik
materialistis di Indonesia, diantaranya seorang pelajar Madrasah Tsanawiyah
dikeluarkan dari sekolah lantaran tak bisa membayar buku LKS (Lembar Kerja
Siswa) dan amal jariyah, dan kasus Bayu Wahyudi terancam putus sekolah karena
tak sanggup bayar iuran sekolah sebesar Rp 1.650.000 untuk ujian kenaikan
kelas, dan masih banyak lagi.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang
berbunyi: “Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.” Tapi, dengan munculnya permasalahan seperti ini, apakah tujuan
“mendewasakan” ini menjadi suatu konsekuen yang berarti lagi. Oleh karena itu,
permasalahan-permasalahan pendidikan akan dijelaskan lebih lanjut, terlebih
semua permasalahan ini berakar dari tidak adanya orientasi pendidikan yang
jelas terhadap nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
MATERIALISME DI PENDIDIKAN
“Pendidikan itu gratis, yang bayar
adalah fasilitas” barangkali benar adanya. Sistem pendidikan dapat berjalan
optimal apabila didukung pula oleh kemampuan finansial. Ini juga disebutkan dalam
Pasal 12 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, bahwasanya peserta didik berkewajiban menanggung biaya
penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari
kewajibannya menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Faktanya, tidak seindah peraturan tuliskan, sebagai contoh permasalahan
finansial sering kali menjadi alasan untuk menahan ijazah seseorang, hal ini
pernah terjadi di Bandung, Jawa Barat. Kisah ini akhirnya mencuat ke permukaan
dan sampailah pada telinga salah satu komunitas di Bandung, alhasil
bersangkutan dibina, diadvokasi, dan kemudian didampingi hingga mendapatkan
haknya kembali. Kisah ini adalah satu dari sekian banyak permasalahan
pendidikan di Indonesia yang berkaitan dengan kondisi finansial peserta didik.
Berbicara soal materalistis, masih
ingatkah dengan kisah dunia pendidikan kita di era kolonialisme Belanda. Hak
pendidikan hanya terbatas bagi kalangan-kalangan elite sosial saja, mulai dari
golongan Eropa, Timur Asing, dan golongan priayi. Hal itu berbanding terbalik
dengan keadaan rakyaft pribumi pada umumnya yang tidak bisa merasakan bangku
sekolah. Walaupun ada, itupun hanya dipandang secara pragmatis sebagai upaya
mencari “buruh murah berkualitas”. Itu semua bukanlah tanpa alasan, ini
merupakan strategi politik Belanda terselubung. Hal ini dilakukan demi menjaga
eksistensinya di bumi nusantara karena khawatir apabila banyak kalangan pribumi
yang mengakses pendidikan dapat membahayakan posisi Belanda di kemudian hari.
Salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan membuat “biaya pendidikan yang
tinggi”. Oleh karena itu, permasalahan “biaya” adalah persoalan klasik yang
sulit dilepaskan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945, menyebutkan: “Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan”. Penyertaan “hak berpendidikan” dalam
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi gambaran betapa pentingnya pendidikan bagi
suatu bangsa. Namun, jika berkaca pada kasus penahanan ijazah di atas,
sepertinya perlu dikaji kembali soal “pemerataan” pendidikan di Indonesia,
apakah benar pendidikan sudah dirasakan oleh semua kalangan. Terlebih setelah
pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan
Maharani, mengenai pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun yang sudah
dilaksanakan sejak tahun 2015, dimana peserta didik wajib mengenyam pendidikan
12 tahun dan pemerintah wajib membiayai serta menyediakan segala fasilitasnya.
Dengan kata lain, secara fundamental untuk “tetap bersekolah” sudah terpancang
kuat dan tidak ada lagi kasus anak tidak dapat bersekolah karena kendala biaya.
Dilematik dunia pendidikan kita
tidak dapat terlepas dari permasalahan biaya. Anggaran minimal 20% dari
keseluruhan total APBN dan APBD, yang tertulis jelas pada Pasal 49 ayat (1)
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dirasa masih belum dapat dioptimalkan dengan
baik. Setidaknya, setelah program wajib belajar 12 tahun dilaksanakan,
seharusnya tidak ada anak yang dengan sengaja dikeluarkan akibat permasalahan
“uang”.
Disini pengawasan pemerintah dan
segenap masyarakat sangat diperlukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah bekerja sama dengan jurnalis dan wartawan guna mengawasi setiap kegiatan
pendidikan, bukankah hal ini sudah tertulis jelas dalam Pasal 6 huruf d
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sudah bukan rahasia lagi, setiap
kali media menghampiri oknum “lembaga pendidikan”, seolah-olah berbagai
permasalahan yang ada tidak pernah terjadi, dianggap salah dan sesegera mungkin
dikonfirmasi dengan keterangan yang biasa terdengar di media “ada
kesalahpahaman”, lalu peserta didik yang dianggap “bermasalah” diminta masuk
kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Bagi penulis, ini sudah biasa dan
melihat sendiri permasalahan ini. Pada hakikatnya, sekolah pasti akan menerima
si peserta didik, siapapun dan bagaimanapun keadaannya, namun karena ulah
oknum-oknum seperti itulah rasanya sekolah menjadi kambing hitam dari tindakan
materialistis oknum yang mengatasnamakan pendidikan dan meraup untung darinya.
Supremasi hukum perlu ditegakan dan
dipertegas. Apabila dilihat ini bisa jadi bentuk pemerasan pada peserta didik
dengan ancaman “tak bisa mengikuti ujian, ijazah ditahan, dikeluarkan, dan
sebagainya”. Maka, masyarakat pada umumnya, dan aparat negara khususnya perlu
mengawasi praktek-praktek seperti ini dipersekolahan dengan melakukan
pengawasan intensif dan “meet and greet”
pada setiap sekolah. Upaya ini dapat dilakukan oleh Dinas Pendidikan yang jika
diperlukan menyertakan pula mahasiswa dan jurnalis. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan tanya jawab dan problem
solving. Person (dalam Karina & Suryanto, 2012) mengartikan keterbukaan
diri sebagai tindakan seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat
pribadi pada orang lain secara sukarela dan disengaja untuk maksud memberi
informasi yang akurat tentang dirinya. Menurut Jourard (dalam Setiawati, 2012)
Informasi yang bersifat pribadi tersebut mencakup aspek: (1) sikap atau opini,
(2) selera dan minat, (3) pekerjaan atau pendidikan, (4) fisik, (5) keuangan,
dan (6) kepribadian. Khususnya mahasiswa, sebagai seorang yang terdidik, maka
seharusnya mahasiswa lebih peka terhadap permasalahan ini dan terbuka untuk
melihat keadaan sekitar. Maka, pada dasarnya mahasiswa dan pemerintah dapat
berkolaborasi dalam mengawasi proses pendidikan di sekolah. Sehingga,
diharapkan dengan pengawasan ini, tidak ada lagi siswa yang dikeluarkan oleh
sekolah karena alasan biaya. Hal ini pernah diungkapkan oleh Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise
mengungkapkan bahwa sekolah mulai saat ini tidak diperbolehkan mengeluarkan
siswa yang bermasalah. Ia menilai hal tersebut melanggar hak anak untuk
mendapatkan pendidikan.
PENDIDIKAN UNTUK MEMANUSIAKAN
Immanuel Kant (dalam Susilo, 2001) pernah mengatakan
bahwa “manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan”. Betapa
pentingnya pendidikan bagi manusia baik dalam bentuk formal, informal, dan
non-formal, membuat keberadaan pendidikan sebagai tolak ukur dalam kemajuan
suatu bangsa. Walau begitu, sering kali usaha pendidikan mengalami jalan buntu
karena tidak adanya orientasi yang jelas pada upaya pemanusiaan.
Hakikat pendidikan sebagai proses
pemanusiawian manusia (humanisasi) sering tidak terwujud karena terjebak pada
penghancuran nilai kemanusiaan (dehumnisasi) (Freire, 1972:10). Menurut,
Purwasasmita (2002: 132) kelemahan terbesar lembaga pendidikan dan pembelajaran
kita adalah pendidikan tidak memiliki basis pengembangan budaya yang jelas. Oleh karena itu, dunia
pendidikan perlu menempatkan dan memposisikan diri untuk lebih manusiawi dalam
memperlakukan peserta didik.
Materialistis yang diungkapkan di
atas hanyalah sebagian kecil dari sekelumit proses pendidikan di Indonesia.
Sebagaimana yang diungkapkan, semua peserta didik berhak dan wajib bahkan di
instruksikan untuk mengenyam pendidikan. Masuk lebih dalam, bagaimana kah
kelayakannya. Inilah tantangan yang harus ditempuh setiap lembaga pendidikan.
Salah satu yang menjadi persoalan adalah dunia pendidikan Indonesia masih
menganut sistem pendidikan kolonial yang bersifat intelektualis, individualis,
dan materialistis (Kumalasari, 2010: 50). Padahal, dalam proses pendidikan,
manusia harus dipandang sebagai bagian dari humanis yang mempunyai potensi dan
keunggulan masing-masing di mana dalam pembelajaran seorang peserta didik tidak
berhak dibandingkan berdasarkan keterbatasannya. Selama dunia pendidikan
Indonesia masih menilai “kera, gajah, ikan, dan kura-kura” untuk memanjat
pohon, maka selama itu pula tidak akan pernah melahirkan peserta didik yang
cerdas untuk berpotensial. Salah satu kasus unik yang menimpa Windi, seorang
gadis belia yang dicap memiliki IQ 90 dan akhirnya putus sekolah tapi ajaibnya
ia memiliki kemampuan mendesain yang setara dengan seorang profesional
desainer. Hal ini ironis sekali mengingat potensinya bahkan diakui desainer
sekelas Ivan Gunawan. Tampaknya, pendidikan di Indonesia perlu sedikit humanis,
Ki Hajar ungkapkan “memanusiakan manusia”.
Pendidikan bukan hanya proses transfer of knowledge, tetapi pendidikan
merupakan sebuah kemampuan manusia untuk mengenal potensi dirinya sendiri dan
mampu mengembangkan potensi tersebut, sehingga pada akhirnya manusia dengan
kemampuan dan kesadarannya, menjadi manusia yang bebas dan tidak terikat
(Lewis, 2016: 137-146). Pendidikan harus menciptakan kondisi pembelajaran yang
menyenangkan dan memotivasi. Bahkan ini perlu dilakukan di semua jenjang
pendidikan termasuk Perguruan Tinggi, terbukti secara fakta dilapangan bahwa
peserta didik akan lebih menyukai belajar dengan guru yang baik, menghibur, dan
ramah.
Selain itu, bentuk penghargaan
seorang pendidik jangan berlebihan terlebih berdasarkan asas intelektualistis.
Apresiasi setiap perkembangan, pencapaian, dan keunikan peserta didik guna
memotivasinya untuk senang terhadap kegiatan belajar.
Guru jangan sewenang-wenang untuk
menstigma, dan menilai peserta didik secara sepihak. Bisa jadi, peserta didik
memiliki persoalan tersembunyi yang membuatnya demikian. Maka, teori
keterbukaan berbicara bahwasanya sikap keterbukaan sangat diperlukan guna
menumbuhkan sikap saling percaya.
PENUTUP
Pada hakikatnya, pendidikan adalah
hak bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Negara menjamin itu dalam konstitusi
dan diperjelas dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun, dalam
praktiknya sering kali terjadi anomali dan tidak jarang menimbulkan suatu
gesekan yang membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin menurun.
Disini perlu adanya kerjasama seluruh pihak untuk mengawasi dan mengawal jalannya
dunia pendidikan Indonesia karena bagaimanapun kepedulian kita terhadap
permasalahan yang ada adalah bentuk kecintaan kita kepada negara.
Pendidikan adalah usaha sadar yang
terstruktur dan bertujuan untuk mewujudkan insan yang mampu meningkatkan potensi
dan kemampuan diri. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan perlu diciptakan
suatu kondisi yang memungkinkan peserta didik untuk “menyukai” dan memotivasi
dirinya untuk terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar.
Saran yang dapat disampaikan adalah
agar pendidikan Indonesia lebih berkualitas dan inklusif maka perlu diupayakan
pembenahan sistem pendidikan dan optimalisasi dalam kegiatan belajar-mengajar.
Tidak perlu untuk mengganti sistem pendidikan secara fundamental, optimalkan
peranan yang ada, apabila diperlukan untuk mengubah maka ubahlah kekurangan
yang terdapat dalam sistem pendidikan sekarang. Akan tetapi, itu bisa terjadi
apabila sistem pendidikan kita sudah memiliki landasan dan orientasi yang kuat
guna dikembangkan di kemudian hari. Selain itu, dalam kegiatan
belajar-mengajar, perlu diperhatikan kebutuhan siswa dan juga optimalisasi
peran sekolah dan pendidik agar kelak peserta didik dapat mengembangkan
potensinya secara independen dan demokratis. Pengawasan yang intensif dari
pemerintah untuk menjamin hak pendidikan dapat diraih oleh setiap warga negara.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku dan Jurnal
Freire, P. 1972. Pedagogy
of the Oppressed (terj. Myra Bergman Ramos). New York: Penguin Books.
Kumalasari, D. 2010. Konsep Pemikiran Ki Hadjar
Dewantara Dalam Pendidikan Taman Siswa (Tinjauan Humanis-Religius). Istoria, 8(1): 47-59.
Lewis, M. R. 2016. Character Education as the Primary
Purpose of Schooling for the Future. Jurnal
Ilmiah Peuradeun, 4(2):
137-146.
Meirawan, D. 2010. Trilogi Karakter Manusia
Bermartabat dan Implikasinya pada Pendidikan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 17(3):189-194.
Purwasasmita, M. 2002. Kajian Fenomenologi Nilai. Bandung.
Susilo, E. 2001. Dasar-dasar
Pendidikan. Semarang: Effhar.
B.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
0 comments: