Monday, March 12, 2018

MENILIK PERSOALAN PENDIDIKAN MELALUI PENGAWASAN MEDIA DAN PEMBELAJARAN YANG HUMANIS






Oleh Sidik Permana NIM 160354
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan

oleh Sidik Permana 1603541 Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan Invested $100 in Cryptocurrencies in 2017...You would now have $524,215: https://goo.gl/efW8Ef Invested $100 in Cryptocurrencies in 2017...You would now have $524,215: https://goo.gl/efW8Ef

Invested $100 in Cryptocurrencies in 2017...You would now have $524,215: https://goo.gl/efW8Ef


PENDAHULUAN
            Kamu calon konglomerat ya. Kamu harus rajin belajar dan membaca, jangan ditelan sendiri. Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan." (Wiji Thukul). Permasalahan pendidikan bangsa ini tidak akan pernah selesai untuk diperbincangkan. Setiap kali adanya kepemimpinan baru, lahir pula kebijakan baru. Kenyataannya, “kebijakan penguasa” sering kali membuat fenomena yang menarik perhatian masyarakat. Sejatinya, esensi pendidikan perlu diperhatikan sedemikian rupa karena acap kali terlupakan dan luput dari pengawasan. Bagaimana pun, pendidikan diciptakan guna melahirkan generasi penerus bangsa yang mampu memikul harapan bangsa dengan segenap kemampuan dan mewujudkan kepribadian yang berbasis kebudayaan.
            Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan manusia. Melimpah-ruah kekayaan kita hingga membuat bangsa Eropa silau dan rela menyebrang dunia demi menemukan “Mutiara Hitam Dari Timur” sejak berabad-abad lalu. Begitu pula sumber daya manusianya, tidak perlu diperbincangkan lagi soal berbagai penghargaan yang diraih insan muda Indonesia di kancah kompetisi internasional, sehingga diperhitungkan dalam berbagai kompetisi internasional. Meirawan (2010:190-192) mengungkapkan: Religion is not the cause, because the propaganda spread everywhere. Money is not the cause, though a lot of money comes from government debt. Politic also not the cause, because legeslatif and executieve elections are running rampant and parliament passionate with multy parties. Education and learning system is not the cause, many Indonesian students become champions in various international Olympics. It is said that the main causes and underlying problems are the weak of characters as national culture, especially the dignity of human character. Pandangannya ini mengisyaratkan bahwasanya permasalahan utama yang dihadapi bangsa ini adalah lemahnya karakter budaya bangsa, alhasil berimbas juga kepada dimensi pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, sejatinya pendidikan di Indonesia harus berlandas pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat sebagai fondasi awal dalam membangun karakter peserta didik sedari dini.
            Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melakukan penelitian Right to Education Index (RTEI) guna mengukur pemenuhan hak atas pendidikan di berbagai negara. Hasil penelitian menyatakan kualitas pendidikan di Indonesia masih di bawah Ehtiopia dan Filipina. Penelitian ini dilakukan di 14 negara secara acak, yaitu Inggris, Kanada, Australia, Filipina, Ethiopia, Korea Selatan, Indonesia, Nigeria, Honduras, Palestina, Tanzania, Zimbabwe, Kongo dan Chili. Dalam penelitian itu, ada lima indikator yang diukur oleh JPPI, di antaranya governance, availability, accessibility, acceptability, dan adaptability. Dari lima indikator yang diukur, Indonesia menempati urutan ke-7 dengan nilai skor sebanyak 77%. Hal ini menunjukan kualitas pendidikan Indonesia masih berada dibawah Filipina dan Ethiopia di urutan 4 dan 5 dengan persentase 81% dan 79%.
            Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 dengan menggunakan metode baru, menunjukan bahwa masih IPM Indonesia, yaitu sebesar 70.18 apabila dirata-ratakan secara nasional. Bahkan, menurut data United Nation Development Programme (UNDP) yang dikeluarkan pada tahun 2016, berdasarkan data yang dirilis pada Human Development Index Composite Indices menunjukan bahwa Indonesia berada pada posisi 113 dari 188 negara dan termasuk ke dalam kategori Medium Human Development yang didasari oleh 4 indeks penilaian dengan persentase: Life expectancy at birth sebesar 69.1, Expected years of schooling dengan nilai 12.9, Mean years of schooling sebesar 7.9, dan Gross National Income (GNI) per capita berjumlah 10,053, dengan nilai  Human Development Index (HDI) berjumlah 0.689. Sedangkan apabila berkaca pada tahun sebelumnya, Indonesia mengalami penurunan dalam skala ranking dunia dari urutan 110 menjadi 113 pada tahun 2015. Memang, pendidikan bukanlah menjadi hal yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) secara keseluruhan. Akan tetapi, ini bisa menjadi cerminan dan cambukan bagi seluruh pihak guna memperhatikan kualitas pendidikan Indonesia.
            Lalu, bagaimana jadinya bila masih banyak kasus peserta didik dikeluarkan pihak sekolah karena alasan biaya. Salah satu kasus yang bisa menjadi gambaran kecil betapa masih adanya praktik materialistis di Indonesia, diantaranya seorang pelajar Madrasah Tsanawiyah dikeluarkan dari sekolah lantaran tak bisa membayar buku LKS (Lembar Kerja Siswa) dan amal jariyah, dan kasus Bayu Wahyudi terancam putus sekolah karena tak sanggup bayar iuran sekolah sebesar Rp 1.650.000 untuk ujian kenaikan kelas, dan masih banyak lagi.
            Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang berbunyi: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Tapi, dengan munculnya permasalahan seperti ini, apakah tujuan “mendewasakan” ini menjadi suatu konsekuen yang berarti lagi. Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan pendidikan akan dijelaskan lebih lanjut, terlebih semua permasalahan ini berakar dari tidak adanya orientasi pendidikan yang jelas terhadap nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

MATERIALISME DI PENDIDIKAN     
            “Pendidikan itu gratis, yang bayar adalah fasilitas” barangkali benar adanya. Sistem pendidikan dapat berjalan optimal apabila didukung pula oleh kemampuan finansial. Ini juga disebutkan dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwasanya peserta didik berkewajiban menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajibannya menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Faktanya, tidak seindah peraturan tuliskan, sebagai contoh permasalahan finansial sering kali menjadi alasan untuk menahan ijazah seseorang, hal ini pernah terjadi di Bandung, Jawa Barat. Kisah ini akhirnya mencuat ke permukaan dan sampailah pada telinga salah satu komunitas di Bandung, alhasil bersangkutan dibina, diadvokasi, dan kemudian didampingi hingga mendapatkan haknya kembali. Kisah ini adalah satu dari sekian banyak permasalahan pendidikan di Indonesia yang berkaitan dengan kondisi finansial peserta didik.
            Berbicara soal materalistis, masih ingatkah dengan kisah dunia pendidikan kita di era kolonialisme Belanda. Hak pendidikan hanya terbatas bagi kalangan-kalangan elite sosial saja, mulai dari golongan Eropa, Timur Asing, dan golongan priayi. Hal itu berbanding terbalik dengan keadaan rakyaft pribumi pada umumnya yang tidak bisa merasakan bangku sekolah. Walaupun ada, itupun hanya dipandang secara pragmatis sebagai upaya mencari “buruh murah berkualitas”. Itu semua bukanlah tanpa alasan, ini merupakan strategi politik Belanda terselubung. Hal ini dilakukan demi menjaga eksistensinya di bumi nusantara karena khawatir apabila banyak kalangan pribumi yang mengakses pendidikan dapat membahayakan posisi Belanda di kemudian hari. Salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan membuat “biaya pendidikan yang tinggi”. Oleh karena itu, permasalahan “biaya” adalah persoalan klasik yang sulit dilepaskan dalam penyelenggaraan pendidikan.
            Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Penyertaan “hak berpendidikan” dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi gambaran betapa pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa. Namun, jika berkaca pada kasus penahanan ijazah di atas, sepertinya perlu dikaji kembali soal “pemerataan” pendidikan di Indonesia, apakah benar pendidikan sudah dirasakan oleh semua kalangan. Terlebih setelah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, mengenai pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2015, dimana peserta didik wajib mengenyam pendidikan 12 tahun dan pemerintah wajib membiayai serta menyediakan segala fasilitasnya. Dengan kata lain, secara fundamental untuk “tetap bersekolah” sudah terpancang kuat dan tidak ada lagi kasus anak tidak dapat bersekolah karena kendala biaya.
            Dilematik dunia pendidikan kita tidak dapat terlepas dari permasalahan biaya. Anggaran minimal 20% dari keseluruhan total APBN dan APBD, yang tertulis jelas pada Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dirasa masih belum dapat dioptimalkan dengan baik. Setidaknya, setelah program wajib belajar 12 tahun dilaksanakan, seharusnya tidak ada anak yang dengan sengaja dikeluarkan akibat permasalahan “uang”.

            Disini pengawasan pemerintah dan segenap masyarakat sangat diperlukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah bekerja sama dengan jurnalis dan wartawan guna mengawasi setiap kegiatan pendidikan, bukankah hal ini sudah tertulis jelas dalam Pasal 6 huruf d Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sudah bukan rahasia lagi, setiap kali media menghampiri oknum “lembaga pendidikan”, seolah-olah berbagai permasalahan yang ada tidak pernah terjadi, dianggap salah dan sesegera mungkin dikonfirmasi dengan keterangan yang biasa terdengar di media “ada kesalahpahaman”, lalu peserta didik yang dianggap “bermasalah” diminta masuk kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Bagi penulis, ini sudah biasa dan melihat sendiri permasalahan ini. Pada hakikatnya, sekolah pasti akan menerima si peserta didik, siapapun dan bagaimanapun keadaannya, namun karena ulah oknum-oknum seperti itulah rasanya sekolah menjadi kambing hitam dari tindakan materialistis oknum yang mengatasnamakan pendidikan dan meraup untung darinya.
            Supremasi hukum perlu ditegakan dan dipertegas. Apabila dilihat ini bisa jadi bentuk pemerasan pada peserta didik dengan ancaman “tak bisa mengikuti ujian, ijazah ditahan, dikeluarkan, dan sebagainya”. Maka, masyarakat pada umumnya, dan aparat negara khususnya perlu mengawasi praktek-praktek seperti ini dipersekolahan dengan melakukan pengawasan intensif dan “meet and greet” pada setiap sekolah. Upaya ini dapat dilakukan oleh Dinas Pendidikan yang jika diperlukan menyertakan pula mahasiswa dan jurnalis. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan tanya jawab dan problem solving. Person (dalam Karina & Suryanto, 2012) mengartikan keterbukaan diri sebagai tindakan seseorang dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi pada orang lain secara sukarela dan disengaja untuk maksud memberi informasi yang akurat tentang dirinya. Menurut Jourard (dalam Setiawati, 2012) Informasi yang bersifat pribadi tersebut mencakup aspek: (1) sikap atau opini, (2) selera dan minat, (3) pekerjaan atau pendidikan, (4) fisik, (5) keuangan, dan (6) kepribadian. Khususnya mahasiswa, sebagai seorang yang terdidik, maka seharusnya mahasiswa lebih peka terhadap permasalahan ini dan terbuka untuk melihat keadaan sekitar. Maka, pada dasarnya mahasiswa dan pemerintah dapat berkolaborasi dalam mengawasi proses pendidikan di sekolah. Sehingga, diharapkan dengan pengawasan ini, tidak ada lagi siswa yang dikeluarkan oleh sekolah karena alasan biaya. Hal ini pernah diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise mengungkapkan bahwa sekolah mulai saat ini tidak diperbolehkan mengeluarkan siswa yang bermasalah. Ia menilai hal tersebut melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan.

PENDIDIKAN UNTUK MEMANUSIAKAN    
            Immanuel Kant (dalam Susilo, 2001) pernah mengatakan bahwa “manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan”. Betapa pentingnya pendidikan bagi manusia baik dalam bentuk formal, informal, dan non-formal, membuat keberadaan pendidikan sebagai tolak ukur dalam kemajuan suatu bangsa. Walau begitu, sering kali usaha pendidikan mengalami jalan buntu karena tidak adanya orientasi yang jelas pada upaya pemanusiaan.
            Hakikat pendidikan sebagai proses pemanusiawian manusia (humanisasi) sering tidak terwujud karena terjebak pada penghancuran nilai kemanusiaan (dehumnisasi) (Freire, 1972:10). Menurut, Purwasasmita (2002: 132) kelemahan terbesar lembaga pendidikan dan pembelajaran kita adalah pendidikan tidak memiliki basis pengembangan  budaya yang jelas. Oleh karena itu, dunia pendidikan perlu menempatkan dan memposisikan diri untuk lebih manusiawi dalam memperlakukan peserta didik.
            Materialistis yang diungkapkan di atas hanyalah sebagian kecil dari sekelumit proses pendidikan di Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan, semua peserta didik berhak dan wajib bahkan di instruksikan untuk mengenyam pendidikan. Masuk lebih dalam, bagaimana kah kelayakannya. Inilah tantangan yang harus ditempuh setiap lembaga pendidikan. Salah satu yang menjadi persoalan adalah dunia pendidikan Indonesia masih menganut sistem pendidikan kolonial yang bersifat intelektualis, individualis, dan materialistis (Kumalasari, 2010: 50). Padahal, dalam proses pendidikan, manusia harus dipandang sebagai bagian dari humanis yang mempunyai potensi dan keunggulan masing-masing di mana dalam pembelajaran seorang peserta didik tidak berhak dibandingkan berdasarkan keterbatasannya. Selama dunia pendidikan Indonesia masih menilai “kera, gajah, ikan, dan kura-kura” untuk memanjat pohon, maka selama itu pula tidak akan pernah melahirkan peserta didik yang cerdas untuk berpotensial. Salah satu kasus unik yang menimpa Windi, seorang gadis belia yang dicap memiliki IQ 90 dan akhirnya putus sekolah tapi ajaibnya ia memiliki kemampuan mendesain yang setara dengan seorang profesional desainer. Hal ini ironis sekali mengingat potensinya bahkan diakui desainer sekelas Ivan Gunawan. Tampaknya, pendidikan di Indonesia perlu sedikit humanis, Ki Hajar ungkapkan “memanusiakan manusia”.
            Pendidikan bukan hanya proses transfer of knowledge, tetapi pendidikan merupakan sebuah kemampuan manusia untuk mengenal potensi dirinya sendiri dan mampu mengembangkan potensi tersebut, sehingga pada akhirnya manusia dengan kemampuan dan kesadarannya, menjadi manusia yang bebas dan tidak terikat (Lewis, 2016: 137-146). Pendidikan harus menciptakan kondisi pembelajaran yang menyenangkan dan memotivasi. Bahkan ini perlu dilakukan di semua jenjang pendidikan termasuk Perguruan Tinggi, terbukti secara fakta dilapangan bahwa peserta didik akan lebih menyukai belajar dengan guru yang baik, menghibur, dan ramah.
            Selain itu, bentuk penghargaan seorang pendidik jangan berlebihan terlebih berdasarkan asas intelektualistis. Apresiasi setiap perkembangan, pencapaian, dan keunikan peserta didik guna memotivasinya untuk senang terhadap kegiatan belajar.
            Guru jangan sewenang-wenang untuk menstigma, dan menilai peserta didik secara sepihak. Bisa jadi, peserta didik memiliki persoalan tersembunyi yang membuatnya demikian. Maka, teori keterbukaan berbicara bahwasanya sikap keterbukaan sangat diperlukan guna menumbuhkan sikap saling percaya.

PENUTUP
            Pada hakikatnya, pendidikan adalah hak bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Negara menjamin itu dalam konstitusi dan diperjelas dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun, dalam praktiknya sering kali terjadi anomali dan tidak jarang menimbulkan suatu gesekan yang membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin menurun. Disini perlu adanya kerjasama seluruh pihak untuk mengawasi dan mengawal jalannya dunia pendidikan Indonesia karena bagaimanapun kepedulian kita terhadap permasalahan yang ada adalah bentuk kecintaan kita kepada  negara.
            Pendidikan adalah usaha sadar yang terstruktur dan bertujuan untuk mewujudkan insan yang mampu meningkatkan potensi dan kemampuan diri. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan perlu diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan peserta didik untuk “menyukai” dan memotivasi dirinya untuk terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar.
            Saran yang dapat disampaikan adalah agar pendidikan Indonesia lebih berkualitas dan inklusif maka perlu diupayakan pembenahan sistem pendidikan dan optimalisasi dalam kegiatan belajar-mengajar. Tidak perlu untuk mengganti sistem pendidikan secara fundamental, optimalkan peranan yang ada, apabila diperlukan untuk mengubah maka ubahlah kekurangan yang terdapat dalam sistem pendidikan sekarang. Akan tetapi, itu bisa terjadi apabila sistem pendidikan kita sudah memiliki landasan dan orientasi yang kuat guna dikembangkan di kemudian hari. Selain itu, dalam kegiatan belajar-mengajar, perlu diperhatikan kebutuhan siswa dan juga optimalisasi peran sekolah dan pendidik agar kelak peserta didik dapat mengembangkan potensinya secara independen dan demokratis. Pengawasan yang intensif dari pemerintah untuk menjamin hak pendidikan dapat diraih oleh setiap warga negara.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Jurnal
Freire, P. 1972. Pedagogy of the Oppressed (terj. Myra Bergman Ramos). New York: Penguin Books.
Kumalasari, D. 2010. Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Dalam Pendidikan Taman Siswa (Tinjauan Humanis-Religius). Istoria, 8(1): 47-59.
Lewis, M. R. 2016. Character Education as the Primary Purpose of Schooling for the Future. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(2): 137-146. 
Meirawan, D. 2010. Trilogi Karakter Manusia Bermartabat dan Implikasinya pada Pendidikan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 17(3):189-194.
Purwasasmita, M. 2002. Kajian Fenomenologi Nilai. Bandung.
Susilo, E. 2001. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar.

B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: