Oleh: Yoga Surya Atmaja NIM 1507247
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
A.
Pendahuluan
Ketika ditanya tentang
motivasi menjadi seorang jurnalis, saya menjawab bahwa saya ingin menjadi orang
pertama yang mengetahui informasi dan peristiwa. Ternyata jawaban itu tidak
sepenuhnya benar. Setelah terjun ke dunia jurnalistik, saya baru sadar bahwa
orang pertama tahu itu bukan seorang jurnalis. Justru masyarakatlah yang sering
lebih dulu tahu tentang sebuah informasi ataupun peristiwa. Para jurnalis
hanyalah “alat” dari media penyampai informasi itu kepada masyarakat yang lebih
luas.
Pada era ini tentunya membuat
teknologi informasi melaju dengan pesat. Jaringan internet dengan berbagai
tawaran fasilitas yang memberi kemudahan untuk setiap orang kini bisa menjadi
jurnalis. Bahkan Tendy K Somantri dalam Diskusi
Terpumpun Redaktur Media Massa, Kamis (23/11) tahun lalu berpendapat bahwa
setiap orang bisa menjadi media dengan perkemabangan teknologi elektronik para
konsumen pun bisa menjadi produsen.
Itu terbukti! Melalui
dunia maya dengan fasilitas jaringan media sosial, memang sudah tidak jelas
lagi mana produsen dan mana konsumen. Dengan fasilitas yang ada semua saling
terhubung, kemudian saling memanfaatkan. Tentu saja, kondisi ini berimbas pada
dunia jurnalistik. Kini profesi wartawan tidak lagi istimewa karena semua orang
bisa menjadi wartawan. Pada ranah khusus, keberadaan bahasa pun terancam karena
para “wartawan dadakan” itu tak paham dengan kaidah jurnalistik dan kaidah
bahasa.
Pada prinsipnya, media
merupakan alat atau sarana penghubung yang bisa diisi oleh apa pun. Ia bersifat
netral. Ia dapat diisi oleh laporan jurnalistik, iklan, karya sastra, iklan,
hiburan, dan lain lain. Oleh karena itu, laras bahasa yang dipergunakan dalam
media pun sangat beragam, bergantung pada kesesuaian bahasa dan fungsi
pemakaiannya.
B.
Posisi Bahasa
dalam Media Massa
Perkembangan
yang begitu pesat di bidang teknologi informasi telah mengahasilkan beragam
media, beragam isi, dan beragam pelaku media. Akibatnya, semakin beragam pula
laras bahasa yang digunakan. Kondisi seperti ini yang harus dipahami oleh
masyarakat pengguna bahasa dan pengguna media. Kondisi yang juga mengubah
“posisi bahasa” dalam media massa.
Pada masa
keemasan media cetak, perlakuan bahasa oleh jurnalis terpecah menjadi dua
golongan besar, yaitu: Pertama, jurnalis
untuk media golongan menengah atas memiliki cukup perhatian pada pengggunaan
bahasa Indonesia yang secara relatif lebih tertib dan santun karena mereka
membidik pembaca yang berintelektual tinggi. Kedua, jurnalis dari media golongan bawah tidak terlalu
mengindahkan ketertiban, kesantunan bahasa, dan menggunakan bahasa secara
alakadarnya karena mereka menggunakan ragam bahasa lisan yang hidup di
massyarakat. Sila simak dan bandingkan dua contoh penggunaan bahasa pada judul
dua media yang berbeda di baawah ini.
1.
Ketika Alay
Putus Cinta
2.
Mainan Bukan
Bisnis Main Main
Kita bisa melihat kedua media tersebut menjalankan
fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial. Bahasa yang dipergunakan dapat
menunjukkan kelas sosial pangsa pasar mereka. Namun secara umum, keduanya
menunjukkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Fungsi itu menekankan
keberserapan pesan yang disampaikan komunikator pada komunikan. Keduanya tidak
mengindahkan aturan bahasa yang berkaitan dengan pembakuan pada ragam bahasa
tulis. Judul artikel “Mainan Bukan Bisnis Main Main” adalah judul yang bagus
dan menarik karena ada permainan kata dan bunyi.
Selain dua fungsi itu, sebagai alat kontrol sosial
dan komunikasi, bahasa juga memiliki dua fungsi lain yang diterapkan di media
massa. Kedua fungsi itu adalah sebagai alat ekspresi serta alat adaptasi sosial
dan integrasi. Pada ruang sastra fungsi bahasa sebagai alat ekspresi muncul
dalam media massa. Demikian juga fungsi bahasa sebagai alat adaptasi sosial dan
integrasi bisa muncul. Penggunaan bahasa daerah, misalnya, pada sebuah media
merupakan buktinya.
Berdasarkan fungsi bahasa itulah maka muncul istilah
laras bahasa yang dibedakan dengan ragam bahasa. Dalam buku kebahasaan
termasuk buku Tata Bahasa Indonesia Buku menyebutkan bahwa ragam bahasa adalah
variasi bahasa karena cara penggunaannya. Ragam bahasa dibagi ke dalam empat
jenis yaitu ragam lisan, ragam tulisan (berdasarkan media) serta ragam baku dan
ragam nonbaku (berdasarkan situasi). Sementara itu, laras bahasa adalah
kesesuaian bahasa dan fungsi kesesuaiannya. Begitu banyak kesesuaian bahasa
dengan fungsi bahasa sehingga banyak pula laras bahasa yang muncul, seperti
laras bahasa jurnalistik, laras iklan, laras bahasa sastra, laras bahasa huku,
dan lain lain.
Jadi, bahasa Indonesia yang digunakan dalam ranah
jurnalistik bisa dikatakan sebagai laras bahasa Indonesia Jurnalistik. Ragam
bahasa Indonesia yang digunakan dalam karya jurnalistik adalah ragam tulis baku
ataupun ragam lisan baku.
C.
Peran Bahasa
dalam Media Massa
Perkembangan
media baru telah melahirkan jurnalisme warga yang memungkinkan semua warga bisa
menulis laporan atau berita. Terkadang “wartawan dadakan” ini tidak memperhatikan
bahasa yang mereka gunakan, akan lebih baik jika kita menggunakan peran bahasa
dalam karya jurnalistik yang resmi walaupun nantinya disesuaikan dengan target
pasar media.
Masalahnya,
bahasa sering kali dipandang tidak pentig oleh para jurnalis. Bahasa apa pun bisa
digunakan, yang penting pesannya sampai kepada audiens. Alasan seperti ini
tidak pernah lekang oleh waktu sehingga terasa seperti sebuah keangkuhan para
jurnalis. Akibat itu, media massa sering dianggap sebagai perusak bahasa.
Kondisi menjadi lebih genting ketika pewartaan tidak lagi menjadi “hak ekslusif
para jurnalis”.
Saya
menyimpulkan 17 ciri laras bahasa jurnalistik dari bukunya Haris Sumadiria
berjudul Bahasa Jurnalistik, Panduan
Praktis Penulis dan Jurnalis (2008) menjadi berikut:
1.
Sederhana; selalu
mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang mudah dimengerti oleh pembaca
yang sangat heterogen. Biasanya jurnalis juga berusaha menulis kalimat tunggal.
2.
Singkat dan
Jelas; langsung kepada pokok masalah, tidak bertele tele, tidak berputar putar.
3.
Padat; sarat
informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis memuat banyak informasi
penting dan menarik untuk pembaca.
4.
Lugas; tidak
ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata. Kalimat dalam
laras bahasa jurnalistik tidak membingungkan khalayak pembaca sehingga tidak
menimbulkan perbedaan persepsi dan kesalahan penyimpulan.
5.
Logis; apa pun
yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat harus dapat diterima dan tidak
bertentangan dengan akal sehat.
6.
Gramatikal;
kata, istilah, atau kalimat yang dipakai dan dipilih harus mengikuti kaidah
ragam bahasa baku.
7.
Empati dan
Netral; kata, istilah, atau kalimat yang dipakai tidak mengundang kebencian
secara orang per orang ataupun kelompok masyarakat.
Sebenarnya, langkah awal untuk memenuhi ciri laras
bahasa jurnalistik itu cukup mudah. Para jurnalis hanya perlu menguasai cara penyusunan
kalimat efektif. Kemampuan menyusun kalimat efektif bisa mengantarkan mereka
membuat karya jurnalistik yang baik. Kalimat efektif adalah kalimat yang secara
tepat mewakili pikiran pembicara atau penulis dan dapat dipahami secara tepat
oleh pikiran pendengar atau pembaca.
D.
Penutup
Dari uraian
diatas, saya menggarisbawahi beberapa hal penting yang beraitan dengan peran
bahasa Indonesia dalam media massa:
1.
Muatan media
massa bukan hanya karya jurnalistik sehingga muncul berbagai laras bahasa.
2.
Karya
jurnalistik yang dimaksud adalah berita (news) dan opini (views).
3.
Laras bahasa
jurnalistik menggunakan ragam tulis baku dan ragam lisan baku bahasa Indonesia
4.
Para jurnalis
atau pembuat karya jurnalistik selayaknya memiliki keterampilan menyusun
kalimat efektif.
0 comments: