Friday, February 9, 2018

PERAN BAHASA DALAM MEDIA MASSA




Oleh: Yoga Surya Atmaja NIM 1507247
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan

A.    Pendahuluan
Ketika ditanya tentang motivasi menjadi seorang jurnalis, saya menjawab bahwa saya ingin menjadi orang pertama yang mengetahui informasi dan peristiwa. Ternyata jawaban itu tidak sepenuhnya benar. Setelah terjun ke dunia jurnalistik, saya baru sadar bahwa orang pertama tahu itu bukan seorang jurnalis. Justru masyarakatlah yang sering lebih dulu tahu tentang sebuah informasi ataupun peristiwa. Para jurnalis hanyalah “alat” dari media penyampai informasi itu kepada masyarakat yang lebih luas.
Pada era ini tentunya membuat teknologi informasi melaju dengan pesat. Jaringan internet dengan berbagai tawaran fasilitas yang memberi kemudahan untuk setiap orang kini bisa menjadi jurnalis. Bahkan Tendy K Somantri dalam Diskusi Terpumpun Redaktur Media Massa, Kamis (23/11) tahun lalu berpendapat bahwa setiap orang bisa menjadi media dengan perkemabangan teknologi elektronik para konsumen pun bisa menjadi produsen.
Itu terbukti! Melalui dunia maya dengan fasilitas jaringan media sosial, memang sudah tidak jelas lagi mana produsen dan mana konsumen. Dengan fasilitas yang ada semua saling terhubung, kemudian saling memanfaatkan. Tentu saja, kondisi ini berimbas pada dunia jurnalistik. Kini profesi wartawan tidak lagi istimewa karena semua orang bisa menjadi wartawan. Pada ranah khusus, keberadaan bahasa pun terancam karena para “wartawan dadakan” itu tak paham dengan kaidah jurnalistik dan kaidah bahasa.
Pada prinsipnya, media merupakan alat atau sarana penghubung yang bisa diisi oleh apa pun. Ia bersifat netral. Ia dapat diisi oleh laporan jurnalistik, iklan, karya sastra, iklan, hiburan, dan lain lain. Oleh karena itu, laras bahasa yang dipergunakan dalam media pun sangat beragam, bergantung pada kesesuaian bahasa dan fungsi pemakaiannya.

B.     Posisi Bahasa dalam Media Massa
Perkembangan yang begitu pesat di bidang teknologi informasi telah mengahasilkan beragam media, beragam isi, dan beragam pelaku media. Akibatnya, semakin beragam pula laras bahasa yang digunakan. Kondisi seperti ini yang harus dipahami oleh masyarakat pengguna bahasa dan pengguna media. Kondisi yang juga mengubah “posisi bahasa” dalam media massa.
Pada masa keemasan media cetak, perlakuan bahasa oleh jurnalis terpecah menjadi dua golongan besar, yaitu: Pertama, jurnalis untuk media golongan menengah atas memiliki cukup perhatian pada pengggunaan bahasa Indonesia yang secara relatif lebih tertib dan santun karena mereka membidik pembaca yang berintelektual tinggi. Kedua, jurnalis dari media golongan bawah tidak terlalu mengindahkan ketertiban, kesantunan bahasa, dan menggunakan bahasa secara alakadarnya karena mereka menggunakan ragam bahasa lisan yang hidup di massyarakat. Sila simak dan bandingkan dua contoh penggunaan bahasa pada judul dua media yang berbeda di baawah ini.
1.      Ketika Alay Putus Cinta
2.      Mainan Bukan Bisnis Main Main
Kita bisa melihat kedua media tersebut menjalankan fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial. Bahasa yang dipergunakan dapat menunjukkan kelas sosial pangsa pasar mereka. Namun secara umum, keduanya menunjukkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Fungsi itu menekankan keberserapan pesan yang disampaikan komunikator pada komunikan. Keduanya tidak mengindahkan aturan bahasa yang berkaitan dengan pembakuan pada ragam bahasa tulis. Judul artikel “Mainan Bukan Bisnis Main Main” adalah judul yang bagus dan menarik karena ada permainan kata dan bunyi.
Selain dua fungsi itu, sebagai alat kontrol sosial dan komunikasi, bahasa juga memiliki dua fungsi lain yang diterapkan di media massa. Kedua fungsi itu adalah sebagai alat ekspresi serta alat adaptasi sosial dan integrasi. Pada ruang sastra fungsi bahasa sebagai alat ekspresi muncul dalam media massa. Demikian juga fungsi bahasa sebagai alat adaptasi sosial dan integrasi bisa muncul. Penggunaan bahasa daerah, misalnya, pada sebuah media merupakan buktinya.
Berdasarkan fungsi bahasa itulah maka muncul istilah laras bahasa yang dibedakan dengan ragam bahasa. Dalam buku kebahasaan termasuk buku Tata Bahasa Indonesia Buku menyebutkan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa karena cara penggunaannya. Ragam bahasa dibagi ke dalam empat jenis yaitu ragam lisan, ragam tulisan (berdasarkan media) serta ragam baku dan ragam nonbaku (berdasarkan situasi). Sementara itu, laras bahasa adalah kesesuaian bahasa dan fungsi kesesuaiannya. Begitu banyak kesesuaian bahasa dengan fungsi bahasa sehingga banyak pula laras bahasa yang muncul, seperti laras bahasa jurnalistik, laras iklan, laras bahasa sastra, laras bahasa huku, dan lain lain.
Jadi, bahasa Indonesia yang digunakan dalam ranah jurnalistik bisa dikatakan sebagai laras bahasa Indonesia Jurnalistik. Ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam karya jurnalistik adalah ragam tulis baku ataupun ragam lisan baku.


C.     Peran Bahasa dalam Media Massa
Perkembangan media baru telah melahirkan jurnalisme warga yang memungkinkan semua warga bisa menulis laporan atau berita. Terkadang “wartawan dadakan” ini tidak memperhatikan bahasa yang mereka gunakan, akan lebih baik jika kita menggunakan peran bahasa dalam karya jurnalistik yang resmi walaupun nantinya disesuaikan dengan target pasar media.
Masalahnya, bahasa sering kali dipandang tidak pentig oleh para jurnalis. Bahasa apa pun bisa digunakan, yang penting pesannya sampai kepada audiens. Alasan seperti ini tidak pernah lekang oleh waktu sehingga terasa seperti sebuah keangkuhan para jurnalis. Akibat itu, media massa sering dianggap sebagai perusak bahasa. Kondisi menjadi lebih genting ketika pewartaan tidak lagi menjadi “hak ekslusif para jurnalis”.
Saya menyimpulkan 17 ciri laras bahasa jurnalistik dari bukunya Haris Sumadiria berjudul Bahasa Jurnalistik, Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis (2008) menjadi berikut:
1.      Sederhana; selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang mudah dimengerti oleh pembaca yang sangat heterogen. Biasanya jurnalis juga berusaha menulis kalimat tunggal.
2.      Singkat dan Jelas; langsung kepada pokok masalah, tidak bertele tele, tidak berputar putar.
3.      Padat; sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk pembaca.
4.      Lugas; tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata. Kalimat dalam laras bahasa jurnalistik tidak membingungkan khalayak pembaca sehingga tidak menimbulkan perbedaan persepsi dan kesalahan penyimpulan.
5.      Logis; apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat.
6.      Gramatikal; kata, istilah, atau kalimat yang dipakai dan dipilih harus mengikuti kaidah ragam bahasa baku.
7.      Empati dan Netral; kata, istilah, atau kalimat yang dipakai tidak mengundang kebencian secara orang per orang ataupun kelompok masyarakat.
Sebenarnya, langkah awal untuk memenuhi ciri laras bahasa jurnalistik itu cukup mudah. Para jurnalis hanya perlu menguasai cara penyusunan kalimat efektif. Kemampuan menyusun kalimat efektif bisa mengantarkan mereka membuat karya jurnalistik yang baik. Kalimat efektif adalah kalimat yang secara tepat mewakili pikiran pembicara atau penulis dan dapat dipahami secara tepat oleh pikiran pendengar atau pembaca.

D.    Penutup
Dari uraian diatas, saya menggarisbawahi beberapa hal penting yang beraitan dengan peran bahasa Indonesia dalam media massa:
1.      Muatan media massa bukan hanya karya jurnalistik sehingga muncul berbagai laras bahasa.
2.      Karya jurnalistik yang dimaksud adalah berita (news) dan opini (views).
3.      Laras bahasa jurnalistik menggunakan ragam tulis baku dan ragam lisan baku bahasa Indonesia
4.      Para jurnalis atau pembuat karya jurnalistik selayaknya memiliki keterampilan menyusun kalimat efektif.
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: