Monday, March 5, 2018

Kontroversi Hak Angket DPR Terhadap KPK





Oleh : Siti Zahra Rahmadini NIM 1705723
Mahasiswa S1 Pendidikan Kewarganegaraan 
 
Indonesia merupakan Negara kunstitusional ( constitusional state ) yaitu Negara yang dibatasi oleh konstitusi. Perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan empat  kali amandemen dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah menciptakan perubahan yang mendasar dalam praktek ketatanegaraan Indonesia.
            Secara umum implikasi dari hasil perubahan terhadap UUD 1945 terhadap praktek penyelenggaraan pemerintahan ialah jika sebelumnya kekuasaan eksekutif sangat kuat ( Executive Heavy) sebaliknya pada saat ini ada  kecenderungan lebih kuatnya lembaga perwakilan rakyat ( Legislative Heavy). Dengan semakin kuatnya DPR melakukan fungsi pengawasan maka akan terciptanya kekuatan seimbang antara eksekutif dan legislatif.
Perdebatan yang saat ini terjadi, yakni mengenai hak angket DPR terhadap KPK telah menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat dan bahkan menimbulkan pro kontra di kalangan para pejabat pemerintah karena adanya ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam proses penegakkan hukumnya.
Sebelum membahas mengenai keberadaan hak angket dalam melaksanakan fungsi pengawasan DPR terhadap KPK, perlu kita pahami terlebih dahulu alasan mengapa DPR menggunakan hak angket tersebut terhadap KPK.  Alasan utama penggunaan hak angket tersebut adalah untuk kinerja KPK selama ini, karena kita ketahui bersama bahwa KPK mendapatkan penilaian yang baik dari masyarakat. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa prinsip transparansi dan akuntabilitas tidak perlu lagi menjadi perhatian, atau pengawasan tidak diperlukan lagi. Terlebih soal kaitannya dengan pelaksanaan tupoksi KPK. Serta adanya penyempurnaan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang KPK dalam penegakan hukum yang adil, transparan, akuntabel, profesional, proporsional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak angket pertama kali mencuat dalam rapat antara KPK dan Komisi Hukum DPR pada 19 April 2017 lalu. Ketika itu Komisi meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam Haryani. Namun dalam hal ini KPK tetap menolak membuka rekaman BAP Miryam sehingga pada akhirnya berujung pada Pengajuan hak angket oleh DPR. KPK menolak rekaman pemeriksaan tersebut dibuka karena kasus masih belum sampai di pengadilan dan hanya bisa dibuka ketika proses pengadilan berlangsung.
            Peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Universitas Gajah Mada, Hifzil Alim menuturkan hak angket KPK yang digulirkan oleh Komisi III DPR RI bisa menghambat pengungkapan korupsi e-KTP. Karena, jika rekaman BAP tersangka pemberi keterangan e-KTP Miryam S. Haryani dibuka, ada kemungkinan nama-nama yang disebutkan di dalamnya bersiap-siap melarikan diri. “Mereka bisa melakukan tindakan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses penegakan hukum,” ungkapnya.
Selain itu dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mengatur informasi yang dikecualikan untuk publik. Sehingga dalam hal ini terdapat dua alasan KPK tak perlu datang ketika nantinya dipanggil pansus angket KPK. Pertama mekanisme pembentukannya yang cacat hukum sehingga pansus angket KPK ini forum illegal. Kedua, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik yang tidak memperbolehkan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam.
Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Mahfud Md., menilai pengajuan hak angket itu merupakan langkah yang tidak sah secara yuridis. Karena dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 pasal 79 ayat 3 menyatakan hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
           
            Dengan demikian sudah jelas hak angket seharusnya ditunjukkan kepada pemerintah bukan lembaga penegak hukum independen seperti KPK.
Namun, pada saat sidang putusan terhadap permohonan uji materi angket KPK di Jakarta, Kamis (8/2/2018) Mahkamah Konstitusi mendudukan KPK sebagai perpanjangan Eksekutif dan bisa menjadi objek hak angket. Padahal pada putusan sebelumnya MK menyatakan bahwa lembaga penegak hukum independen tidak dibawah legislatif. Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak angket DPR terhadap KPK akan menurunkan marwah MK itu sendiri. Tak hanya itu dia juga menuturkan bahwa Tak hanya putusannya yang terdegradasi, tetapi kelembagaan MK juga ikut tercoreng.
Pada dasarnya terlepas dari apa yang menjadi pro kontra terkait adanya hak angket DPR terhadap KPK tersebut, perlu kiranya masing-masing lembaga negara baik DPR ataupun KPK untuk kembali mengkaji terkait keberadaan Hak Angket KPK tersebut baik mengenai kesesuaian mekanisme yang saat ini telah berjalan dengan ketentuan yang berlaku, serta pembentukan pansus angket KPK.
Dan Hak angket pun sebenarnya tidak bisa memberikan dampak signifikan kepada KPK. Karena pada akhirnya hasil keputusan hak angket tetap dikembalikan kepada Presiden selaku pihak eksekutif.
Referensi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Putra Diyan Novlarang ( Jurnal Hak angket dewan perwakilan rakyat terhadap komisi pemberantasan korupsi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro )
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: