Mahasiswa S1 Pendidikan Kewarganegaraan
Indonesia
merupakan Negara kunstitusional ( constitusional
state ) yaitu Negara yang dibatasi oleh konstitusi. Perubahan-perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan empat kali amandemen dari tahun 1999 sampai dengan
tahun 2002 telah menciptakan perubahan yang mendasar dalam praktek ketatanegaraan
Indonesia.
Secara umum implikasi dari hasil
perubahan terhadap UUD 1945 terhadap praktek penyelenggaraan pemerintahan ialah
jika sebelumnya kekuasaan eksekutif sangat kuat ( Executive Heavy) sebaliknya pada saat ini ada kecenderungan lebih kuatnya lembaga
perwakilan rakyat ( Legislative Heavy).
Dengan semakin kuatnya DPR melakukan fungsi pengawasan maka akan terciptanya
kekuatan seimbang antara eksekutif dan legislatif.
Perdebatan
yang saat ini terjadi, yakni mengenai hak angket DPR terhadap KPK telah
menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat dan bahkan menimbulkan pro kontra
di kalangan para pejabat pemerintah karena adanya ketimpangan-ketimpangan yang
terjadi dalam proses penegakkan hukumnya.
Sebelum
membahas mengenai keberadaan hak angket dalam melaksanakan fungsi pengawasan
DPR terhadap KPK, perlu kita pahami terlebih dahulu alasan mengapa DPR
menggunakan hak angket tersebut terhadap KPK. Alasan utama penggunaan hak angket tersebut
adalah untuk kinerja KPK selama ini, karena kita ketahui bersama bahwa KPK
mendapatkan penilaian yang baik dari masyarakat. Namun, hal tersebut tidak
berarti bahwa prinsip transparansi dan akuntabilitas tidak perlu lagi menjadi
perhatian, atau pengawasan tidak diperlukan lagi. Terlebih soal kaitannya
dengan pelaksanaan tupoksi KPK. Serta adanya penyempurnaan terhadap pelaksanaan
tugas dan wewenang KPK dalam penegakan hukum yang adil, transparan, akuntabel,
profesional, proporsional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak
angket pertama kali mencuat dalam rapat antara KPK dan Komisi Hukum DPR pada 19
April 2017 lalu. Ketika itu Komisi meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan
Miryam Haryani. Namun dalam hal ini KPK tetap menolak membuka rekaman BAP
Miryam sehingga pada akhirnya berujung pada Pengajuan hak angket oleh DPR. KPK
menolak rekaman pemeriksaan tersebut dibuka karena kasus masih belum sampai di
pengadilan dan hanya bisa dibuka ketika proses pengadilan berlangsung.
Peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat)
Korupsi Universitas Gajah Mada, Hifzil Alim menuturkan hak angket KPK yang
digulirkan oleh Komisi III DPR RI bisa menghambat pengungkapan korupsi e-KTP.
Karena, jika rekaman BAP tersangka pemberi keterangan e-KTP Miryam S. Haryani
dibuka, ada kemungkinan nama-nama yang disebutkan di dalamnya bersiap-siap
melarikan diri. “Mereka bisa melakukan tindakan obstruction of justice atau
menghalang-halangi proses penegakan hukum,” ungkapnya.
Selain itu dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mengatur informasi yang
dikecualikan untuk publik. Sehingga dalam hal ini terdapat dua alasan KPK tak
perlu datang ketika nantinya dipanggil pansus angket KPK. Pertama mekanisme
pembentukannya yang cacat hukum sehingga pansus angket KPK ini forum illegal.
Kedua, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik yang tidak memperbolehkan KPK
membuka rekaman pemeriksaan Miryam.
Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara, Mahfud Md., menilai pengajuan hak angket itu
merupakan langkah yang tidak sah secara yuridis. Karena dalam Undang-Undang
nomor 17 tahun 2014 pasal 79 ayat 3 menyatakan hak angket adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan
demikian sudah jelas hak angket seharusnya ditunjukkan kepada pemerintah bukan
lembaga penegak hukum independen seperti KPK.
Namun, pada saat sidang putusan terhadap permohonan
uji materi angket KPK di Jakarta, Kamis (8/2/2018) Mahkamah Konstitusi
mendudukan KPK sebagai perpanjangan Eksekutif dan bisa menjadi objek hak
angket. Padahal pada putusan sebelumnya MK menyatakan bahwa lembaga penegak
hukum independen tidak dibawah legislatif. Pakar Hukum Pidana Universitas
Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak angket DPR
terhadap KPK akan
menurunkan marwah MK itu sendiri. Tak hanya itu dia juga menuturkan bahwa Tak
hanya putusannya yang terdegradasi, tetapi kelembagaan MK juga ikut tercoreng.
Pada dasarnya terlepas dari apa yang menjadi pro
kontra terkait adanya hak angket DPR terhadap KPK tersebut, perlu kiranya masing-masing
lembaga negara baik DPR ataupun KPK untuk kembali mengkaji terkait keberadaan
Hak Angket KPK tersebut baik mengenai kesesuaian mekanisme yang saat ini telah
berjalan dengan ketentuan yang berlaku, serta pembentukan pansus angket KPK.
Dan
Hak angket pun sebenarnya tidak bisa memberikan dampak signifikan kepada KPK.
Karena pada akhirnya hasil keputusan hak angket tetap dikembalikan kepada
Presiden selaku pihak eksekutif.
Referensi
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik
Putra
Diyan Novlarang ( Jurnal Hak angket
dewan perwakilan rakyat terhadap komisi pemberantasan korupsi Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro )
0 comments: