Tuesday, December 26, 2017

Kisah Pelaut yang Kembali Pulang


Karya: Nurul Yunita NIM 1507214
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
Ig: @rulyunit
Laut itu luas. Langit diatasnya biru dengan awan putih yang bergerak cepat. Seorang pelaut dan pantai menjadi frame indah dalam sebuah lukisan. Tinta-tintanya tergores rapi diatas kanvas. Sayangnya, hidup ini tak begitu indah hanya dalam kanvas. Tak selamanya, yang baik-baik saja benar-benar baik. Aku memandangi lukisan yang terpajang disalah satu sudut pameran. Lambat laut, lukisan itu seakan bercerita. Ia seakan bercerita tentang sepi dan ragu. Keduanya berpadu dalam redaman rindu yang teramat dalam.
***
Mata pelaut itu terpejam. Ia berharap semuanya hanya mimpi. Matanya terbuka, menatap sekelilingnya. Masih sama, laut itu masih luas nan biru, hamparan pasir yang mengelilinginya masih sama, sepanjang pantai inipun masih sama: kosong. Tak ada orang lagi selain dirinya. Sayup-sayup air laut mengenai jemari kaki pelaut itu, angin pantai bertiup pelan, menyisir rambut-rambut halus sang pelaut. Ia terpejam sekali lagi. Kali ini, air mata mulai bermunculan dari sudut-sudut mata sang pelaut. Dalam pejaman matanya kali ini, sang pelaut teringat akan tanah kelahirannya. Tempat awal ia berpijak.
Ia tau tempat untuk pulang, tapi hatinya ragu untuk kembali. Masihkah tempat itu ada untuknya? Pelaut ini tidak baik-baik saja. Ia tak punya apa-apa lagi. Ragu, pelaut itu ragu untuk kembali. Apakah tanah kelahirannya akan sama setelah ia pergi begitu lama?
Tak ada kata kembali. Sejak pelaut itu memutuskan untuk pergi dari tanah kelahirannya, ia telah memutuskan untuk tidak kembali. Namun, setelah ribuan pulau dijumpai, entah berapa samudra lagi telah ia lalui, pada akhirnya ia ingin kembali pulang. Kembali pada tempat dimana ia berasal. Pada akhirnya, pelaut itu berbisik pada laut. Tentang ia dan tentang hatinya.
***
Aku bukan seorang pelaut yang baik-baik saja. Ku akui itu. Aku melintasi ratusan mil samudra, tak sedikit ku terluka. Aku bukan pelaut  yang baik-baik saja. Pernah satu kali, saat aku terluka, aku tak punya apa-apa. Ku basuh lukaku dengan air laut. Pedih sekali, tapi kau tentu tau pedih teramat sangat ialah ketika pertama kali kuputuskan untuk pergi. Teramat jauh.
Bagaimana aku dapat mendefinisikanmu, jika kata yang kurangkai belum dapat ku bentuk? Aku ingin pulang. Dan kuakui, aku merindumu terlalu dalam. 
Aku bukan seorang pelaut yang baik-baik saja. Setiap malam, ketika cahaya mentari memantul pada sang rembulan dan ribuan planet nun jauh disana bersinar, aku selalu kesepian. Aku hanya punya satu keyakinan: ketika ku kembali nanti, kamu masih sama. Masih menungguku.
***
Lukisan di sudut pameran itu akhirnya berhenti bercerita. Pada akhirnya, sang pelaut tentu harus kembali. Entah kapan, atau berapa lama ia memutuskan untuk kembali. Tapi, bukankah tempat untuk pulang selalu ditunggu?

***
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: