Karya: Nurul Yunita NIM 1507214
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
Ig: @rulyunit
Laut itu luas. Langit diatasnya biru
dengan awan putih yang bergerak cepat. Seorang pelaut dan pantai menjadi frame indah dalam sebuah lukisan.
Tinta-tintanya tergores rapi diatas kanvas. Sayangnya, hidup ini tak begitu
indah hanya dalam kanvas. Tak selamanya, yang baik-baik saja benar-benar baik.
Aku memandangi lukisan yang terpajang disalah satu sudut pameran. Lambat laut,
lukisan itu seakan bercerita. Ia seakan bercerita tentang sepi dan ragu.
Keduanya berpadu dalam redaman rindu yang teramat dalam.
***
Mata pelaut itu terpejam. Ia berharap
semuanya hanya mimpi. Matanya terbuka, menatap sekelilingnya. Masih sama, laut
itu masih luas nan biru, hamparan pasir yang mengelilinginya masih sama,
sepanjang pantai inipun masih sama: kosong. Tak ada orang lagi selain dirinya.
Sayup-sayup air laut mengenai jemari kaki pelaut itu, angin pantai bertiup
pelan, menyisir rambut-rambut halus sang pelaut. Ia terpejam sekali lagi. Kali
ini, air mata mulai bermunculan dari sudut-sudut mata sang pelaut. Dalam
pejaman matanya kali ini, sang pelaut teringat akan tanah kelahirannya. Tempat
awal ia berpijak.
Ia tau tempat untuk pulang, tapi
hatinya ragu untuk kembali. Masihkah tempat itu ada untuknya? Pelaut ini tidak
baik-baik saja. Ia tak punya apa-apa lagi. Ragu, pelaut itu ragu untuk kembali.
Apakah tanah kelahirannya akan sama setelah ia pergi begitu lama?
Tak ada kata kembali. Sejak pelaut
itu memutuskan untuk pergi dari tanah kelahirannya, ia telah memutuskan untuk
tidak kembali. Namun, setelah ribuan pulau dijumpai, entah berapa samudra lagi
telah ia lalui, pada akhirnya ia ingin kembali pulang. Kembali pada tempat
dimana ia berasal. Pada akhirnya, pelaut itu berbisik pada laut. Tentang ia dan
tentang hatinya.
***
Aku
bukan seorang pelaut yang baik-baik saja.
Ku akui itu. Aku melintasi ratusan mil samudra, tak sedikit ku terluka. Aku bukan pelaut yang baik-baik saja. Pernah satu kali,
saat aku terluka, aku tak punya apa-apa. Ku basuh lukaku dengan air laut. Pedih
sekali, tapi kau tentu tau pedih teramat sangat ialah ketika pertama kali
kuputuskan untuk pergi. Teramat jauh.
Bagaimana aku dapat mendefinisikanmu,
jika kata yang kurangkai belum dapat ku bentuk? Aku ingin pulang. Dan kuakui,
aku merindumu terlalu dalam.
Aku
bukan seorang pelaut yang baik-baik saja. Setiap
malam, ketika cahaya mentari memantul pada sang rembulan dan ribuan planet nun
jauh disana bersinar, aku selalu kesepian. Aku hanya punya satu keyakinan:
ketika ku kembali nanti, kamu masih sama. Masih menungguku.
***
Lukisan di sudut pameran itu akhirnya
berhenti bercerita. Pada akhirnya, sang pelaut tentu harus kembali. Entah
kapan, atau berapa lama ia memutuskan untuk kembali. Tapi, bukankah tempat
untuk pulang selalu ditunggu?
***
0 comments: