Oleh Andriyana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), pendidikan berasal dari kata dasar “didik” (mendidik), yaitu
memelihara dan memberi latihan (ajaran/pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran. Jika kita melihat kondisi dunia pendidikan di Indonesia, dunia
pendidikan di Indonesia ini sedang “sakit”. Mengapa sedang “sakit”?, karena
kondisi pendidikan kita sedang dirundung berbagai masalah-masalah, seperti
maraknya tawuran-tawuran para pelajar dan mahasiswa yang menghasilkan korban
jiwa, beredarnya LKS-LKS yang muatan isinya mengandung unsur porno dan
kekerasan, banyaknya pungutan-pungutan liar yang dilakukan para tenaga pendidik
dengan dalih uang buku atau uang praktek, sarana dan prasarana yang tidak layak
untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, dan masih banyak lagi
masalah-masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan Survey United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap
kualitas pendidikan di negara-negara berkembang di Asia Pacific,
Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para
guru, kulitasnya berada pada peringkat 14 dari 14 negara berkembang. Yang
artinya para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara
berkembang di Asia Pacific. Salah satu faktornya adalah karena lemahnya para
guru dalam menggali potensi anak, para guru seringkali memaksakan kehendaknya
tanpa pernah memperhatikan kebutuhan minat dan bakat yang dimiliki oleh seorang
peserta didik. Mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para peserta
didiknya. Seharusnya guru harus membimbing dan mengarahkan potensi para peserta
didik sesuai kebutuhan minat dan bakatnya. Sehingga dapat terpenuhi dan
tercapai sesuai apa yang menjadi kebutuhan minat dan bakat dari para peserta
didik.
Di Amerika Serikat, Jerman, Inggris
dan negara maju lainnya, seorang peserta didik dari usia dini sudah diarahkan
menjadi seseorang yang profesional dan berkualitas di bidangnya yang sesuai
dengan potensi si peserta didik yang berdasarkan kebutuhan minat dan bakatnya.
Jika si peserta didik tersebut berbakat di dunia olahraga, maka si peserta
didik tersebut diarahkan terus dan dibimbing menjadi seorang atlit. Jika si
peserta didik tersebut menyukai dalam bidang kesenian maka dia terus diarahkan
dan dilatih bagaimana agar kelak menjadi seniman. Sehingga ketika dia sudah
berusia matang dia siap terjun menjadi seseorang yang profesional di bidangnya
karena sesuai dengan kebutuhan minat dan bakatnya karena sudah terfokuskan
sejak dini. Tetapi kita lihat di Indonesia, murid-murid SD sudah harus membawa
beberapa buku mata pelajaran yang banyak. Sehingga mereka bukannya memahami
materi yang ada di setiap pelajaran, malahan mereka menjadi bingung dan kurang memahami
materi dengan baik, karena tidak terfokus dengan benar. Mereka dipaksa harus
mempelajari setiap mata pelajaran yang ada dan mungkin tidak sesuai dengan
kebutuhan minat dan bakat si peserta didik.
Ditambah lagi dengan sistem
kurikulum kita yang sentralistik. Yang artinya kurikulum kita dibuat di Jakarta
atau di pusat dan tidak memperhatikan kondisi-kondisi di daerah-daerah yang
tentunya berbeda dengan di pusat, terutama dalam sarana dan prasarananya. Oleh
karena itu para guru merasa terbebani karena harus mengacu pada kurikulum yang
dibuat oleh pusat. Pemerintah mulai mencanangkan adanya perubahan kurikulum pada
tahun pelajaran 2013-2014 nanti yang akan meminimalkan dan menyusutkan jumlah
mata pelajaran khususnya di jenjang SD hanya menjadi 4 mata pelajaran
utama/pokok yaitu Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, dan
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan menghapus mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan
mengintegrasikan kedua mata pelajaran tersebut kedalam keempat mata pelajaran
utama/pokok tersebut. Sehingga para guru harus dapat mengintegrasikan dan
menyesuaikan mata pelajaran IPA dan IPS kedalam keempat mata pelajaran
utama/pokok tersebut.
Dengan perubahan kurikulum tersebut
setidaknya dapat mengurangi jumlah beban yang harus ditanggung oleh para peserta
didik dan mereka bisa fokus setidaknya kepada 4 mata pelajaran utama/pokok
tersebut. Tetapi pertanyaannya apakah dengan cara tersebut dapat relevan dengan
kondisi masyarakat di Indonesia? alangkah baiknya kita mencoba dengan kurikulum
penyederhanaan mata pelajaran tersebut, toh pemerintah dalam hal ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pasti sudah mempersiapkan dengan matang
dan baik-baik mengenai penyederhanaan kurikulum ini dan juga masyarakat
Indonesia juga sudah tidak asing lagi dengan sering berubahnya kurikulum
pendidikan di Indonesia. Tetapi tentunya ini harus dibarengi dengan sikap
keseriusan dari pemerintah dalam menjalankan kurikulum ini dan jangan sampai
setengah-setengah dan harus serius menggarapnya, peran kita sekarang khususnya
para orang tua dari peserta didik harus terus memantau perkembangan yang
terjadi pada peserta didik maupun pada sekolah dan pemerintah. Para orang tua
harus cermat dan kritis dalam menanggapi perubahan kurikulum ini. Semoga dengan
dijalankannya kurikulum yang baru ini dapat meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia sehingga dapat tercapai dari tujuan pendidikan itu sendiri yaitu
memanusiakan manusia.
0 comments: