Oleh Robby Xandria Mustajab
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
Pemilihan kepala daerah sudah semakin dekat, para kandidat pasangan calon (paslon) baik tingkat Kota maupun Provinsi di setiap daerah di Indonesia semakin hari semakin memperlihatkan keberpihakannya kepada masyarakat. Ini semua tentu karena para Paslon kita ingin membuktikan diri mereka dengan berlomba-lomba menunjukan kedekatannya pada masyarakat. Kita tidak akan membahas tentang dinamika politik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, hanya ada beberapa hal yang menggelitik mengenai politik yang akan kita bahas.
APA ITU POLITIK?
Banyak dari kita yang mungkin menganggap politik merupakan sebuah cara-cara yang kotor, yang tidak sehat, irasional, syarat akan kekuasaan dan menjadi penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi. Pandangan ini timbul bukan karena buku Soe hok gie saja, ini semua terjadi karena masyarakat khususnya di Indonesia telah lelah dibuai oleh kampanye dengan janji-janji kehidupan sejahteranya yang dibawa oleh seorang calon pemimpin dan tidak pernah terwujud. Sebaliknya, mereka yang berjanji setelah mengingkari malah mengkhianati dengan melakukan korupsi. "Alamak betapa ngeri nya politik itu!". Pada dasarnya menurut Aristoteles politik dikatakan dengan istilah 'en dam onia' atau politik itu memiliki tujuan mulia yaitu untuk menuju kehidupan yg lebih baik, namun perilaku politisi kita seakan-akan terus menerus membuat citra "politik" menjadi semakin buruk.
PERLUKAH POLITIK ITU?
Seperti yang dikutip di bab awal buku Political Education, karangan Robert Brownhill, dan Patricia Smart, disana terdapat ketimpangan dan perbedaan pendapat mengenai Pendidikan Politik versi Plato dan R.S Peters di lingkup pendidikan. Yang kurang lebih R.S Peters mengatakan bahwa pendidikan itu harus berfokus pada hal-hal yang bersifat konservatif dari pendidikan itu sendiri yang memberi dukungan pada kondisi siswa untuk membawa siswa melihat dunia dengan cara yang baik, dan memberi mereka pengetahuan yang membedakan benar dan salah secara normatif tanpa ada unsur politik di dalamnya. Namun sisi lain Plato mengatakan dalam bukunya berjudul Republik, pendidikan politik itu perlu karena menurutnya orang-orang politik itu hanya di kuasai oleh nafsu mereka pada kekuasaan, kekayaan, atau kejayaan saja tapi mereka semua jauh lebih bodoh dalam politik karena kurang pendidikan politik nya, maka dari itu menurut Plato sangatlah penting pendidikan politik itu. Sistem yang Plato bawa dengan mendukung seseorang memahami politik di dunia pendidikan itu bertujuan agar siswa selaku pihak yang nantinya akan terlibat dalam politik, mampu secara cerdas dalam berpolitik dengan tidak hanya berorientasi pada kekuasaan semata. Pandangan lain dari R.S Peters mengenai orientasi prndidikan menciptakan kemampuan siswa pada ranah ilmiah pada tataran benar dan salah juga tidak boleh dikesampingkan, karena ini akan membangun pemikiran siswa ketika dalam bangku pembelajaran di kelas mampu mengkritisi berbagai kebijakan yang dikeluarkan politisi dan tidak mudah di bodoh-bodohi oleh politisi. Artinya terdapat hidden politic curriculum disini yang keduanya juga memang secara implisit mengatakan pendidikan politik itu perlu untuk bekal siswa saat ini di bangku sekolah dan kelak ketika takdir menuntun mereka menjadi politisi di masa yang akan datang agar menjadi politisi cerdas yang tidak haus kekuasaan.
MAHASISWA SEMBUNYI?
Pertanyaan nya, dimana posisi Mahasiswa? Kemana Mahasiswa saat ini? Sebagai bagian dari masyarakat yang bergerak dalam ranah ilmiah, tentunya Mahasiswa harus lebih memahami politik itu sendiri dalam framing/sudut pandangnya dibanding masyarakat. Setelah memiliki pemahaman yang cukup, maka kewajiban mereka yaitu bergerak memperjuangkan hak-hak rakyat dan terus mengawal pemerintah dalam setiap kebijakannya yang berdampak langsung terhadap masyarakat. Maka karena inilah Mahasiswa di sebut "Agent of social control".
Idealnya memang perilaku Mahasiswa itu harus kritis solutif dan responsif terhadap semua keputusan pemerintah, namun saat ini yang terjadi adalah Mahasiswa memandang politik hanya dari sisi fragmatis saja. Sisi fragmatis ini, adalah tendensi mahasiswa saat ini untuk mencapai eksistensi pribadi atau golonganya. Pandangan pragmatis yang timbul mengenai politik di kalangan Mahasiswa saat ini sedikit banyak disebabkan karena banyak mantan aktivis dari kalangan mahasiswa yang dulu lantang menyuarakan suara rakyat, kini menjadi bagian dari elit politik di tataran pemerintahan dan membuat kita selaku mahasiswa zaman now ingin menjadi aktivis yang tujuannya jelas, yaitu "ingin mengikuti langkah senior mahasiswa dulu menjadi aktivis dan sukses duduk di kursi dewan." Akhirnya Mahasiswa pun hanya mampu bersembunyi dibalik kepura-puraan idealisme mereka yang ternyata dalam lubuk hati yang paling dalam hanya menginginkan sebuah "kursi".
KURSI MEMANG SEKSI
Duduk di kursi Dewan ini tentu menjadi keinginan sebagian besar organisatoris yang saat ini mungkin dengan lantang mengatakan "jika ingin merubah sistem, maka kita harus masuk ke dalam sistem tersebut". Bagi para Mahasiswa yang fokus hanya di bidang akademisi atau perkuliahan juga, kursi tetap menjadi daya tarik utama apalagi ketika waktu ujian tiba. Mereka mengatakan bahwa "kursi menentukan prestasi", tidak perlu penulis paparkan makna nya, namun nampak jelas begitu seksi nya sebuah "Kursi" dalam pandangan Mahasiswa baik Mahasiswa organisatoris atupun Mahasiswa akademisi ini menjadi sebuah keniscayaan.
BENANG MERAH~
Namun seiring berjalannya waktu idealisme untuk mensejahterakan rakyat "dari dalam sistem" seperti yang dikatakan para aktivis kita terdahulu perlahan mulai luntur ketika mereka sudah ada di dalam sistem dan lupa akan kesejahteraan rakyat yang mereka dukung sebelumnya. Lalu idealisme kursi menurut pihak akademisi kita pun juga mulai luntur ketika mereka menemukan jalan hidupnya sesaat setelah skripsi. Intinya janganlah kita terlalu sibuk memperebutkan kursi, baik di tataran dewan maupun di ruang lingkup Mahasiswa. Senior saya pernah mengatakan, "Ketika kita selalu bergerak memperjuangkan umat, maka eksistensi, rezeki, dan mungkin kursi akan datang sendiri".
Akhirnya harapan dari tulisan ini adalah agar kita mampu membedakan mana calon pemimpin yang terbuai akan seksi nya kursi dan mana calon pemimpin yang benar-benar memperjuangkan rakyat. Semoga tulisan ini menjadi tambahan literasi kita selaku Mahasiswa agar lebih cerdas dalam langkah partisapasi politik kita, dan juga mampu membuat perilaku politik yang akan kita ambil selaku Mahasiswa dalam menentukan calon mana yang harus kita pilih baik di lingkup pilkada maupun lingkup mahasiswa.
Tamansari, 18 April 2018
Robby Xandria Mustajab
0 comments: