oleh Sidik
Permana 1603541
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAKSI
Partai politik adalah perkumpulan (segolongan orang)
yang seasas, sehaluan, dan setujuan dengan berlandaskan ideologi tertentu yang
dibentuk secara konstitusional. Partai politik terdiri dari orang-orang yang
berkompeten dibidangnya, khususnya politik. Namun, kompetensi yang dimiliki
oleh aktor politik sering kali tidak diikuti oleh etika politik sehingga
menyebabkan paradigma masyarakat menjurus kepada stigma yang selalu dilekatkan
kepada mereka, pada akhirnya partai politiklah yang mendapatkan getahnya.
Masyarakat pun menjadi antipati terhadap politik dan memunculkan sikap apatis
terhadap kondisi politik nasional. Padahal, partisipasi masyarakat dalam
membangun bangsa ini sangatlah diperlukan dalam mewujudkan nawacita Presiden
Republik Indonesia, Joko Widodo. Semua ini menjadi tanggung jawab besar partai
politik dalam memperbaiki dan mencetak kader-kader politik yang berkualitas,
berkompeten, dan beretika politik yang selayaknya sehingga dapat memperbaiki
citra partai politik di masyarakat yang sudah terlanjur melekat. Maka, untuk
mewujudkan impian tersebut diperlukanlah suatu upaya konkret yang dilakukan
oleh partai politik salah satunya melalui edukasi politik yang ditujukan kepada
internal partai khususnya kader-kader politik yang terhimpun dalam suatu partai
politik dan ekternal partai yang diarahkan kepada masyarakat. Oleh karena itu,
dengan melalui beberapa pendekatan, edukasi politik dapat diwujudkan dalam
beberapa kegiatan seperti pendidikan politik bagi kader politik, sosialisasi
politik bagi masyarakat dan mengoptimalkan fungsi partai politik. Sehingga,
stigma masyarakat terhadap politik dapat diminimalisir karena sejatinya politik
itu tidaklah kotor namun oknum-oknum politiklah yang membuat politik menjadi
tidak suci lagi.
Kata Kunci:
Partai Politik, Etika Politik, Edukasi Politik
PENDAHULUAN
Partai politik, sepertinya kata
tersebut tidak asing di telinga masyarakat terlebih lagi menjelang pesta
demokrasi 2018 nanti. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Miriam
Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita- cita yang sama.
Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan pilitik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan
program mereka (Budiarjo, 2008, hlm. 403-404). Senada dengan Miriam Budiarjo,
Sigmund Neumann (1963) dalam karyanya, Modern
Political Parties, mengemukakan definisi sebagai berikut:
A
political party is the articulate organization of society’s active political
agents; those who are concerned with the control of governmen political power,
and who compete for popular support with other group or groups holding
divergent views.
Faktor
kunci dalam keberhasilan suatu partai politik sangat ditentukan oleh sumber
daya manusianya. Kompetensi yang dimiliki oleh aktivis-aktivis politik memang
sangat beragam dan mungkin ahli dibidangnya masing-masing namun terdapat satu
hal bahwa kualitas kompetensi yang dimilikinya tidak menentukan bahwa seseorang
itu bermoral. Berbicara mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari etika
(filsafat moral). Runi Hariantati (2003, hlm. 57) mengungkapkan bahwa “etika
memberikan dasar moral kepada politik sehingga dengan menghilangkan etika dari
kehidupan berpolitik akan mempengaruhi praktik politik yang mengarah kepada
sikap Machavallestis, yaitu politik sebagai alat untuk melakukan segala
sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan dan norma yang berlaku
seakan bernuansa positivistik.” Dengan demikian, tindakan seorang politikus
yang tidak dilandasi oleh etika cenderung menyimpang walaupun pada dasarnya dia
tahu hal itu salah. Sering kali masalah etika politikus membuat heboh jagad
maya Indonesia, sebagai contoh: mega korupsi e-KTP yang menyeret nama-nama
besar di tubuh DPR, gratifikasi dan suap Bupati Kutai Kartanegara, ujaran
kebencian yang dilakukan Eggi Sudjana, tertidur saat sidang paripurna DPR, alpa
dalam sidang paripurna, tindak pidana asusila, mementingkan kepentingan
golongan dan masih banyak lagi. Hal ini akan mempengaruhi citra partai politik
di mata publik yang kemudian dapat memunculkan stigma dan membuat paradigma
“politik” yang salah di masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan partai politik
dapat membenahi struktur internal partai dengan membentuk dan memperbaiki sikap
kader-kader politik agar menjadi pejabat publik yang beretika dan berestetika,
selain itu partai politik menanggung beban tanggung jawab moral kepada masyarakat
untuk mengembalikan citra politik sebagaimana mestinya. Maka, sebagai sarana
edukasi politik, partai politik wajib memberikan edukasi politik kepada
masyarakat untuk membuka pikiran kepada mereka bahwa politik itu suci, negara
ini dapat maju jika masyarakatnya peduli terhadap permasalahan bangsa sehingga
dengan mengubah paradigma politik masyarakat melalui edukasi politik diharapkan
sikap empati masyarakat terhadap permasalahan bangsa ini dapat tumbuh. Dengan
kata lain, partai politik perlu mengoptimalkan fungsi partai melalui edukasi
politik yang ditujukan kepada struktur internal partai (kader-kader partai) dan
juga masyarakat.
PEMBAHASAN
Sikap politik warga negara Indonesia
khususnya generasi muda bangsa yang kurang empati terhadap permasalahan bangsa
ini menjadi masalah serius bagi kemajuan bangsa ini. Bagaimana tidak, sikap
apatis seorang warga negara terhadap kondisi politik bangsa merupakan imbas
dari ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, misalnya penegakan hukum
yang cenderung “tumpul keatas tajam kebawah” seperti pada kasus mega korupsi
e-KTP, dimana Setya Novanto dapat lolos dari sidang praperadilan yang kemudian
menambah kegagalan KPK dalam menjerat aktor-aktor politik yang terjerat
korupsi. Hal ini memunculkan persepsi di masyarakat bahwa pelaku-pelaku politik
itu tidak dapat dipercaya, stereotip ini kemudian berimbas pula pada
elektabilitas partai yang menaunginya. Maka, untuk menanggulangi permasalahan
tersebut perlu diupayakan suatu edukasi politik yang dilakukan oleh internal
partai, salah satunya diawali dengan membenahi sikap politik para pejabat
publik. Permasalahan etika menjadi persoalan tersendiri, dibandingkan dengan
persoalan kualitas kompetensi kader parpol, etika menjadi kunci untuk mendulang
dukungan dari masyarakat. Frans Magnis Suseno pernah mengungkapkan, etika
mendasarkan diri pada rasio untuk menentukan kualitas moral kebajikan maka
disebut juga sistem filsafat yng mempertanyakan praksis manusia berkenaan
dengan tanggung jawab dan kewajibannya (Soeseno, l988, hlm. l3). Dari
pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa etika sangat mempengaruhi
kualitas moral bagaimana tanggung jawab dan kewajiban seseorang dapat
dilaksanakan. Sebagai seorang politikus, sudah menjadi kewajibannya untuk
menjaga harkat dan martabat diri dan partai yang menaunginya dan bertanggung
jawab pada setiap perbuatan yang dilakukannya, ketika masyarakat ingin meminta
pertanggung jawabannya maka seorang politikus yang bijak akan siap
melakukannya. Sering didapati seorang politikus yang mem-posting curhatannya di media sosial yang kemudian berujung pada pelanggaran
hukum, persoalannya bukan terletak pada curhatannya namun pada etikanya
mengingat kapasitasnya sebagai tokoh politik, hal ini dapat menimbulkan
kegaduhan nasional. Disinilah diperlukan edukasi politik, bagaimana etika
politik ditanamkan kepada kader-kader politik agar mereka tidak “lupa”
kapasitasnya sebagai aktivis politik. Emile Durkheim menghendaki
diselenggarakannya sistem pendidikan untuk pembinaan moral... dalam istilah
populernya “Elle cree dans L’homme un
etre nouveau”, artinya pendidikan menciptakan dalam diri manusia sesuatu
yang baru (Abdullah & Derjoeden, l986, hlm. 2l). Mengacu pada Pasal 11 ayat
(1) huruf a Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang
berbunyi: “Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi
warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Oleh karena itu, edukasi politik
sangat diperlukan untuk menumbuhkan sikap politik yang ideal sebagaimana fungsi
partai politik sebagai sarana pendidikan politik yaitu mewujudkan sikap warga
negara yang sadar akan hak dan kewajibannya. Dengan membenahi etika kader-kader
politik diharapkan dapat memperbaiki citra partai politik yang sempat rusak
akibat ulah kadernya yang tidak bermoral, semua ini bisa mengedukasi masyarakat
bahwa sejatinya menjaga sikap, sopan dan santun diperuntukan bagi seluruh warga
negara dimanapun dan kapanpun tanpa melihat dia tokoh politik ataupun rakyat
biasa.
Fungsi partai politik sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, diantaranya sebagai sarana pendidikan politik, pencipta iklim yang
kondusif, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi, partisipasi politik dan
rekrutmen politik. Menurut Miriam Budiarjo (2008), fungsi partai politik di
negara demokrasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya sebagai
sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan sarana
pengatur konflik (Conflict Management).
Partai politik sebagai sarana komunikasi politik merupakan interpretasi dari
penghubung, penyalur, dan penggabungan kepentingan (Interest Aggregation). Pola interaksi antara partai politik dengan
masyarakat perlu dijaga agar hubungan keduanya tetap harmonis, hal ini tidak
terlepas dari berbagai peristiwa yang merenggut nama baik oknum pejabat yang
pada akhirnya menyeret juga nama baik partai politik yang menaunginya. Menjaga
pola interaksi seperti ini dapat dianggap pula sebagai edukasi politik dimana
partai politik selaku komunikator menyampaikan dan memberikan nilai-nilai
politik yang edukatif kepada masyarakat melalui berbagai media maupun langsung
seperti sosialisasi dan seminar. Menurut, teori pengurangan tingkat ketidakpuasan
yang dikembangkan oleh Berger (1982), bahwa salah satu fungsi komunikasi adalah
fungsi mencari informasi dalam upaya mengurangi tingkat ketidakpuasan
komunikator dan komunikan. Menurut Berger, setiap individu berkomunikasi
antarpribadi hanya untuk mendapatkan kepastian. Kepastian membuat seorang
individu merasa yakin dan percaya kepada sesama. Jadi, solusi untuk memulihkan
hubungan akibat bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja mereka dapat
dilakukan dengan meyakinkan masyarakat dengan menunjukan kepastiannya sebagai
sosok partai politik ideal masyarakat, sebagaimana fungsi partai politik yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Partai politik sebagai sarana
partisipasi politik dan rekrutmen politik dapat menjadi upaya dalam mewujudkan
kegiatan edukasi politik. Idealnya, masyarakat tergugah untuk ikut
berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik nasional agar menumbuhkan sikap
peduli terhadap keadaan negeri ini, misalnya dalam kegiatan pemilu. Menjelang
pesta demokrasi 2018, suasana politik negeri ini kembali memanas namun hal ini
bukan menjadi ajang untuk saling menjatuhkan dan mencari keuntungan politik
melainkan jadikan suasana politik ini sebagai bentuk edukasi politik kepada
masyarakat sebagai bentuk sosialisasi untuk menjadi partisipan dan juga ajang
introspeksi diri. Dilansir dari Tribunnews.com, Jakarta, berdasarkan hasil
pembagian rata-rata angka partisipasi pemilih di Pilkada Serentak yang
dilakukan pada Rabu, 16 Desember 2017 pukul 14.00 WIB tingkat partisipasi
pemilih hanya mencapai angka 64,02 persen dari 264 daerah yang menyelenggarakan
pilkada. Angka ini jauh lebih sedikit ketimbang pemilihan sebelumnya dimana
angka golput tidak mencapai 25%. Pada teori pendekatan pengurangan
ketidakpuasan, inilah yang menjadi tugas bagi partai politik guna mengembalikan
citra partai politik yang tidak hanya sekedar mencari kekuasaan dan mencari
kehormatan tapi berbicara mengenai kemaslahatan masyarakat yang dipimpinnya.
Lord Acton pernah mengungkapkan bahwa “Power
tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely” artinya kekuasaan
cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan,
dengan kata lain jangan sampai kekuasaan membutakan segalanya.
PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa partai
politik dan edukasi politik tidak dapat dipisahkan dari kegiatan politik
nasional. Partai politik sebagai garda terdepan dalam memberikan edukasi kepada
masyarakat yang berhubungan dengan politik, dapat dimulai dari etika berpolitik
para pelaku politik. Etika politik yang menjadi cerminan seorang aktor politik
akan berimbas pada partai politik yang menaunginya, sehingga etika dan estetika
dalam bertindak akan sangat mempengaruhi keadaan parta politik. Edukasi politik
yang dilakukan oleh sebuah partai politik harus sesuai dengan konstitusi yang
berlaku sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Parpol mengenai fungsi
partai politik. Maka, perlu adanya pendekatan guna menjalin, menjaga, dan
memulihkan interaksi antara partai politik dan masyarakat melalui teori
pendekatan pengurangan ketidakpuasan. Sebuah teori lain yang mirip dengan ini
dikemukakan oleh Jourard yang kemudian dikenal dengan teori self disclosure atau sering disebut
teori “Johari Window”. Jourard pernah mengungkapkan (Jourard, 1958), asumsi
dasar teori ini mengatakan kalau setiap individu bisa memahami diri sendiri
maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan
dengan orang lain. Keterbukaan partai politik yang disampaikan melalui sosialisasi
dengan metode edukasi politik yang intensif dapat menjawab kecemasan dan rasa
keingin tahuan masyarakat, sehingga “tidak ada dusta diantara kita”.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abdullah, T. & A. C. van Deerlenden. (1986).
Durkhaim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Yayasan Obor Indonesia.
Berger, J. & Mohr, J. (1982). Another Way of Telling. USA: University of Michigan, Pantheon.
Budiardjo, M.
(2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djaja, E. (2008). Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.
Magnis, S. F. (1988). Etika Politik. Jakarta: Gramedia.
Neumann, S. (1963). Modern Political Parties. London: The Free Press of Glencoe.
B. Jurnal
Jourard, S. M. (1958). Some Factors In Self
–Disclosure. Journal of Abnormal and
Social Psychology, 59, hlm. 95-99.
Hariantati, R. (2003). Etika Politik dalam Negara
Demokrasi. Jurnal Demokrasi: Etika
Politik, 2(1), hlm. 57-68.
C.
Internet
Prakoso, A.
(2015). Tingkat Partisipasi Pilkada
Serentak Hanya Capai 64,02 Persen. Diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2015/12/16/tingkat-partisipasi-pilkada-serentak-hanya-capai-6402-persen.
D.
Peraturan
Undang-Undang
No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
LAMPIRAN
Dirlanudin, 2012. PENDIDIKAN POLITIK BAGI PARTAI POLITIK. Jurnal Niagara
4, 1.
0 comments: