Monday, December 18, 2017

Mengubah Paradigma Berpartai Politik Melalui Edukasi Politik




oleh Sidik Permana 1603541
Mahasiswa S1 Departemen Pendidikan Kewarganegaraan
Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia

ABSTRAKSI
            Partai politik adalah perkumpulan (segolongan orang) yang seasas, sehaluan, dan setujuan dengan berlandaskan ideologi tertentu yang dibentuk secara konstitusional. Partai politik terdiri dari orang-orang yang berkompeten dibidangnya, khususnya politik. Namun, kompetensi yang dimiliki oleh aktor politik sering kali tidak diikuti oleh etika politik sehingga menyebabkan paradigma masyarakat menjurus kepada stigma yang selalu dilekatkan kepada mereka, pada akhirnya partai politiklah yang mendapatkan getahnya. Masyarakat pun menjadi antipati terhadap politik dan memunculkan sikap apatis terhadap kondisi politik nasional. Padahal, partisipasi masyarakat dalam membangun bangsa ini sangatlah diperlukan dalam mewujudkan nawacita Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Semua ini menjadi tanggung jawab besar partai politik dalam memperbaiki dan mencetak kader-kader politik yang berkualitas, berkompeten, dan beretika politik yang selayaknya sehingga dapat memperbaiki citra partai politik di masyarakat yang sudah terlanjur melekat. Maka, untuk mewujudkan impian tersebut diperlukanlah suatu upaya konkret yang dilakukan oleh partai politik salah satunya melalui edukasi politik yang ditujukan kepada internal partai khususnya kader-kader politik yang terhimpun dalam suatu partai politik dan ekternal partai yang diarahkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, dengan melalui beberapa pendekatan, edukasi politik dapat diwujudkan dalam beberapa kegiatan seperti pendidikan politik bagi kader politik, sosialisasi politik bagi masyarakat dan mengoptimalkan fungsi partai politik. Sehingga, stigma masyarakat terhadap politik dapat diminimalisir karena sejatinya politik itu tidaklah kotor namun oknum-oknum politiklah yang membuat politik menjadi tidak suci lagi.

Kata Kunci: Partai Politik, Etika Politik, Edukasi Politik

PENDAHULUAN
            Partai politik, sepertinya kata tersebut tidak asing di telinga masyarakat terlebih lagi menjelang pesta demokrasi 2018 nanti. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Miriam Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita- cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan pilitik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan program mereka (Budiarjo, 2008, hlm. 403-404). Senada dengan Miriam Budiarjo, Sigmund Neumann (1963) dalam karyanya, Modern Political Parties, mengemukakan definisi sebagai berikut:

            A political party is the articulate organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmen political power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views.

Faktor kunci dalam keberhasilan suatu partai politik sangat ditentukan oleh sumber daya manusianya. Kompetensi yang dimiliki oleh aktivis-aktivis politik memang sangat beragam dan mungkin ahli dibidangnya masing-masing namun terdapat satu hal bahwa kualitas kompetensi yang dimilikinya tidak menentukan bahwa seseorang itu bermoral. Berbicara mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari etika (filsafat moral). Runi Hariantati (2003, hlm. 57) mengungkapkan bahwa “etika memberikan dasar moral kepada politik sehingga dengan menghilangkan etika dari kehidupan berpolitik akan mempengaruhi praktik politik yang mengarah kepada sikap Machavallestis, yaitu politik sebagai alat untuk melakukan segala sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan dan norma yang berlaku seakan bernuansa positivistik.” Dengan demikian, tindakan seorang politikus yang tidak dilandasi oleh etika cenderung menyimpang walaupun pada dasarnya dia tahu hal itu salah. Sering kali masalah etika politikus membuat heboh jagad maya Indonesia, sebagai contoh: mega korupsi e-KTP yang menyeret nama-nama besar di tubuh DPR, gratifikasi dan suap Bupati Kutai Kartanegara, ujaran kebencian yang dilakukan Eggi Sudjana, tertidur saat sidang paripurna DPR, alpa dalam sidang paripurna, tindak pidana asusila, mementingkan kepentingan golongan dan masih banyak lagi. Hal ini akan mempengaruhi citra partai politik di mata publik yang kemudian dapat memunculkan stigma dan membuat paradigma “politik” yang salah di masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan partai politik dapat membenahi struktur internal partai dengan membentuk dan memperbaiki sikap kader-kader politik agar menjadi pejabat publik yang beretika dan berestetika, selain itu partai politik menanggung beban tanggung jawab moral kepada masyarakat untuk mengembalikan citra politik sebagaimana mestinya. Maka, sebagai sarana edukasi politik, partai politik wajib memberikan edukasi politik kepada masyarakat untuk membuka pikiran kepada mereka bahwa politik itu suci, negara ini dapat maju jika masyarakatnya peduli terhadap permasalahan bangsa sehingga dengan mengubah paradigma politik masyarakat melalui edukasi politik diharapkan sikap empati masyarakat terhadap permasalahan bangsa ini dapat tumbuh. Dengan kata lain, partai politik perlu mengoptimalkan fungsi partai melalui edukasi politik yang ditujukan kepada struktur internal partai (kader-kader partai) dan juga masyarakat.

PEMBAHASAN
            Sikap politik warga negara Indonesia khususnya generasi muda bangsa yang kurang empati terhadap permasalahan bangsa ini menjadi masalah serius bagi kemajuan bangsa ini. Bagaimana tidak, sikap apatis seorang warga negara terhadap kondisi politik bangsa merupakan imbas dari ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, misalnya penegakan hukum yang cenderung “tumpul keatas tajam kebawah” seperti pada kasus mega korupsi e-KTP, dimana Setya Novanto dapat lolos dari sidang praperadilan yang kemudian menambah kegagalan KPK dalam menjerat aktor-aktor politik yang terjerat korupsi. Hal ini memunculkan persepsi di masyarakat bahwa pelaku-pelaku politik itu tidak dapat dipercaya, stereotip ini kemudian berimbas pula pada elektabilitas partai yang menaunginya. Maka, untuk menanggulangi permasalahan tersebut perlu diupayakan suatu edukasi politik yang dilakukan oleh internal partai, salah satunya diawali dengan membenahi sikap politik para pejabat publik. Permasalahan etika menjadi persoalan tersendiri, dibandingkan dengan persoalan kualitas kompetensi kader parpol, etika menjadi kunci untuk mendulang dukungan dari masyarakat. Frans Magnis Suseno pernah mengungkapkan, etika mendasarkan diri pada rasio untuk menentukan kualitas moral kebajikan maka disebut juga sistem filsafat yng mempertanyakan praksis manusia berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajibannya (Soeseno, l988, hlm. l3). Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa etika sangat mempengaruhi kualitas moral bagaimana tanggung jawab dan kewajiban seseorang dapat dilaksanakan. Sebagai seorang politikus, sudah menjadi kewajibannya untuk menjaga harkat dan martabat diri dan partai yang menaunginya dan bertanggung jawab pada setiap perbuatan yang dilakukannya, ketika masyarakat ingin meminta pertanggung jawabannya maka seorang politikus yang bijak akan siap melakukannya. Sering didapati seorang politikus yang mem-posting curhatannya di media sosial yang kemudian berujung pada pelanggaran hukum, persoalannya bukan terletak pada curhatannya namun pada etikanya mengingat kapasitasnya sebagai tokoh politik, hal ini dapat menimbulkan kegaduhan nasional. Disinilah diperlukan edukasi politik, bagaimana etika politik ditanamkan kepada kader-kader politik agar mereka tidak “lupa” kapasitasnya sebagai aktivis politik. Emile Durkheim menghendaki diselenggarakannya sistem pendidikan untuk pembinaan moral... dalam istilah populernya “Elle cree dans L’homme un etre nouveau”, artinya pendidikan menciptakan dalam diri manusia sesuatu yang baru (Abdullah & Derjoeden, l986, hlm. 2l). Mengacu pada Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang berbunyi: “Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Oleh karena itu, edukasi politik sangat diperlukan untuk menumbuhkan sikap politik yang ideal sebagaimana fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik yaitu mewujudkan sikap warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya. Dengan membenahi etika kader-kader politik diharapkan dapat memperbaiki citra partai politik yang sempat rusak akibat ulah kadernya yang tidak bermoral, semua ini bisa mengedukasi masyarakat bahwa sejatinya menjaga sikap, sopan dan santun diperuntukan bagi seluruh warga negara dimanapun dan kapanpun tanpa melihat dia tokoh politik ataupun rakyat biasa.
            Fungsi partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, diantaranya sebagai sarana pendidikan politik, pencipta iklim yang kondusif, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi, partisipasi politik dan rekrutmen politik. Menurut Miriam Budiarjo (2008), fungsi partai politik di negara demokrasi dapat dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik (Conflict Management). Partai politik sebagai sarana komunikasi politik merupakan interpretasi dari penghubung, penyalur, dan penggabungan kepentingan (Interest Aggregation). Pola interaksi antara partai politik dengan masyarakat perlu dijaga agar hubungan keduanya tetap harmonis, hal ini tidak terlepas dari berbagai peristiwa yang merenggut nama baik oknum pejabat yang pada akhirnya menyeret juga nama baik partai politik yang menaunginya. Menjaga pola interaksi seperti ini dapat dianggap pula sebagai edukasi politik dimana partai politik selaku komunikator menyampaikan dan memberikan nilai-nilai politik yang edukatif kepada masyarakat melalui berbagai media maupun langsung seperti sosialisasi dan seminar. Menurut, teori pengurangan tingkat ketidakpuasan yang dikembangkan oleh Berger (1982), bahwa salah satu fungsi komunikasi adalah fungsi mencari informasi dalam upaya mengurangi tingkat ketidakpuasan komunikator dan komunikan. Menurut Berger, setiap individu berkomunikasi antarpribadi hanya untuk mendapatkan kepastian. Kepastian membuat seorang individu merasa yakin dan percaya kepada sesama. Jadi, solusi untuk memulihkan hubungan akibat bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja mereka dapat dilakukan dengan meyakinkan masyarakat dengan menunjukan kepastiannya sebagai sosok partai politik ideal masyarakat, sebagaimana fungsi partai politik yang tercantum dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
            Partai politik sebagai sarana partisipasi politik dan rekrutmen politik dapat menjadi upaya dalam mewujudkan kegiatan edukasi politik. Idealnya, masyarakat tergugah untuk ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik nasional agar menumbuhkan sikap peduli terhadap keadaan negeri ini, misalnya dalam kegiatan pemilu. Menjelang pesta demokrasi 2018, suasana politik negeri ini kembali memanas namun hal ini bukan menjadi ajang untuk saling menjatuhkan dan mencari keuntungan politik melainkan jadikan suasana politik ini sebagai bentuk edukasi politik kepada masyarakat sebagai bentuk sosialisasi untuk menjadi partisipan dan juga ajang introspeksi diri. Dilansir dari Tribunnews.com, Jakarta, berdasarkan hasil pembagian rata-rata angka partisipasi pemilih di Pilkada Serentak yang dilakukan pada Rabu, 16 Desember 2017 pukul 14.00 WIB tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai angka 64,02 persen dari 264 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Angka ini jauh lebih sedikit ketimbang pemilihan sebelumnya dimana angka golput tidak mencapai 25%. Pada teori pendekatan pengurangan ketidakpuasan, inilah yang menjadi tugas bagi partai politik guna mengembalikan citra partai politik yang tidak hanya sekedar mencari kekuasaan dan mencari kehormatan tapi berbicara mengenai kemaslahatan masyarakat yang dipimpinnya. Lord Acton pernah mengungkapkan bahwa “Power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely” artinya kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan, dengan kata lain jangan sampai kekuasaan membutakan segalanya.

PENUTUP    
            Dapat disimpulkan bahwa partai politik dan edukasi politik tidak dapat dipisahkan dari kegiatan politik nasional. Partai politik sebagai garda terdepan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat yang berhubungan dengan politik, dapat dimulai dari etika berpolitik para pelaku politik. Etika politik yang menjadi cerminan seorang aktor politik akan berimbas pada partai politik yang menaunginya, sehingga etika dan estetika dalam bertindak akan sangat mempengaruhi keadaan parta politik. Edukasi politik yang dilakukan oleh sebuah partai politik harus sesuai dengan konstitusi yang berlaku sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Parpol mengenai fungsi partai politik. Maka, perlu adanya pendekatan guna menjalin, menjaga, dan memulihkan interaksi antara partai politik dan masyarakat melalui teori pendekatan pengurangan ketidakpuasan. Sebuah teori lain yang mirip dengan ini dikemukakan oleh Jourard yang kemudian dikenal dengan teori self disclosure atau sering disebut teori “Johari Window”. Jourard pernah mengungkapkan (Jourard, 1958), asumsi dasar teori ini mengatakan kalau setiap individu bisa memahami diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan orang lain. Keterbukaan partai politik yang disampaikan melalui sosialisasi dengan metode edukasi politik yang intensif dapat menjawab kecemasan dan rasa keingin tahuan masyarakat, sehingga “tidak ada dusta diantara kita”.








DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku
Abdullah, T. & A. C. van Deerlenden. (1986). Durkhaim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Yayasan Obor Indonesia.
Berger, J. & Mohr, J. (1982). Another Way of Telling. USA: University of Michigan, Pantheon.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djaja, E. (2008). Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.
Magnis, S. F. (1988). Etika Politik. Jakarta: Gramedia.
Neumann, S. (1963). Modern Political Parties. London: The Free Press of Glencoe.

B.     Jurnal
Jourard, S. M. (1958). Some Factors In Self –Disclosure. Journal of Abnormal and Social Psychology, 59, hlm. 95-99.
Hariantati, R. (2003). Etika Politik dalam Negara Demokrasi. Jurnal Demokrasi: Etika Politik, 2(1), hlm. 57-68.

C.     Internet
Prakoso, A. (2015). Tingkat Partisipasi Pilkada Serentak Hanya Capai 64,02 Persen. Diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2015/12/16/tingkat-partisipasi-pilkada-serentak-hanya-capai-6402-persen.

D.    Peraturan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

LAMPIRAN
Dirlanudin, 2012. PENDIDIKAN POLITIK BAGI PARTAI POLITIK. Jurnal Niagara 4, 1.
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: