Belajar Pada Aristotle Onassis
Oleh: Mohamad Rian Ari Sandi
Kali ini
saya ingin merepost sebuah kisah hikmah
yang terdapat dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah yang ditulis oleh Salim A.
Fillah tentang pentingnya gelora dan antusiasme dalam mengusahakan sebuah
tujuan. Beginilah kisahnya:
Anak muda itu, sekitar 17 tahun usianya. Dia imigran gelap dari
Yunani yang teramat miskin. Tapi dia sangat ingin menjadi kaya. Baginya, gelora
adalah keberanian memulai. Dengan penuh semangat.
Ketika dilihatnya saudagar tembakau terbesar Amerika berkantor di
kotanya, dicarinya segala cara untuk bisa menemui orang itu. Setiap hari dia
berdiri di seberang jalan, dekat kantor si saudagar. Setiap kali si saudagar
menoleh dari jendela untuk melihat ke seberang, dilambaikannya tangan dengan
antusias. Wajahnya tersenyum penuh minat dan pandangannya tajam.
Tujuh hari berturut-turut hal itu terjadi. Rasa penasaran si
saudagar tak tertahankan lagi. Dipanggilnyalah anak muda bermata biru itu.
“Kulihat kamu selalu melambaikan tangan padaku. Ada apa memangnya?” Si pemuda
menjawab, “Saya bisa mencarikan tembakau yang lebih bagus dengan harga yang
lebih murah untuk Bapak. Dari Brazil. Bapak tidak perlu membayar terlebih
dahulu. Kalau tembakau sudah datang dan ternyata kualitasnya tidak bagus atau
harganya lebih mahal, Bapak tidak perlu membayar.”
Sebenarnya sang saudagar belum terlalu yakin. Tapi dia
mengangguk-ngangguk saja. Lalu dengan nada datar dia berkata, “Tawaranmu
menarik. Bagaimana kalau aku mau?” Tanpa diduga anak muda ini menjabat
tangannya dengan sangat yakin lalu berkata, “Kalau begitu, bolehkah saya minta
kontrak kerja tertulis pada Bapak? Bunyinya begini: Saya nama..., pedagang
tembakau yang beralamat di..., bersedia membeli tembakau dengan kualitas...,
dengan harga harus lebih murah dari... US$/kg. Untuk tahap awal, boleh dikirim
... ton terlebih dahulu dan pembayaran akan dilakukan setelah barang tiba
sesuai mutu dan harga. Apabila mutu dan harga tidak sesuai, pembayaran tidak
akan dilakukan.”
Si saudagar setuju, karena kontrak itu benar-benar tanpa risiko
baginya. Sama sekali tanpa risiko. Apalagi lama-lama ia kian terkesan dengan
kegigihan pemuda miskin ini. Dengan gembira si pemuda berangkat ke Brazil
menumpang sebuah kapal barang. Dikumpulkannya para pedagang tembakau di sana.
Dengan sangat meyakinkan ia meminta mereka menjual tembakaunya ke pasar yang
sangat besar: Amerika. Melihat surat kontrak bermaterai yang ditandatangani
saudagar tembakau terkenal dari Amerika, mereka mengeceknya.
Ternyata sahih! Semua lalu setuju mengirim sampel dengan
perjanjian, si pemuda akan mendapatkan presentase dari tiap transaksi yang
dilakukan berikutnya. Dia kaya. Dan beberapa tahun kemudian, jadilah pemuda
miskin itu seorang raja kapal terkaya di dunia. Namanya Aristotle Onassis.
Kecerdasan,
percaya diri, kesabaran, dan komunikasi. Setidaknya itulah beberapa nilai yang
saya dapatkan dari kisah tersebut.
Onassis
–anggap saja begitu nama panggilannya—cerdas melihat peluang. Dia melihat bahwa
ada tembakau yang secara kualitas dan harga lebih kompetitif dibandingkan
tembakau yang digunakan oleh si saudagar. Maka ia menyusun rencana bagaimana
caranya tembakau yang secara kualitas dan harga lebih kompetitif tersebut bisa
ia tawarkan pada si saudagar.
Onassis juga
percaya diri. Anda bayangkan saja, seorang anak muda miskin berusia 17 tahun
berniat memulai bisnis dengan seorang pengusaha besar. Artinya, itu bukan
bisnis ecek-ecek, itu bisnis besar. Seandainya diri kita ada di posisi si
saudagar, atau rekan kerja si saudagar, maukah kita percaya untuk berbisnis
dengan anak muda miskin tersebut? Dalam kondisi normal, orang banyak pasti meremehkan
impian Onassis. Tapi Onassis yakin dengan reancananya. Ia tak sembarang yakin.
Ia memiliki perhitungan bahwa ia ‘memiliki’ barang yang memang layak untuk
ditawarkan. Ia juga sudah menyiapkan strategi manakala si saudara tertarik
dengan tawarannya tersebut. Itulah alasan kenapa ia yakin untuk berdiri di
pinggir jalan untuk menarik perhatian si saudagar.
Onassis pun
memiliki kesabaran. Tujuh hari berturut-turut berdiri di sebrang jalan,
mengamati setiap gerak-gerik si saudagar, lalu melambaikan tangan dan tersenyum
di momen tepat si saudagar melihat ke jendela bukanlah sesuatu yang mudah
dilakukan. Tanpa kesabaran, boleh jadi ia kehilangan momen menarik perhatian si
saudagar saat si saudagar tersebut melihat ke jendela karena pengamatannya
lengah. Tanpa kesabaran pula, boleh jadi ia sudah menyerah di hari ketiga
karena upayanya menarik perhatian si saudagar tidak ditanggapi. Tapi Onassis
sabar. Ia pun tak asal sabar. Ia tak hanya sekedar berdiri di sebrang tersebut.
Lambaian tangan, senyum, dan pandangan tajam merupakan kombinasi antusiasme
yang ia tunjukkan setiap hari. Itulah makna sabar. Sabar bukan berarti pasrah
begitu saja menerima nasib. Tapi sabar juga tentang konsisten proaktif
melakukan upaya terbaik untuk mendapatkan hasil terbaik.
Dan Onassis
juga lihai berkomunikasi. Saat kesabarannya berdiri di sebrang jalan berhasil
menarik perhatian si saudagar, ia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia
tak gugup. Ia sampaikan alasan dan maksud dari tingkah anehnya selama tujuh
hari berdiri di sebrang kantor si saudagar. Dengan kepandaiannya berkomunikasi
dan bernegosiasi, ia berhasil meyakinkan si saudagar untuk sudi menerima
tawaran darinya dan menyepakati kontrak kerja resmi secara tertulis. Padahal,
ia hanya seorang pemuda berusia 17 tahun yang miskin. Berbekal kontrak kerja
sahih itulah ia pun bisa meyakinkan para petani tembakau di Brazil untuk mau
mengirimkan tembakaunya ke pasar Amerika. Seandainya Onassis tak pandai
berkomunikasi, boleh jadi upayanya berdiri tujuh hari di sebrang jalan sia-sia
karena si saudagar tidak tertarik saat mendapatkan tawaran bisnis darinya.
Maka, mari kita
belajar dari Aristotle Onassis.
Wallahu alam
bish shawab.
0 comments: