Sunday, March 9, 2014

LOVING YOU SIMPLY

Oleh Yuke Muzdalifah

Apakah kau pernah menyukai seseorang yang sebelumnya sama sekali tak menarik bagimu? Jika pernah, kau tentu tahu apa yang kurasakan.
            Dia memang tampan, juga pintar. Bisa dibilang, dia adalah pria idaman wanita jika tidak memiliki kelemahan yang membuatnya dipandang sebelah mata. Dia tidak cacat, juga tidak gila. Hanya saja dia memiliki banyak teman wanita dan bersikap hampir sama dengan teman wanitanya. Ya, dia lemah gemulai.
            Namanya Ken Matthew. Ia satu kelas denganku. Dan aku adalah sahabatnya sejak kami memasuki universitas. Walau Ken memiliki banyak kenalan teman wanita, ia terlanjur menganggapku sahabat terbaiknya. Tentu saja aku senang bersahabat dengannya. Ken sangat baik dan perhatian. Ia juga cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas, seolah ada chif didalam otaknya. Persahabatan kami telah berjalan hampir tiga tahun.
            Semua orang yang mengenal Ken tentu paham dengan sikap Ken yang kemayu seperti wanita. Namun tidak semua orang mengetahui apakah Ken masih normal atau tidak—maksudku, apakah dia masih menyukai wanita atau tidak. Termasuk aku. Aku juga tak mengetahui apakah Ken masih normal atau tidak, yang aku tahu—Ken sama sekali tidak terlihat tertarik dengan pria ataupun wanita.
            Selama bersahabat dengannya, sekalipun aku tak pernah mendengarnya bercerita mengenai seseorang yang disukainya. Ken lebih banyak menceritakan masalah keluarganya yang berantakan. Ibunya yang hobi mabuk dan ayahnya yang selalu berganti wanita, membuat Ken frustasi dan membenci seorang pria seperti ayahnya. Ken pernah mengatakan bahwa ibunya hobi mabuk karena ayahnya sering berselingkuh secara terang-terangan. Lambat laun pskologis Ken lebih memilih wanita sebagai temannya dibanding lelaki. walau Ken lelaki, ia memandang bahwa hampir semua pria akan mempermainkan wanita. Seperti ayah Ken kepada ibunya. Dan Ken tak akan mau seperti itu.
            Namun kenyataan itu membuat Ken terlena dengan perilaku wanita dan cenderung mengikutinya. Hingga sampai tiga bulan terakhir, entah mengapa Ken mengatakan padaku bahwa ia akan berubah. Ia ingin berubah menjadi seorang pria. Seorang pria yang disukai banyak wanita. Seorang pria yang sangat menarik dan mempesona. Seorang pria yang akan membuat semua wanita jatuh cinta.
            Awalnya aku tak percaya dan hanya menganggap Ken bercanda, namun perubahan bentuk tubuh Ken membuatku mulai percaya bahwa dia akan benar-benar berubah. Tubuh Ken memang tegap, namun saat ini tubuhnya menjadi terlihat lebih gagah dan berotot. Rambut Ken selalu terlihat rapi dan berminyak karena gel, namun kini rambutnya terlihat sedikit berantakan yang membuatnya terlihat...keren. Ken selalu menggunakan tasnya disisi kanannya sama sepertiku, namun sekarang Ken menggunakan tasnya secara selempang. Dulu, Ken selalu memakai kaos yang ketat. Namun sekarang, ia selalu menggunakan kemeja. Jeans yang dikenakan Ken juga selalu ketat, namun sekarang ia menggunakan jeans longgar.
            Tidak hanya itu, Ken biasanya suka bergosip seperti kami—para wanita. Namun sekarang Ken lebih memilih diam ketika kami bergosip atau ia hanya menanggapinya dengan senyuman kecil. Cara bicara Ken pun terdengar lebih santai dan suaranya terdengar berat. Intinya, Ken terlihat berbeda. Sangat berbeda. Tapi sekalipun Ken tak pernah mengatakan alasannya padaku. Ia sama sekali tak menjawab pertanyaanku ketika aku menanyakan alasannya berubah. Ken lebih memilih tersenyum sambil mengangkat bahu untuk menjawab pertanyaanku. Tapi aku senang ketika melihat sahabatku berubah menjadi seseorang yang lebih baik.
            Bahkan Ken telah menjadi idola para wanita dikampus. Ia menjelma menjadi pria keren yang banyak membuat wanita terpesona dan jatuh hati padanya dengan mudah. Termasuk aku. Ya, aku—Laura Clensey—menyukai sahabatku sendiri, Ken Matthew. Aku tak tahu kapan perasaan ini muncul, yang jelas aku merasa sangat bahagia ketika bersama Ken. Jika kau ingin bertanya mengenai sikap Ken saat ini kepadaku setelah ia berubah, sayangnya ia masih memperlakukanku sama seperti sebelumnya. Sebagai sahabatnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku sambil mencondongkan tubuhku. Berusaha untuk melihat apa yang ditulis Ken. Saat ini kami sedang berada di cafe kecil dekat kampus.
Ken segera berhenti menulis dan menarik kertas itu. “Ini rahasia” sahutnya. Lalu ia melipat kertas yang berisi tulisannya dan memasukkannya ke dalam mantel coklat muda yang dikenakannya.
Aku memberengut dan menyipitkan mataku menatapnya.
“Percayalah padaku, kau akan tertawa jika mengetahuinya” ujar Ken sambil menyesap kopi miliknya.
“Tidak” kataku. “Aku janji tidak akan tertawa jika mengetahui apa yang kau tulis itu” kataku lagi berusaha meyakinkan Ken. Namun Ken hanya mengangkat sebelah alisnya. “Sungguh” sahutku meyakinkan.
“Sudahlah, itu tidak penting” Ujar Ken akhirnya.
Aku menghela napas kecewa dan kembali meminum lemon tea-ku. Tapi aku tidak menyerah.
“Apa kau sedang membalas surat dari penggemarmu?” tanyaku sambil kembali mencondongkan tubuhku agar dapat melihat ekspresi wajah Ken dengan jelas.
Tentu saja hatiku berdetak tak beraturan dan tiba-tiba saja tanganku berkeringat. Hal itu karena aku merasa tak pernah memandang wajah Ken dalam jarak dekat dengan perasaan yang berbeda. Lalu aku melihat Ken melebarkan matanya sesaat lalu tertawa.
Ken menggelengkan kepalanya. “Tidak” sahutnya. Aku bernapas lega. “Lagipula aku tak memiliki penggemar”
Aku kembali menyandarkan tubuhku dikursi dan memutar bola mataku. Aku menatap Ken dengan jengah. “Oh Tuhan! Ken, tolonglah jangan bersikap lugu, naif, polos, atau apapun itu. tanpa aku mengingatkanmu bahwa kau memiliki penggemar, tentu kau tahu bagaimana terobsesinya mereka terhadap dirimu”
“Kau berlebihan” kata Ken tersenyum kecil. “Tidak mungkin mereka menyukai lady-boyseperti diriku” wajah Ken terlihat murung.
“Hei! Itu tidak benar” hiburku. “Kau bukanlah lady-boy, dulu—kau hanya berusaha beradaptasi dengan pergaulan wanita hingga perilakumu hampir sama seperti kami”
Ken tersenyum kecil lalu kembali menyesap kopinya.
Dengan sedikit ragu, aku menggerakkan tanganku untuk menyentuh tangannya dimeja. Tiba-tiba perasaan hangat menjalar ditubuhku hingga aku merasa yakin bahwa pipiku kini sudah berwarna merah.
“Dengar, kau telah berubah! Dan aku senang akan hal itu” ujarku meyakinkanya. “Kau—Ken Matthew—adalah pria sempurna yang pernah kutemui. Sungguh. Apalagi setelah kau berubah saat ini, kau benar-benar sempurna. Sangat sempurna”
“Terima kasih” ujar Ken.
Lalu ia menyentuh tanganku dengan tangannya yang satu lagi sambil tersenyum. Aku hampir yakin bahwa saat ini rasa panas yang menjalari tubuhku terasa begitu cepat. Wajahku memanas seketika. Aku tak ingin Ken melepaskan tangannya pada tanganku.
Aku menyadari bahwa aku merasa mulai tidak waras ketika aku menyukai Ken. Sahabatku sendiri yang tak pernah menarik perhatianku hingga dua bulan yang lalu. Apalagi jika mengingat sikap Ken dulu yang hampir sama dengan sikapku. Bahkan kami sering bergosip bersama-sama. Tapi sekarang, lihatlah ia! Ia terlihat sempurna dan tampak seperti pria sejati.
“Wajahmu memerah, kau demam?” tanya Ken lalu menggerakkan tangannya yang berada diatas tanganku untuk menyentuh keningku.
Oh tuhan! Rasanya seperti ada rasa hangat yang mengalir disekujur tubuhku dengan cepat. Demi Tuhan, Ken! Lepaskan tanganmu dikeningku sekarang. Karena aku tak bisa bernapas jika tanganmu masih dikeningku seperti ini. Apalagi jika kau menatapku dengan sorot mata yang membuatku merasa ingin menghentikan waktu saat ini juga.
“Suhu tubuhmu terasa hangat” sahut Ken dan melepaskan tangannya dikeningku.
Spontan aku melepaskan tanganku yang masih memegang tangannya yang satu lagi. Aku hanya bisa menggigit bibirku karena gugup. Aku meremas-remas tanganku dibawah meja. Aku berusaha mengendalikan diriku dan menyadari bahwa Ken adalah sahabatku. Rasanya aku ingin menolak kenyataan bahwa aku menyukai sahabatku sendiri.
“Oh ya Laura, apa aku sudah memberitahumu bahwa Alice akan kesini besok?”
***
Alice Fritz, adalah sahabat Ken sejak Ken masih berumur lima tahun. Hingga mereka berpisah ketika Fritz memilih untuk kuliah di California dibandingkan New York bersama Ken. Dan Fritz memang seperti gadis impian. Ia memiliki wajah yang cantik dengan mata hijau, tinggi yang semampai, kaki yang jenjang, tubuh yang langsing, dan rambut panjang yang diwarnai hitam sepunggung. Kesimpulannya, Fritz terlihat menawan.
Dan baru satu jam yang lalu, Fritz menginjakkan kakinya kembali di New York. Jadi disinilah dia sekarang, diapartement Ken. Denganku juga tentunya. Tentu aku sangat, sangat menolak ajakan Ken untuk menjemput Fritz dibandara. Namun ketika Ken sudah menatapku dengan tatapan yang membuatku ingin menghentikan waktu saat itu juga, aku menganggukkan kepalaku.
Tapi lihatlah sekarang! Mereka berdua duduk disofa sambil bernostalgia mengenang masa lalu yang mereka lalui bersama. Tentu saja Fritz heran dengan perubahan Ken saat ini, namun sepertinya Fritz juga bahagia karena perubahan Ken yang jauh lebih baik. Aku kembali beralih pada ponselku. Aku berpura-pura sibuk dengan ponselku sementara diam-diam aku mendengarkan pembicaraan mereka.
“Kau tahu? Kau terlihat lebih tampan sekarang” Kata Fritz dengan nada ceria.
Ken tertawa. “Tentu saja! Bahkan kau sempat menyukaiku ‘kan”
Aku berhenti memainkan ponselku. Namun kepalaku masih menunduk dan mataku masih menatap ponselku. Hanya saja saat ini aku berusaha lebih fokus untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Berani-beraninya Fritz menyukai Ken!
Fritz tertawa pelan. “Ralat, aku masih menyukaimu Ken”
Aku menahan napas. Rasanya aku ingin meremukkan ponselku saat itu juga, Lalu beranjak untuk meneriaki Fritz agar jangan mendekati Ken.
“Tentu kau tahu Alice, aku tak mungkin menyukai sahabatku sendiri”
Deg! Baiklah, harapanku sirna. Mimpiku pupus sudah. Ken tak mungkin menyukai sahabatnya sendiri. Ia tak mungkin menyukai Fritz dan...aku. tiba-tiba tubuhku terasa tak bertenaga.
“Benar ‘kan Laura?” Ken meminta persetujuan.
Aku mengangkat kepalaku, tersenyum paksa, dan mengangguk lemah.
“Baiklah, aku tak akan memaksamu” ujar Fritz dengan nada ramah. “Omong-omong Laura, apakah jangan-jangan Ken telah memiliki kekasih?” tanya Fritz tepat ketika aku ingin menyibukkan diri  dengan ponselku lagi.
Baiklah, akhirnya Fritz menyadari bahwa diruangan ini masih ada aku. Aku kembali tersenyum dan menggeleng.
“Setahuku tidak” jawabku jujur.
“Alice, kau pasti lapar? Aku akan membuatkanmu makanan. Silahkan beristirahat dan nyalakan saja televisi itu” kata Ken. Dari nada suaranya, sepertinya Ken sedang berusaha menghindari Fritz. “Laura, apa kau bisa membantuku?” tanya Ken ketika ia sudah berdiri.
Binggo! Aku menganggukkan kepalaku dengan semangat. “Tentu saja”
Aku tersenyum penuh kemenangan lalu mengikuti Ken dari belakang. Aku tak sempat melihat ekspresi wajah Fritz, tapi aku tahu bahwa gadis itu pasti merasa kesal. Akhirnya aku bisa berdua dengan Ken tanpa pengganggu.
“Apa kau bisa membantuku untuk mengisi panci itu dengan air?” tanya Ken ketika kami sudah berada didapur.
“Tentu saja” aku segera mengisi panci itu dengan air. Lalu aku melihat Ken yang sedang memotong asparagus. “Kau ingin membuat sup asparagus?”
Ken mengangguk. “Alice sangat menyukai sup asparagus”
Tanpa sadar aku mendesah. Lagi-lagi Alice. Nona Fritz itu sepertinya memiliki tempat yang berarti didalam diri Ken. Oh baiklah, saat ini aku merasa benar-benar seperti malaikat jahat yang akan mengutuk siapapun yang mendekati Ken.
“Sejak kapan dia menyukaimu?” pertanyaan itu segera meluncur dari mulutku tanpa bisa dicegah. Aku segera meletakkan panci tersebut diatas kompor.
Ken mengangkat bahunya dan masih sibuk memotong asparagus. “Mungkin Sejak aku masih menjadi lady-boy
“Ternyata Alice benar-benar menyukaimu rupanya” lalu Aku mendengus. “Dan Berhentilah berkata seperti itu Ken. Kata itu terlalu berlebihan untuk menggambarkan dirimu yang dulu” lalu aku bersandar di kulkas sambil memperhatikan Ken yang sedang memasukkan asparagus dan beberapa bumbu yang lain kedalam panci.
“Baiklah Clensey” sahut Ken sambil mencubit pipiku. Lalu ia tersenyum.
Oh Tuhan! Sampai kapan pipiku akan terasa panas ketika dia menyentuhku seperti ini. Dan apakah jantungku akan terus berdetak tidak beraturan seperti ini jika aku berdekatan dengannya dan melihatnya tersenyum seperti itu?
Tentu aku tak perlu menanyakan bagaimana perasaan Ken pada Fritz sesungguhnya, karena Ken telah menjawabnya tadi. Ken tak mungkin menyukai sahabatnya sendiri. Baiklah, setidaknya jika aku tidak bisa bersama Ken— Fritz juga tidak akan bersama dengan Ken. Ini cukup adil.
“Ken, apakah besok kau bisa menemaniku membeli sesuatu?”
Aku dan Ken menoleh. Lalu aku melihat wajah Fritz penuh harap menatap Ken.
***
Empat hari, delapan jam, tiga belas menit, empat puluh tiga detik. Selama itulah waktu dimana aku tidak bisa bertemu dengan Ken. Sejak hari dimana Fritz sampai di New York dan meminta Ken menemaninya membeli sesuatu, aku tak bisa bertemu dengan Ken. Sebenarnya tidak bertemu sepenuhnya, karena disela-sela kuliah—aku masih bisa bertemu dengan Ken. Namun kami tidak berbicara banyak seperti biasanya. Karena Ken harus menemani Fritz untuk pergi ke tempat yang diinginkan gadis itu selama masa liburnya.
Aku melipat tanganku dimeja dan menunduk bertumpu pada tanganku di meja. Sejak kapan aku hidup seperti ini? Merasa sedih dan kecewa berkepanjangan. Tentu saja sejak aku menyukai Ken. Ah Ken, apa yang sedang dilakukannya sekarang? Mungkin sedang bersenang-senang dengan Fritz sambil berfoto ria. Atau sedang makan berdua di restoran dengan nuansa romantis. Terserahlah, aku tak mau memikirkannya.
“Apa anda ingin memesan makanan Nona?” suara pria terdengar memenuhi pendengaranku.
Aku hanya menggeleng lemah tanpa mengangkat kepalaku. Tapi tunggu! Suara itu... itu adalah suara...Ken. aku segera mengangkat kepalaku dan mendapati Ken sedang menatapku sambil tersenyum. Lalu ia menarik kursi didepanku.
“Mengapa wajahmu lesu seperti itu?” tanya Ken dengan nada heran.
“Benarkah?” jawabku acuh. Lalu aku mengedarkan pandangan untuk mencari gadis itu. “Dimana Fri—maksudku Alice?”
“Alice mengatakan bahwa hari ini dia ada acara keluarga”
Hanya kata ‘oh’ yang keluar dari mulutku. Aku mengangguk-anggukan kepalaku mengerti. Jadi sekarang Ken menemuiku karena Fritz sedang tidak bisa bersamanya. Ini artinya, Ken akan hanya membutuhkanku disaat-saat tertentu saja. Tapi tidak! Ken bukan orang seperti itu. ia pasti tulus ingin bersahabat denganku. Pikiran macam apa itu? sepertinya aku harus segera mengendalikan diriku agar tidak menggabungkan logika dan perasaan.
“Ini” Ken menyerahkan sebuah kotak berwarna merah dimeja ke arahku.
Aku memandangnya dengan alis berkerut. Dengan ragu, aku mengambil kotak merah itu. lalu aku menatap Ken, ia mengangguk seolah meyakinkanku untuk mengambilnya. Aku membukanya dan melihat sebuah kalung emas putih dengan bandul yang berbentuk bulan sabit. Kalung itu terlihat bercahaya dan benar-benar indah. Aku tersenyum dan bersorak-sorak riang dalam hati.
“Bagaimana menurutmu? Apakah kalung itu bagus?” tanya Ken penuh harap.
Aku mengangguk senang sambil mengangkat kalung itu dan memperhatikannya dengan saksama. Kalung ini benar-benar cantik. Oh Ken, aku sangat terharu!
Ken menyandarkan punggungnya dikursi. “Baguslah! Alice pasti senang menerimanya”
Tanpa sadar aku hampir menjatuhkan kalung itu karena tubuhku lemas seketika. Alice, dia bilang? Kalung ini untuknya? Fritz? Oh yang benar saja! Laura, kau benar-benar bodoh karena mengira kalung itu untukmu. Tidak mungkin ia memberikannya untukmu. Oh Laura, sadarlah dari mimpi anehmu dan berhentilah berharap. Ken adalah sahabatmu.
“Besok Alice ulang tahun dan aku akan memberikannya ini” ujar Ken santai tanpa menyadari perubahan wajahku.
Baiklah, mungkin aku menganggap ini adalah hadiah paling romantis yang diberikan seseorang kepada sahabatnya. Waktu aku ulang tahun, Ken hanya memberikanku sebuah boneka. Boneka itu memang besar. Dan Ken tahu aku sangat menyukai boneka. Tapi tetap saja, sebuah boneka besar dibandingkan kalung cantik ini—sangat, sangat, sangat berbeda. Tapi tunggu sebentar...besok sepertinya juga ada hari yang penting. Ah benar, Ken juga berulang tahun. Bukankah Ken pernah mengatakan bahwa ia dan Fritz memiliki tanggal dan bulan ulang tahun yang sama? Sempurna sekali.
“Aku dan Alice akan merayakan ulang tahun kami bersama di apartementku, apa kau ingin bergabung?”
Aku mendengus mendengarnya. Aku menggelengkan kepala dan berusaha tersenyum menenangkan.
“Tidak, terima kasih” sahutku. “Kurasa aku tak ingin menganggu acara kalian”
“Hei! Menganggu apa? Kau ini sahabatku! Sahabatku adalah sahabat Alice juga tentunya”
Itu hanya dari perspektifmu saja Ken. Mungkin jika dilihat dari perspektif Fritz, ia akan beranggapan, sahabat Ken adalah sainganku. Sama sepertiku.
Aku kembali tersenyum dan menggelengkan kepala. “Ya aku tahu. Lagipula besok Mommy mengajakku pergi berbelanja” kilahku.
Ken mengangguk dengan wajah kecewa. “Baiklah” sahut Ken akhirnya.
Aku kembali meletakkan kalung itu dikotak merah tersebut dan menyerahkannya pada Ken.
“Alice pasti senang menerimanya” ujarku.
***
Aku menghentikan mobilku di basement. Aku melirik kotak putih tertutup yang berisi kue ulang tahun dan plastik yang berisi hadiah kemeja. Ya, kue dan hadiah itu memang untuk Ken. Dan saat ini aku tengah berada di basement apartementnya. Aku melihat jam tanganku. Pukul 23.37. aku berencana untuk membuat kejutan ulang tahun untuk Ken. Awalnya memang aku kecewa karena Ken akan memberikan kalung cantik itu untuk Fritz dan merayakan ulang tahunnya bersama gadis itu. tapi kalau dipikir-pikir lagi, selama ulang tahunku—Ken banyak memberiku kejutan dan hadiah. Tak adil rasanya jika aku sama sekali mengacuhkan ulang tahun Ken hanya karena kecewa dengan alasan tersebut. Lagi pula Fritz pasti telah pulang.
Aku membuka pintu mobil disampingku dan mengambil kotak kue dengan hati-hati dan meletakkannya ditangan kiriku serta plastik yang berisi hadiah Ken ditangan kananku. Setelah keluar, aku menutup mobilku dengan tangan kananku dan segera beranjak ke pintu lift. Jika biasanya orang akan mengatakan bahwa orang pertama yang mengucapkan ulang tahun kepadanya adalah yang paling berarti, aku akan mengubahnya. Aku akan menjadi orang terakhir yang mengucapkan ulang tahun kepadanya agar dia terus mengingatku.
Lift berdenting. Aku keluar dari lift dan berjalan di lorong hingga mencapai ujungnya. Ken tinggal di ujung lorong ini. Aku segera membuka tutup kue dan mengambil korek api dari dalam tasku. Aku mulai menyalakan lilin dan menekan bel dengan gugup. Tanganku berkeringat, detak jantungku tak beraturan, dan suhu tubuhku tiba-tiba terasa panas. Aku menarik dan menghembuskan napas untuk mengatasi kegugupanku. Aku kembali menekan bel ketika pintu tak kunjung dibuka. Aku kembali menunggu dengan gugup.
Karena tak sabar, aku mencoba untuk membuka pintu. Pintu apartement Ken tidak dikunci. Apa yang dipikirkan Ken hingga ia tidak mengunci apartementnya? Benar-benar ceroboh. Aku membukanya dan berjalan mengenda-ngendap seperti pencuri agar Ken tidak mengetahui keberadaanku. Namun langkahku terhenti ketika aku sampai diruang televisi.
Ken dan Fritz sedang...berciuman! lututku lemas seketika melihatnya. tiba-tiba dadaku terasa sesak dan sakit hingga aku sulit bernapas dengan benar. Aku hanya berdiri mematung sambil melihat pertunjukkan dua orang sahabat yang sedang bermesraan. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak menangis disini, didepan Ken.
Hingga Ken membuka matanya dan melihatku. Mereka berhenti berciuman. Fritz juga ikut menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya menatap mereka dengan berbagai perasaan yang berkecamuk didalam dadaku. Ken berjalan kearah ku dengan limbung.
“Kau disini?” ujar Ken. Sepertinya Ken mabuk karena tatapannya sayu dan aku dapat mencium bau alkohol dari mulut Ken. “Ayo, bergabunglah bersama kami”
Aku menggeleng dan berusaha untuk tersenyum. “Ini untukmu” aku menyerahkan kue ulang tahun  dan plastik yang berisi hadiah untuk Ken. “Aku harus pulang, sudah larut malam” ujarku ketika Ken sudah menerima kue dan hadiah dariku.
Aku segera berbalik dan berjalan cepat keluar apartement Ken lalu menuju lift. Ketika pintu lift terbuka, pandanganku sudah buram karena air mata yang berkumpul di pelupuk mataku. Aku menarik dan menghembuskan napas untuk mengendalikan diriku dan berusaha keras untuk tidak menangis disini. Ketika lift berdenting, aku keluar dan segera masuk ke dalam mobilku.
Pikiranku hanya mengingat bagaimana Ken dan Fritz berciuman dengan mesra di sofa. Dadaku terasa sangat sesak dan sakit. Rasa sakit ini begitu membuatku sulit bernapas hingga membuat air mata yang berkumpul dipelupuk mataku jatuh membasahi pipiku. Aku segera menghapus air mataku. Namun air mataku tak mau berhenti jatuh dipipiku hingga membuatku lelah dan terisak pelan.
Ini semua memang salahku. Aku yang bodoh. Aku yang selama ini menyukai sahabatku sendiri ketika ia berubah. Aku yang selalu salah mengartikan apa yang dilakukan atau diucapkan Ken ketika perasaan ini muncul. Lalu bagaimana sekarang? Mungkin aku harus membuang perasaan ini jauh-jauh. Perasaan ini hanya akan merusak persahabatanku dengan Ken dan menimbulkan prasangka buruk kepada Ken atau Fritz. Ya, tidak ada pilihan. Aku harus berhenti menyukai sahabatku. Ken Matthew.
***
Drrrttt...drrrttt...
Ponselku bergetar. Kulihat ponselku yang terletak diatas buku yang kuletakkan disampingku, dibangku panjang taman dikampus. Dia yang menelpon. Ken. Entah sudah berapa kali Ken menelepon ku dan mengirimiku pesan singkat. Namun aku mengacuhkannya. Setelah apa yang terjadi tadi malam, tentu tidak mudah bagiku untuk bersikap dengan Ken seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku menyadarkan punggungku dikursi. Saat ini yang kupikirkan adalah bagaimana caranya aku membuang perasaanku terhadap Ken agar persahabatan kami tetap utuh. Tapi menghilangkan rasa sukaku padanya tidak semudah dan secepat ketika aku menyukai Ken. Jalan satu-satunya ialah aku harus menghindari Ken. Setidaknya aku butuh waktu untuk merenungkan semuanya dan menata kembali persahabatanku dengan Ken tanpa melibatkan perasaanku padanya.
Drrrttt...drrrttt...
Ponselku kembali bergetar. Masih dari Ken. Butuh usaha keras agar aku tak menjawab telepon Ken. Aku menghela napas. Aku ingin melihat Ken dan mendengar suaranya, tapi ketika aku melihatnya, aku akan mengingat apa yang dilakukannya dengan Fritz tadi malam. Dan mengingat itu, akan membuat dadaku terasa sakit yang membuat air mataku berkumpul di pelupuk mataku.
“Kau tidak ingin menjawab teleponku?”
Suara yang sangat ingin kudengar membuatku menoleh. Aku melihat Ken sedang berdiri sambil menempelkan ponselnya disebelah telinganya. Raut wajah Ken tidak terlihat senang, ia terlihat khawatir. Pandanganku beralih pada kemeja yang dikenakan Ken. Kemeja pemberian dariku tadi malam. Ken melangkah dan duduk disampingku.
“Apa kau marah padaku?” tanya Ken dengan nada ragu.
Aku kembali menatap kedepan, lalu menggeleng. Aku memang tidak marah padanya, aku marah pada diriku sendiri yang sudah menyukainya.
“Lalu kenapa kau tidak menjawab telepon dariku?”
Demi Tuhan, jangan tanya alasanku tidak mau menjawab teleponmu Ken. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku berusaha menghindarimu dan mencoba menghilangkan perasaanku padamu.
Melihatku hanya diam dan tak menjawab pertanyaannya. Ken kembali berbicara.
“Dan mengenai tadi malam” Ken berdehem. “Aku harap kau tidak salah paham”
Aku masih diam dan tidak bereaksi sedikitpun.
“Itu adalah ciuman perpisahan karena Alice kembali ke California hari ini” jelas Ken. “Namun karena kami meminum terlalu banyak alkhohol, kami terbawa suasana dan...” Ken berhenti sejenak. “Kami tidak melakukan apapun. Sungguh. Untunglah kau datang, karena kau menyadarkanku dan Alice bahwa yang kami lakukan telah diluar batas pertemanan” Ken menghela napas. “Alice memintaku untuk menyampaikan permintaan maafnya kepadamu atas apa yang terjadi tadi malam. Dan aku juga sangat membutuhkan maafmu, Laura” Ken menoleh menatapku.
Aku bisa melihat Ken menatapku dengan sendu dari ujung mataku. Aku masih bergeming. Semua ini salah paham, namun perasaan ini harus tetap dihentikan. Kemudian aku berusaha untuk tersenyum dan menoleh membalas tatapan Ken. Tatapan yang ingin membuatku menghentikan waktu saat itu juga.
“Kau dan Alice tidak perlu meminta maaf” ujarku sambil berusaha mengendalikan nada suaraku. “Aku memakluminya” lanjutku sambil tersenyum
“Baiklah” sahut Ken. “Bagaimana jika aku mentraktirmu makan malam ini?”
Aku sangat ingin sekali menerima ajakan Ken. Namun aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan meminta maaf.
“Maaf Ken, sepertinya aku tidak bisa” jawabku pelan.
Aku bisa melihat sorot kekecewaan dimata Ken. Tapi itu hanya sebentar, karena Ken kembali menatapku sambil tersenyum mengerti.
“Baiklah, Tidak apa-apa”
Tiba-tiba angin musim dingin berhembus menembus kulitku. Seketika tubuhku terasa sedikit menggigil. Aku lupa mengenakan mantel hari ini dan hanya memakai baju tipis. Aku menggosok-gosok lenganku agar merasa lebih hangat. Tapi sepertinya tidak berhasil, karena aku merasa bahwa bibirku mulai mengering dingin.
Kemudian aku melihat Ken berdiri dari duduknya dan melangkah tepat didepanku. Ia melepaskan mantel coklat mudanya dan mengenakannya ditubuhku. Lalu ia berjongkok dan mengelus bahuku yang dilapisi oleh mantelnya dengan pelan. Seolah hal itu dapat megurangi rasa dingin yang kurasakan. Kemudian Ken meniup kedua tangannya dan menggosoknya. Lalu Ken meraih tanganku dan menggenggam tanganku dengan tangannya yang terasa hangat. Selanjutnya Ken berdiri sambil tersenyum menatapku. Ya, tatapan yang ingin membuatku menghentikan waktu saat itu juga.
“Aku harus pergi” kata Ken dan melambaikan tangannya padaku.
Aku hanya dapat menatapnya dalam diam. Apakah tadi aku mengatakan bahwa udara terasa dingin? Lalu mengapa sekarang aku merasa begitu hangat hingga aku yakin rasa hangat yang ada didalam tubuhku ini akan bertahan lama. Baiklah, saat ini segalanya akan terasa lebih sulit. Sepertinya perasaan ini telah mekar sebelum waktunya.
***
“Laura, kau yakin tidak akan ikut?”
Aku menggeleng. “Maaf Jane, aku harus segera pulang”
“Oh baiklah, sampai Jumpa!” Jane melambaikan tangannya padaku dan segera melaju dengan mobilnya.
Aku juga segera masuk kedalam mobilku. Sebenarnya aku ingin ikut Jane dan beberapa temannya untuk pergi ke salon. Namun sepertinya aku sedang malas bergosip dengan teman wanitaku yang lain.
Ketika aku akan meletakkan buku kuliahku di jok belakang, aku melihat mantel coklat muda. Milik Ken. Aku menghela napas. Sudah seminggu terakhir aku tidak berkomunikasi baik dengan Ken. Tentu saja karena aku ingin menghindarinya sampai perasaanku pada Ken berkurang banyak. Dan setelah itu, aku akan kembali bersahabat dengan Ken. Namun sekarang, aku justru merasa tersiksa karena harus menghindari Ken. Mulai dari pesan singkat yang dikirimkannya, teleponnya, dan ketika ia mulai mengajakku berbicara.
Tiba-tiba rasa itu menyergap. Rasa yang membuatku ingin melihat senyumnya dan berbicara dengannya. Aku merindukan Ken, sangat merindukannya. Aku segera mengambil mantel milik Ken dan memeluknya dengan erat. Seolah hal itu bisa mengurangi rasa rinduku kepada Ken. Seolah mantel yang kupeluk adalah Ken. Setelah puas, aku meraba mantel Ken sambil tersenyum.
Lalu aku merasa ada sesuatu didalam kantong mantel milik Ken. Aku segera mengeluarkannya dan melihat sebuah lipatan kertas. Aku membuka lipatan kertas tersebut dan melihat tulisan Ken didalamnya. Sepertinya ini adalah kertas yang ditulis Ken hampir dua minggu yang lalu. Kertas yang Ken rahasiakan dariku. Aku semakin penasaran untuk melihat isi kertas tersebut. Aku membacanya dengan perlahan.
Pertama kali  aku bertemu dengannya ketika awal masuk universitas.
Aku melihatnya ketika ia sedang tertawa senang dengan teman-temannya. Tawanya begitu renyah hingga dapat membuatku tersenyum ketika melihatnya. aku mengenalnya ketika ternyata kami satu kelas. Aku mendekatinya dan menawarkan diri untuk menjadi temannya. Dan ia langsung menerimaku sebagai temannya tanpa berpikir dua kali. Dan dia adalah yang pertama.
Dia adalah orang pertama yang menatapku dengan lembut. Dia adalah orang pertama yang dapat menerima diriku apa adanya. Dan Dia adalah orang yang pertama kali menerimaku sebagai temannya.Semua orang seolah menatapku dengan sinis ketika melihat tingkahku yang hampir sama seperti perilaku seorang wanita. Atau aku dapat melihat orang-orang itu menahan tawa ketika melihat perilaku diriku yang sama seperti teman wanitaku lainnya. Tapi tidak dengan dia.
Hingga setelah satu tahun aku berteman dan bersahabat dengannya, aku mulai menyadari sesuatu. Bahwa aku menyukainya, tidak—aku mencintainya. Mencintainya dengan sederhana. Dia adalah gadis manja dan ceria yang pernah kulihat. Yang memiliki tawa yang renyah serta senyuman yang tulus. Yang memiliki hatiku sepenuhnya.
Mungkin dia menganggapku tidak menyukai wanita karena perilaku ku yang lemah gemulai. Tapi aku telah mencoba untuk membuktikannya. Aku telah berubah menjadi pria normal yang dipuja-puja oleh semua wanita. Semua ini kulakukan hanya untuk merebut hatinya. Aku merubah segala hal yang ada didalam diriku hanya untuknya, demi Dia.
Namun dia masih bersikap biasa. Dia tak terlihat terpesona dengan penampilanku seperti wanita lainnya. Dia tak terlihat menyukaiku. Dan hal itu hampir membuatku putus asa untuk menggapai hatinya. Oh Tuhan, adakah cara agar dia mengetahui perasaanku tanpa aku harus mengatakannya? Apakah ada cara terbaik untuk meraih hatinya?
Seandainya dia tahu, aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena telah menjadi seseorang yang bersedia bersahabat dengan orang sepertiku. Terima kasih karena telah bersedia mendengar keluh kesahku selama ini. Terima kasih karena telah membuat hari-hariku menjadi sempurna. Dan dari semua hal, aku ingin berterima kasih kepada Tuhan. Karena Dia telah menciptakanmu hingga membuat diriku sadar bahwa aku dapat mencintaimu dengan sederhana. Terima kasih Clensey.
Senyuman tersungging dibibirku ketika membaca tulisan Ken. Ternyata Ken menulisnya untukku. Ia menyukaiku, Ken mencintaiku. Dengan sederhana. Hatiku terasa begitu senang seperti ada yang menari-nari didalamnya. aku tak bisa berhenti tersenyum dan memikirkan Ken. Bahkan Ken telah menyukaiku selama dua tahun terakhir. Dan dia tidak putus asa. Kata-kata yang ditulis Ken dalam kertas itu membuatku tersanjung. Oh Tuhan, terima kasih karena telah membuat Ken menyukaiku.
Aku segera meraih ponselku dan mencari kontak nomor Ken. Namun aku mendengar suara ketukan di jendela mobilku. Aku menoleh. Aku melihat Ken menatapku sambil tersenyum dengan setengah berbungkuk. Dengan semangat, aku membuka pintu mobil dan segera memeluk Ken dengan erat.
“Ken!” pekikku senang.
Ken mundur selangkah karena terkejut dengan pelukanku yang tiba-tiba. Aku memeluk Ken dengan erat seolah enggan untuk melepaskannya. Lalu aku merasakan tangan Ken yang memeluk punggungku. Aku tak bisa menggambarkan bagaimana rasa bahagia ini menelusup dalam relung hatiku sekarang.
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu” ujar Ken ketika aku telah melepas pelukanku.
Aku tersenyum dengan mata berbinar-binar.
“Aku harus ke Nice” kata Ken.
Keningku berkerut, semangatku lenyap seketika. “Nice? Bukankah itu di Perancis? Apa yang kau lakukan disana? Kapan kau pulang?”
Ken mengangguk. “Ya, aku harus ke Perancis” jawabnya. “Ibuku memutuskan untuk berpisah dengan ayahku. Dan dia memintaku untuk ikut tinggal bersamanya di Perancis selama setahun sampai ibuku bisa beradaptasi dengan baik”
“Bagaimana dengan kuliahmu?”
Ken mengangkat bahu. “aku harus cuti” jawab Ken. Lalu Ken menatap wajahku lamat-lamat sambil menyipitkan matanya. “Lalu mengapa kau menghindariku selama seminggu ini?”
Aku menatap Ken dengan sedih. Sedih karena aku telah menghindarinya dan Ken akan meninggalkanku. Tapi tiba-tiba rasa kesal muncul didalam hatiku. Aku segera memukul lengan Ken.
“Dasar Bodoh!” ujarku kesal.
Ken tampak bingung. Lalu ia menangkap kedua tanganku dan menatapku dengan alis bertaut.
“Kau bodoh, kau tahu?” tegasku. “Mengapa kau tidak bilang sejak dulu bahwa kau menyukaiku?”
Mata Ken melebar. “Kau tahu?” tanyanya heran.
“Aku membaca kertas yang kau tulis waktu itu di cafe. Aku juga tidak tertawa saat membacanya. Sungguh”
Namun Ken hanya tersenyum dan menatapku dengan tatapan yang ingin membuatku menghentikan waktu saat ini juga. 
Aku masih merasa kesal dengannya. Dia sungguh bodoh, Ken benar-benar bodoh. Seandainya saja Ken menyatakan perasaannya padaku dari awal, mungkin persahabatan kami akan berakhir dengan indah. Tapi aku baru mengetahuinya sekarang ketika Ken akan pergi meninggalkanku selama satu tahun.
“Bodoh! Bodoh! Bodoh!” ujarku sambil memukul lengan Ken berkali-kali.
Ken kembali menangkap tanganku. Lalu dengan satu tarikan cepat, ia menarikku kedalam pelukannya. Ia mendekapku dengan erat. Aku dapat mendengar degup jantung Ken yang tidak beraturan. Sama seperti diriku.
“Saat itu, aku tak yakin bahwa kau akan menerimaku dengan keadaanku yang seperti itu” ujarnya seperti sebuah bisikan. “Dan aku bertekad berubah untukmu Laura, hanya untukmu” Ken berhenti sejenak. “Percayalah, waktu akan berlalu dengan cepat sampai kita bertemu lagi. Dan ketika itu terjadi, aku tetap mencintaimu. Dengan sederhana”
Ken melepaskan pelukannya dan menatapku dengan sorot mata ketenangan. Tangan Ken masih menggenggam kedua tanganku.
“Apakah kau menyukaiku? Setidaknya, adakah sedikit perasaan yang kau rasakan melebihi sebuah persahabatan untukku?” tanya Ken hati-hati.
Aku mengangguk. “Tentu saja” jawabku. “Aku menyukaimu seperti kau menyukaiku. Dengan sederhana”
Ken tersenyum. Aku melihat kelegaan dari matanya. Lalu Ken mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku dapat merasakan hembusan nafas Ken. Kemudian aku merasakan bibir Ken menyentuh pipiku dengan lembut. Tiga detik Ken mencium pipiku dengan segenap perasaannya. Dan itu adalah tiga detik terindah dalam hidupku.
“Terima kasih atas semuanya, Laura” ujar Ken lembut.
Hembusan angin musim dingin kembali menyapaku. Aku balas menatap Ken dengan senyuman. Dan menyadari betapa indahnya ketika kejujuran telah terjadi. Walau waktu memisahkan aku dengannya, tapi waktu akan berlalu. Dan ketika aku bertemu dengannya nanti, aku yakin waktu akan berhenti sejenak untukku dan Ken.
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: