Tuesday, February 27, 2018

Delegitimasi Undang-Undang MD3




Oleh: Mursyid Setiawan
Mahasiswa S1 Pendidikan Kewarganegaraan
 
Seperti yang kita ketahui bahwa pembuatan produk undang-undang di Indonesia melibatkan kedua lembaga negara yakni legislatif dan eksekutif. Undang-Undang MD3 yang baru saja disahkan dalam rapat paripurna DPR beberapa hari yang lalu, kini melimpahkan bola panas atas kontroversialnya undang-undang tersebut kepada Presiden.
Bola panas yang berpindah pada Presiden dikarenakan beberapa isi dari hasil revisi undang-undang tersebut yang menurut persepsi publik dianggap kontroversial. Ada beberapa pasal yang memicu perhatian publik atas hasil revisi UU MD3 ini. Misalnya seperti penambahan kursi pimpinan MPR, DPR dan DPD, pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap setiap pejabat atau masyarakat yang melibatkan kepolisian, pemeriksaan anggota DPR harus dengan izin Presiden dengan pertimbangan MKD, dan juga pengkritik DPR bisa dipidanakan.
Latar belakang dilakukannya revisi terhadap undang-undang MD3 ini berawal dari inisiatif DPR. Jika kita lihat ada beberapa alasan yang cukup menggelikan dibalik revisi atas pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Seperti penambahan kursi pimpinan, jika kita amati itu hanya untuk memenuhi syahwat kekuasaan atas partai pemenang pemilu. Kita bisa menganggap bahwa pasal tersebut hanya untuk membagi-bagi kursi di DPR.
Mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan, kita bisa melihat itu berawal ketika pimpinan KPK tidak memenuhi panggilan Pansus Angket DPR. Kemudian DPR meminta kepolisian untuk memanggil pimpinan KPK, namun Porli menolak hal tersebut karena hukum acara pemanggilan paksa oleh DPR itu bersifat politis, sedangkan hukum acara pemanggilan paksa oleh polisi hanya berlaku bagi proses hukum. Namun beberapa anggota DPR berdalih bahwa lahirnya pasal mengenai pemanggilan paksa ini bukan dipicu oleh hal tersebut, akan tetapi dikarenakan ada beberapa pejabat yang dipanggil oleh DPR dan tidak pernah memenuhi panggilan tersebut.
Persoalan lain yaitu mengenai pemeriksaan anggota DPR harus atas izin Presiden dengan pertimbangan MKD. Untuk pasal ini anggota DPR beralasan supaya tidak terjadi kriminalisasi terhadap anggota DPR. Hal ini menjadikan anggota DPR semakin sakti. Padahal pasal tersebut sudah dimatikan dengan putusan MK dengan hanya izin presiden saja, akan tetapi pasal tersebut dihidupkan kembali oleh DPR.
Hal yang terakhir yaitu mengenai rakyat yang mengkritik DPR dapat dipidanakan. Ini sangat menciderai demokrasi di Indonesia dimana rakyat berhak untuk berbicara dan berpendapat. DPR yang merupakan wakil rakyat justru dapat memenjarakan tuannya sendiri. Alasannya sederhana yaitu demi menjaga kehormatan lembaga dan anggota DPR. Padahal jika anggota DPR ingin dihormati, sudah sepatutnya DPR melakukan hal-hal yang berpihak kepada rakyat sehingga rasa hormat itu akan muncul dengan sendirinya.
Beberapa latar belakang dan alasan-alasan tersebutlah, yang kemudian menjadi sorotan publik dan membuat kegaduhan sampai saat ini. Diksi-diksi wajib, pasal-pasal yang justru menambah kesaktian DPR serta tidak memihak kepada rakyat, kini menjadi bola panas ditangan Presiden.
Pihak pemerintah sendiri sudah memberikan informasi, dalam hal ini diwakili oleh Menkumham, bahwa Presiden tidak akan menandatangani Draft UU MD3 tersebut. Sikap Presiden yang tidak menandatangani dan mengundang-undangkan UU MD3, menunjukan adanya delegitimasi terhadap UU MD3 tersebut. Parlemen pun harus menyadari dengan tidak ditanda tanganinya UU MD3 tersebut oleh Presiden, itu menunjukan bahwa secara legitimasi UU MD3 tersebut rendah.
Akan tetapi walaupun Presiden tidak menandatangani RUU tersebut, RUU MD3 akan tetap sah menjadi undang-undang. Mengingat adanya aturan bahwa sebuah RUU dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama dan tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa pihak pemerintah bisa kecolongan mengenai beberapa pasal yang kontroversial tersebut? Lebih aneh lagi, pihak pemerintah mengaku keberatan dengan revisi UU MD3 tersebut, akan tetapi pemerintah justru tidak membatalkan RUU MD3 tersebut. Pemerintah justru lebih menyarankan kepada masyarakat untuk melakukan Judicial Review terhadap UU MD3 tersebut.
Padahal ketika pemerintah keberatan dan protes terhadap materi muatan UU MD3 tersebut, seharunya yang ditempuh adalah membatalkan UU MD3 tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau menginisiasi revisi terbatas atas undang-undang tersebut. Sehingga ketika sikap Presiden yang tidak menandatangani UU MD3 tersebut tidak dicap sebagai pencitraan, akan tetapi benar untuk sepenuhnya kepentingan Rakyat Indonesia! Merdeka!
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: