Mahasiswa S1 Pendidikan Kewarganegaraan
Seperti
yang kita ketahui bahwa pembuatan produk undang-undang di Indonesia melibatkan kedua
lembaga negara yakni legislatif dan eksekutif. Undang-Undang MD3 yang baru saja
disahkan dalam rapat paripurna DPR beberapa hari yang lalu, kini melimpahkan
bola panas atas kontroversialnya undang-undang tersebut kepada Presiden.
Bola
panas yang berpindah pada Presiden dikarenakan beberapa isi dari hasil revisi undang-undang
tersebut yang menurut persepsi publik dianggap kontroversial. Ada beberapa
pasal yang memicu perhatian publik atas hasil revisi UU MD3 ini. Misalnya
seperti penambahan kursi pimpinan MPR, DPR dan DPD, pemanggilan paksa dan
penyanderaan terhadap setiap pejabat atau masyarakat yang melibatkan kepolisian,
pemeriksaan anggota DPR harus dengan izin Presiden dengan pertimbangan MKD, dan
juga pengkritik DPR bisa dipidanakan.
Latar
belakang dilakukannya revisi terhadap undang-undang MD3 ini berawal dari
inisiatif DPR. Jika kita lihat ada beberapa alasan yang cukup menggelikan
dibalik revisi atas pasal-pasal yang kontroversial tersebut. Seperti penambahan
kursi pimpinan, jika kita amati itu hanya untuk memenuhi syahwat kekuasaan atas
partai pemenang pemilu. Kita bisa menganggap bahwa pasal tersebut hanya untuk membagi-bagi
kursi di DPR.
Mengenai
pemanggilan paksa dan penyanderaan, kita bisa melihat itu berawal ketika pimpinan
KPK tidak memenuhi panggilan Pansus Angket DPR. Kemudian DPR meminta kepolisian
untuk memanggil pimpinan KPK, namun Porli menolak hal tersebut karena hukum
acara pemanggilan paksa oleh DPR itu bersifat politis, sedangkan hukum acara
pemanggilan paksa oleh polisi hanya berlaku bagi proses hukum. Namun beberapa
anggota DPR berdalih bahwa lahirnya pasal mengenai pemanggilan paksa ini bukan
dipicu oleh hal tersebut, akan tetapi dikarenakan ada beberapa pejabat yang
dipanggil oleh DPR dan tidak pernah memenuhi panggilan tersebut.
Persoalan
lain yaitu mengenai pemeriksaan anggota DPR harus atas izin Presiden dengan
pertimbangan MKD. Untuk pasal ini anggota DPR beralasan supaya tidak terjadi
kriminalisasi terhadap anggota DPR. Hal ini menjadikan anggota DPR semakin
sakti. Padahal pasal tersebut sudah dimatikan dengan putusan MK dengan hanya
izin presiden saja, akan tetapi pasal tersebut dihidupkan kembali oleh DPR.
Hal
yang terakhir yaitu mengenai rakyat yang mengkritik DPR dapat dipidanakan. Ini
sangat menciderai demokrasi di Indonesia dimana rakyat berhak untuk berbicara
dan berpendapat. DPR yang merupakan wakil rakyat justru dapat memenjarakan
tuannya sendiri. Alasannya sederhana yaitu demi menjaga kehormatan lembaga dan
anggota DPR. Padahal jika anggota DPR ingin dihormati, sudah sepatutnya DPR
melakukan hal-hal yang berpihak kepada rakyat sehingga rasa hormat itu akan
muncul dengan sendirinya.
Beberapa
latar belakang dan alasan-alasan tersebutlah, yang kemudian menjadi sorotan
publik dan membuat kegaduhan sampai saat ini. Diksi-diksi wajib, pasal-pasal
yang justru menambah kesaktian DPR serta tidak memihak kepada rakyat, kini menjadi
bola panas ditangan Presiden.
Pihak
pemerintah sendiri sudah memberikan informasi, dalam hal ini diwakili oleh
Menkumham, bahwa Presiden tidak akan menandatangani Draft UU MD3 tersebut. Sikap
Presiden yang tidak menandatangani dan mengundang-undangkan UU MD3, menunjukan
adanya delegitimasi terhadap UU MD3 tersebut. Parlemen pun harus menyadari
dengan tidak ditanda tanganinya UU MD3 tersebut oleh Presiden, itu menunjukan
bahwa secara legitimasi UU MD3 tersebut rendah.
Akan
tetapi walaupun Presiden tidak menandatangani RUU tersebut, RUU MD3 akan tetap
sah menjadi undang-undang. Mengingat adanya aturan bahwa sebuah RUU dalam waktu
30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama dan tidak ditandatangani oleh
Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Yang
menjadi pertanyaan besar adalah mengapa pihak pemerintah bisa kecolongan
mengenai beberapa pasal yang kontroversial tersebut? Lebih aneh lagi, pihak
pemerintah mengaku keberatan dengan revisi UU MD3 tersebut, akan tetapi
pemerintah justru tidak membatalkan RUU MD3 tersebut. Pemerintah justru lebih menyarankan
kepada masyarakat untuk melakukan Judicial Review terhadap UU MD3 tersebut.
Padahal
ketika pemerintah keberatan dan protes terhadap materi muatan UU MD3 tersebut,
seharunya yang ditempuh adalah membatalkan UU MD3 tersebut dengan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau menginisiasi revisi
terbatas atas undang-undang tersebut. Sehingga ketika sikap Presiden yang tidak
menandatangani UU MD3 tersebut tidak dicap sebagai pencitraan, akan tetapi
benar untuk sepenuhnya kepentingan Rakyat Indonesia! Merdeka!
0 comments: