Oleh Wildan Hafidin
Alumni Mahasiswa S1 Pendidikan Kewarganegaraan
Suatu fenomena di
masyarakat yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan, menimbulkan polemik
mengenai keberadaan suatu kelompok , dimana kelompok ini berkaitan dengan hal
yang masih dianggap tabu dikalangan masyarakat kita. Secara umum orang-orang
menyebutnya dengan istilah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender),
fenomena yang terjadi dan dilakukan oleh kelompok LGBT ini menjadi suatu
persoalan yang diperbincangkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat terkait
perilakunnya yang menyimpang dari nilai dan norma. Berdasarkan data Kementrian
Kesehatan tahun 2011, mengestimasi jumlah gay dan LSL (laki-laki berhubungan
seks dengan laki-laki) sebanyak 1.149.270 orang dan waria (male-to-female
transgender) sebanyak 35.500, ini berarti ada 1.284.270 jiwa atau 0,6 persen
penduduk Indonesia rentan dilanggar
hak-haknya. Jumlah itu akan terus bertambah jika kita memasukan perempuan
lesbian, female-to-male transgender, bisexual dan intersex, (Anam dkk, 2016,
hlm. 97). Survey CIA pada tahun 2015
yang dilansir topkmalaysia.com jumlah populasi LGBT di Indonesia adalah ke-5
terbesar di dunia setelah China, India, Eropa dan Amerika. Selain itu, beberapa
lembaga survey independen dalam maupun luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia
memiliki 3% penduduk LGBT, ini bersrti dari 250 juta penduduk 7,5 jutanya
adalah LGBT atau lebih sederhananya dari 100 orang yang berkumpul di suatu
tempat 3 diantaranya adalah LGBT (Santoso, 2016,hlm. 221). Data
tersebut menunjukan jumlah penyimpangan perilaku yang besar mengingat
keberadaan penyimpangan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat Indonesia. Sepatutnya seluruh komponen bangsa harus terus
mengupayakan untuk meminimalisir penyimpangan tersebut.
Beberapa fakta
permasalahan yang dianggap diskriminasi
terhadap kelompok LGBT ditemukan,
seperti penyerangan dalam pertemuan Internasional Lesbian, Gay, Bisex,
Transgender and Intersex Association (ILGA) di Surabaya, pada tanggal 26-28
Maret 2010 berdasarkan catatan Center for Marginalized Communities Studies
(CMARS) Surabaya, polisi saat itu tidak melakukan tindakan untuk melindungi
kelompok LGBT. Meraka justru meminta komunitas ini membubarkan diri dan tidak
melanjutkan kegiatannya, (Anam dkk, 2016, hlm. 97). Contoh lain diskriminasi
terhadap kelompok LGBT terjadi di Kota Surakarta seperti, sulit diterima
sebagai siswa di lembaga pendidikan formal atau sebagai pegawai, dilecehkan
secara verbal saat ingin mengakses sarana fasilitas publik seperti transportasi
umum atau toilet umum, sulit mengakses pelayanan kesehatan baik di puskesmas
atau rumah sakit, sering mengalami tindak kekerasan seksual secara verbal dan
fisik khususnya waria yang berprofesi sebagai pelacur jalanan, Yuliani dan
Dermatoto (dalam Yuliani, 2013, hlm. 3). Contoh-contoh tersebut merupakan
bentuk diskriminasi yang dialami kelompok LGBT, justru menimbulkan pergerakan
kelompok ini dalam memperoleh haknya tanpa
diskriminasi dengan menggunakgan Hak Asasi Manusia.
Semakin hari semakin
terang-terangan pergerakan yang dilakukan oleh kelompok ini, sebagai upaya untuk
meniadakan diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Beberapa komunitas yang muncul
hari ini bergerak melalui media sosial, ini menjadi perhatian semua pihak tidak
terlepas pula pemerintah. Sebelumnya diterangkan bahwa MK tengah mengkaji
tentang LGBT ini apakah penyakit atau orientasi seksual, karena banyak kasus
yang diajukan terkait diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Indonesia yang
menganut hukum positif seakan dijadikan celah untuk memperoleh haknya melalui
HAM, padahal perilaku menyimpang tersebut jauh daripada hakikat kodrat manusia
juga nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yang kita kenal
sebagai dasar negara, pandangan hidup, sumber daripada sumber hukum yaitu
Pancasila. Sebagaimana diungkapkan Kaelan (2014, hlm. 102) “Pandangan hidup
yang terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur adalah suatu wawasan
yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri”.
Selanjutnya LGBT dapat
dikatakan sebagai penyimpangan sesuai dengan apa yang dikatakan Kalidjernih
(2010, hlm. 31) “Deviance istilah yang sering mengacu kepada pelanggaran
aturan-aturan sosial yang bukan merupakan suatu hukum atau aturan legal”.
Contoh, penyimpangan terhadap suatu pemikiran religius, sakit-jiwa dan
homoseksual. Label penyimpangan terhadap LGBT tidak hanya sebatas disana Anam
dkk (2016, hlm. 95) menjelaskan bahwa , “secara umum label “penyimpangan”
terhadap identitas orientasi seksual menjadi titik awal rangkaian pelanggaran
HAM terhadap kelompok minoritas jender dan orientasi seksual”. Hal tersebut
diperkuat oleh Laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research (dalam Oetomo
dkk, 2013, hlm. 29) “mengenai sikap terhadap homoseksualitas menunjukkan adanya
penolakan terhadap homoseksualitas oleh 93% responden survei di dalam negeri
dan hanya ada 3% yang bersikap menerima”. Data tersebut menunjukan sikap penolakan terhadap homoseksualitas
lebih besar. Dalih dengan adanya perlakuan diskriminasi karena perilaku
menyimpang, menjadi senjata bagi mereka memperoleh haknya melalui HAM, terlepas
dari itu perilaku mendiskriminasi memang selayaknya tidak boleh dilakukan
terhadap siapapun.
Penyimpangan
Perilaku dari Nilai dan Norma di Masyarakat
Fenomena
LGBT di masyarakat merupakan penyimpangan perilaku yang tidak lazim dan
menyimpang dari nilai dan norma di masyarakat. Keberadaan LGBT tidak banyak
diketahui hanya transgender yang nampak dan mudah diketahui ini menandakan
bahwa LGBT tidak mendeklarasikan dirinya ke hadapan publik sebagai LGBT, namun
nyatanya mereka ada dan hidup di tengah masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa,
kriteria perbuatan susila adalah kehendak yang baik, keputusan akal yang baik
dan penyesuaian dengan hakikat manusia. Sesuai dengan tujuan pendidikan maka
perbuatan susila adalah perbuatan yang sesuia dengan nilai-nilai yang terdapat
pada Pancasila, (Surajiyo, 2000, hlm. 159). Penyebutan terhadap LGBT masih ada
beberapa yang menyebutnya dengan istilah yang khas Indonesia seperti yang kita
kenal homo dan waria namun saat ini
mereka tergabung dalam transgender. Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa,
Orang-orang Indonesia masih nampak kebingungan untuk membedakan antara waria
dan gay, padahal keduanya berbeda satu sama lain, kelihatannya gay Indonesia
mulai menyebut diri mereka gay dan lesbi
pada tahun 1970 sampai awal 1980an (Boellstorff, 2006, hlm. 3).
Banyak hal-hal yang
dialami pada individu-individu LGBT, kebanyakan terjadi pada individu
transgender. Baik ketika berkegiatan sehari-hari maupun berkegiatan dengan
komunitas transgender melalui acara-acara, begitupun terjadi pada lesbian, gay,
dan bisexual yang menghadiri dan mengadakan kegiatan bersama komunitas LGBT. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
bahwa, sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan identitas
gender mencerminkan kontras antara
mereka yang bersikap progresif dan bersedia menerima dengan populasi jauh lebih
besar yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah
tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar. Sebagian
besar masyarakat tidak mengenal orang LGBT yang membuka diri. Orang dengan
orientasi seksual atau identitas gender yang beragam mungkin mendapatkan sekedar toleransi dari
pada penerimaan, meskipun hal ini hampir mustahil dapat diharapkan dari anggota
keluarga, (Oetomo dkk, 2013, hlm. 10).
Pembahasan-pembahasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa Fenomena LGBT di masyarakat dipandang sebagai
perilaku seksual yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang hidup dan
dilaksanakan di masyarakat. Respon terhadap perilaku menyimpang dapat ditemukan
ketika kebanyakn orang mengetahui tentang penyimpangan perilaku tersebut.
Kebanyakan LGBT di Indonesia tidak mendeklarasikan diri sebagai LGBT namun
Individu-individu LGBT yang non-konformitas lebih mudah diketahui. Segala
bentuk kegiatan komunitas LGBT selalu mendapat penolakan karena perilaku
seksualnya yang menyimpang, meski ada beberapa yang mentoleransinya. Penolakan
tersebut dilandasi oleh pola pikir kesadaran moral masyarakat yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila.
Faktor
Dalam dan Faktor Luar
Banyak
faktor yang mempengaruhi seseorang
menjadi individu-individu LGBT, pada umumnya faktor-faktor tersebut merupakan
determinasi lingkungan yang dominan serta berlawanan dengan identitas dirinya. Hanya beberapa indikasi
yang tidak terlalu dominan muncul dari internal diri, selebihnya adalah faktor
luar yang dominan sehingga mereka merasa nyaman dengan hal tersebut. Pengalaman
masa lalu, lingkungan yang mendukung serta pertemuan dengan orang yang
mengalami hal yang sama menjadikan hal tersebut terjadi dan dirasa nyaman
kemudian bertahan dengan keadaan tersebut dengan sadar. Kegelisahan tentang
perasaan suka terhadap sesama jenis, lingkungan bermain dan bergaul,
pengalaman-pengalaman yang menandakan suka terhadap sesama jenis, serta
pertemuan dengan orang yang merasakan hal yang sama sehingga hubungan seksual
sesama jenis terjadi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan
bahwa, pendekatan fisiologis, dalam tubuh manusia terdapat hormon-hormon pria
dan wanita. keseimbangan yang relatif antara hormon-hormon tersebut merupakan
faktor yang ikut menunjang kadar
maskulinitas atau feminitas dari individu. Penyelidikan-penyelidikan
terhadap orang-orang homoseksual mengungkapkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu
ketidakseimbangan hormon memang ada, tetapi pengaruhnya sebagai faktor penyebab
munculnya homoseksualitas tidak pernah ditetapkan dengan pasti, (Semiun, 2006,
hlm. 44). Dapat ditarik kesimpulan
bahwa secara umum faktor yang
menyebabkan seseorang menjadi LGBT dipengaruhi banyak oleh faktor luar diri,
yang dilakukannya secara sadar meliputi pengalaman-pengalaman yang
mengindikasikan suka terhadap sesama jenis dan pertemuan dengan orang yang
merasakan hal yang sama. Faktor dalam diri hanya berawal dari ketidakseimbangan
hormon hingga menyebabkan kegelisahan perasaan suka terhadap sesama jenis.
Perilaku
yang Menyimpang dari Nilai-Nilai Pancasila
Semua agama yang diakui
di Indonesia sesuai ajaran-ajarannya tidak megakui atau melarang pernikahan
sesama jenis. Semua mengatakan bahwa perilaku LGBT ini menyimpang dari
nilai-nilai religius. Namun pada dasarnya mereka juga makhluk ciptaan
Tuhan. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat bahwa religiusitas Pancasila, sebagai sebuah gagasan yang dirumuskan
Notonagoro, merupakan gagasan yang akan menjadi aktual kembali ketika kita
berwacana untuk menafsirkan dan memperkuat kembali posisi dan vitalitas
Pancasila dalam kehidupan berbangsa di negera kesatuan yang memiliki
keserbamajemukan ini, terutama kemajemukan umat beragamanya, (Hidayatullah,
2016, hlm. 40).
Sesungguhnya mereka yang
LGBT merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Harus ada upaya lain bagaimana untuk
mengembalikan harkat dan martabat mereka
sebagai manusia dan merangkul mereka, agar terjauh dari kontradiksi yang justru
menimbulkan perpecahan tanpa adanya solusi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
bahwa nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada sila-sila pancasila merupakan
nilai yang universal, dan dalam pengertian inilah soekarno mengistilahkan
weltanschauung. Nilai-nilai tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi norma-norma
kenegaraan maupun norma-norma moral untuk dilaksanakan dan diaktualisasikan
oleh setiap warga negara Indonesia, (Kaelan, 2013, hlm. 676). Selanjutnya sesuai dengan pendapat sebelumnya
bahwa nilai Kemanusiaan merupakan kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan
nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan
memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya, (Supriyono, 2014, hlm.
340).
Adanya kecenderungan
stigma negatif justru aka nada yang merasa disudutkan dan didiskriminasi dalam
menyikapi fenomena LGBT ini. Perlu adanya pengetahuan tentang nilai-nilai
Pancasila dan pengetahuan mengenai bahaya seks bebas serta penyimpangan seksual
sebagai upaya untuk meminimalisir kekisruhan yang tidak menuai solusi. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila merupakan
ideologi nasional yang meliputi dan memayungi segenap orientasi didalamnya.
Artinya, adanya pandangan hidup-pandangan hidup dalam masyarakat diakui dan
dibenarkan untuk berkembang, baik dengan mengeksplisitkan potensi dan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, maupun melalui akulturasi, (Poespowardojo,
1991 hlm.52-53). Sesuai dengan pendapaat sebelumnya dikatakan bahwa nilai
persatuan merupakan usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina
rasa nasionalisme dan sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap
keanekaragaman masyarakat Indonesia, (Supriyono, 2014, hm.340).
Kemudian para tokoh agama
sepakat untuk mendukung pemerintah agar tidak melegalkan aktivitas LGBT secara perilaku
menyimpang, serta tidak mengakui perkawinan sejenis. Hal tersebut sesuai dengan
ajran-ajaran agama yang diakui di Indonesia yang tidak mengakui perkawinan
sejenis. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat bahwa “…sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dalam Pancasila pada prinsipnya
menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan terus memelihara dan mengembangkan
semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan…,” (Pimpinan MPR
& Tim Kerja Sosialisasi MPR, 2013, hlm. 45-78). Berdasarkan pemaparan
pembahasan tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan nilai-nilai Pancasila
dalam menyikapi fenomena LGBT dilakukan dengan mengedepankan upaya-upaya yang
demokratis, dengan melakukan dukungan terhadap pemerintah untuk tidak
melegalkan LGBT secara perilaku dan tidak melegalkan perkawinan sejenis secara
yuridis sebagai wujud pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Upaya
Yuridis dan Non Yuridis
Upaya yang harus dilakukan
dalam menyikapi dan meminimalisir penyimpangan LGBT semua tokoh agama dari 6
agama yang diakui di Indonesia sepakat untuk
mendorong pemerintah untuk tidak melegalkan aktivitas LGBT, dan mendorong pemerintah untuk tidak melegalkan
perkawinan sesama jenis. Karena hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama
yang diakui di Indonesia sesuai kitab sucinya. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat bahwa eksistensi LGBT di Indonesia tidak mungkin diakui secara yuridis
di Indonesia apabila dihadapkan pada Pancasila. sistem hukum Pancasila final
sebagai identitas dan tidak akan pernah mencapai tujuannya yang bulat dan utuh.
Bentuk, rumusan, isi dan tujuan yang akan dicapai kesemuanya masuk dalam ranah
identitas Pancasila. dengan demikian sistem hukum Indonesia sudah mempunyai
ketentuan-ketentuan sendiri sesuai dengan Pancasila dan tidak bisa menerima
LGBT, (Manik dkk, 2016, hlm. 10).
Bagi pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam melaksanakan HAM di Indonesia harus dilakukan
tinajaun terhadap pelaksaan HAM di Indonesia dan disesuaikan dengan kondisi
Indonesia. Karena pada dasarnya pelaksanaan HAM harus disesuaikan dengan
kondisi dimana HAM tersebut dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
yang mengatakan bahwa perkembangan HAM secara kontemporer telah dibentuk oleh
pemikiran Barat dan dalam hal ini, banyak konsep yang sering digunakan dalam
perdebatan politik, seperti: demokrasi, keadilan, kebebasan, kesetaraan dan
martabat manusia. Dengan demikian, sebagai upaya untuk menghentikan penggunaan
kata-kata tersebut agar tidak secara otomatis diasosiasikan dengan konsep HAM,
maka tugas kita sebagai orang Indonesia yang memiliki tata nilai dan tata
kelakuan yang berbeda dengan bangsa Barat adalah dengan melonggarkan
konsep-konsep HAM dari belenggu modernitas Barat dan merekonstruksi
konsep-konsep HAM berdasarkan pemikiran dan nilai-nilai bangsa Indonesia,
(Santoso, 2016, hlm. 228-229).
Selanjutnya sebagai upaya
yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat harus mengupayakan penyuluhan bahaya seks bebas dan
perilaku seks menyimpang. Membekali diri dengan pengetahuan nilai-nilai
religius sesuai kepercayaan yang dianut. Membekali diri dengan pengetahuan
seksualitas yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila agar tidak ada
kecenderungan untuk menghakimi dan tidak ada yang merasa didiskriminasi juga
sebagai filter dari kecenderungan melakukan perilaku seksual menyimpang. Hal
tersebut setidaknya mampu melengkapi pendapat ini yang hanya dipandang dari
satu sisi , yang mengatakan bahwa pada tahun 2010, Komnas Perempuan menyatakan
waria sebagai perempuan. Pada pertengahan tahun 2013, Komnas HAM untuk pertama
kali dalam sejarahnya selama sepuluh tahun, mencantumkan hak-hak LGBT pada
agenda sidang Pleno. Langkah ini sempat menimbulkan kontroversi antara para komisioner
dan di media massa. Kesepakatan yang tercapai adalah bahwa kelompok LGBT harus
mendapatkan perlindungan negara dari tindak kekerasan dan diskriminasi, (Anam dkk, 2016, hlm. 101).
Berdasarkan hal tersebut
dapat dipahami bahwa secara yuridis LGBT tidak dapat diterima secara legal
karena bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kemudian dalam proses
pelaksanaan nilai-nilai Pancasila khususnya dalam Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia tidak mengakui adanya perkawinan sejenis. Hal ini menandakan konsistensi
pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diskriminasi
tidak dikehendaki , namun pelaksanaan HAM sebetulnya harus di sesuaikan dengan
kondisi dimana HAM di terapkan, artinya HAM dilaksanakan sesuai kultur dan
naturnya Indonesia, yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila dan menjadikan
Pancasila sebagai sumber dari pada sumber segala hukum yang berlaku di
Indonesia. perlunya pengetahuan tentang
seksualitas agar tidak banyak kecenderungan opini publik yang hadir malah
menghadirkan kontradiksi tanpa solusi yang ujungnya malah saling
mendiskriminasi. Juga sebagai filter dalam mebatasi diri sebagai untuk tidak
terjebak dalam perilaku seksualitas yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
Pengetahuan tentang bahaya seks bebas juga perlu untuk menghindarkan diri dari
dari kecenderungan perilaku menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.
Simpulan
Secara
umum tinjauan nilai-nilai Pancasila mengenai fenomena LGBT
yang menyimpang ini, semua ajaran agama yang diakui di Indonesia sepakat bahwa
tidak mengakui adanya perkawinan sejenis dan menyatakan bahwa hal tersebut
adalah penyimpangan perilaku. Pada hakikatnya LGBT pun merupakan ciptaan Tuhan
yang harus dijunjung tinggi martabatnya namun dengan cara-cara dan metode yang tidak menyimpang dari nilai-nilai
Pancasila dalam proses merangkulnya. Pelaksanaan HAM di Indonesia harus
disesuaikan dengan kultur dan naturnya Indonesia tanpa mengesampingkan
instrument HAM Internasional, karena pada dasarnya perlakuan diskriminatif
tidak dikehendaki. Stigma yang bergulir dengan opini tanpa dasar pengetahuan
justru akan memperkeruh suasana dan tidak menghadirkan solusi, perlu adanya
pengetahuan tentang nilai-nilai Pancasila dan pengetahuan tentang seksualitas
agar tidak lagi ada opini yang menimbulkan kontradiksi yang tidak kunjung
selesai, serta agar tidak terjebak dalam penyimpangan perilaku seksual. Tidak
melegalkan segala aktivitas menyimpang LGBT dan tidak melegalkan perkawinan
sejenis merupakan upaya untuk menjaga keutuhan pelaksanaan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. penyuluhan tentang bahaya
seks bebas serta pengetahuan seksualitas untuk menghindarkan segenap generasi
bangsa dari segala bentuk penyimpangan perilaku seksual serta untuk tidak
saling mendiskriminasi.
Secara khusus
dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Tidak banyak faktor internal diri yang mempengaruhi
seseorang hingga menjadi LGBT, kebanyakan merupakan faktor eksternal yang pada
prosesnya menguat dan dilakukan secara sadar.
2. Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara utuh dapat
membentengi diri dari segala kecenderungan perilaku menyimpang baik
diskriminasi, maupun penyimpangan perilaku seksual.
3. Pelaksanaan HAM di Indonesia harus disesuaikan dengan
kultur dan naturnya bangsa Indonesia.
4. Seksualitas merupakan hal tabu untuk dibicarakan di
masyarakat kita, namun sebetulnya pengetahuan tentang seksualitas akan
menghindarkan dari segala penyimpangan perilaku seksual.
5. Untuk dapat mengidentifikasi dari orang yang memiliki
kecenderungan LGBT, dengan memperhatikan gaya berpakaian, gaya berbicara, serta
gesture ketika berada di masyarakat.
6. Penguatan civic
disposition khususnya dalam norma-norma asusila yang bersandar pada
nilai-nilai Pancasila mampu menjadi pondasi guna terhindar dari penyimpangan
perilaku seksual.
7. Pendidikan tentang seksualitas sepatutnya terintegrasi
dengan mata pelajaran secara formal sesuai jenjang dan sesuai rantang usia, harus
dilakukan sebagai benteng penyelamat bagi generasi bangsa dalam upaya
meminimalisir degradasi moral bangsa.
Tulisan disadur
dari :
Hafidin,Wildan.(2017). (Skripsi).Tinjauan Terhadap Fenomena Lgbt (Lesbian,
Gay, Bisexual And Transgender) Dalam Perspektif Nilai-Nilai Pancasila. Departemen
Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI.
0 comments: