Tuesday, January 2, 2018

TINJAUAN TERHADAP FENOMENA LGBT DALAM PERSPEKTIF NILAI-NILAI PANCASILA



Oleh Wildan Hafidin
Alumni Mahasiswa S1 Pendidikan Kewarganegaraan

Suatu fenomena di masyarakat yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan, menimbulkan polemik mengenai keberadaan suatu kelompok , dimana kelompok ini berkaitan dengan hal yang masih dianggap tabu dikalangan masyarakat kita. Secara umum orang-orang menyebutnya dengan istilah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender), fenomena yang terjadi dan dilakukan oleh kelompok LGBT ini menjadi suatu persoalan yang diperbincangkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat terkait perilakunnya yang menyimpang dari nilai dan norma. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan tahun 2011, mengestimasi jumlah gay dan LSL (laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki) sebanyak 1.149.270 orang dan waria (male-to-female transgender) sebanyak 35.500, ini berarti ada 1.284.270 jiwa atau 0,6 persen penduduk Indonesia  rentan dilanggar hak-haknya. Jumlah itu akan terus bertambah jika kita memasukan perempuan lesbian, female-to-male transgender, bisexual dan intersex, (Anam dkk, 2016, hlm. 97). Survey CIA pada tahun 2015 yang dilansir topkmalaysia.com jumlah populasi LGBT di Indonesia adalah ke-5 terbesar di dunia setelah China, India, Eropa dan Amerika. Selain itu, beberapa lembaga survey independen dalam maupun luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 3% penduduk LGBT, ini bersrti dari 250 juta penduduk 7,5 jutanya adalah LGBT atau lebih sederhananya dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat 3 diantaranya adalah LGBT (Santoso, 2016,hlm. 221). Data tersebut menunjukan jumlah penyimpangan perilaku yang besar mengingat keberadaan penyimpangan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia. Sepatutnya seluruh komponen bangsa harus terus mengupayakan untuk meminimalisir penyimpangan tersebut.
Beberapa fakta permasalahan yang dianggap diskriminasi terhadap kelompok LGBT ditemukan, seperti penyerangan dalam pertemuan Internasional Lesbian, Gay, Bisex, Transgender and Intersex Association (ILGA) di Surabaya, pada tanggal 26-28 Maret 2010 berdasarkan catatan Center for Marginalized Communities Studies (CMARS) Surabaya, polisi saat itu tidak melakukan tindakan untuk melindungi kelompok LGBT. Meraka justru meminta komunitas ini membubarkan diri dan tidak melanjutkan kegiatannya, (Anam dkk, 2016, hlm. 97). Contoh lain diskriminasi terhadap kelompok LGBT terjadi di Kota Surakarta seperti, sulit diterima sebagai siswa di lembaga pendidikan formal atau sebagai pegawai, dilecehkan secara verbal saat ingin mengakses sarana fasilitas publik seperti transportasi umum atau toilet umum, sulit mengakses pelayanan kesehatan baik di puskesmas atau rumah sakit, sering mengalami tindak kekerasan seksual secara verbal dan fisik khususnya waria yang berprofesi sebagai pelacur jalanan, Yuliani dan Dermatoto (dalam Yuliani, 2013, hlm. 3). Contoh-contoh tersebut merupakan bentuk diskriminasi yang dialami kelompok LGBT, justru menimbulkan pergerakan kelompok ini dalam memperoleh haknya tanpa  diskriminasi dengan menggunakgan Hak Asasi Manusia.
Semakin hari semakin terang-terangan pergerakan yang dilakukan oleh kelompok ini, sebagai upaya untuk meniadakan diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Beberapa komunitas yang muncul hari ini bergerak melalui media sosial, ini menjadi perhatian semua pihak tidak terlepas pula pemerintah. Sebelumnya diterangkan bahwa MK tengah mengkaji tentang LGBT ini apakah penyakit atau orientasi seksual, karena banyak kasus yang diajukan terkait diskriminasi terhadap kelompok LGBT. Indonesia yang menganut hukum positif seakan dijadikan celah untuk memperoleh haknya melalui HAM, padahal perilaku menyimpang tersebut jauh daripada hakikat kodrat manusia juga nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yang kita kenal sebagai dasar negara, pandangan hidup, sumber daripada sumber hukum yaitu Pancasila. Sebagaimana diungkapkan Kaelan (2014, hlm. 102) “Pandangan hidup yang terdiri atas kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur adalah suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri”.
Selanjutnya LGBT dapat dikatakan sebagai penyimpangan sesuai dengan apa yang dikatakan Kalidjernih (2010, hlm. 31) “Deviance istilah yang sering mengacu kepada pelanggaran aturan-aturan sosial yang bukan merupakan suatu hukum atau aturan legal”. Contoh, penyimpangan terhadap suatu pemikiran religius, sakit-jiwa dan homoseksual. Label penyimpangan terhadap LGBT tidak hanya sebatas disana Anam dkk (2016, hlm. 95) menjelaskan bahwa , “secara umum label “penyimpangan” terhadap identitas orientasi seksual menjadi titik awal rangkaian pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas jender dan orientasi seksual”. Hal tersebut diperkuat oleh Laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research (dalam Oetomo dkk, 2013, hlm. 29) “mengenai sikap terhadap homoseksualitas menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh 93% responden survei di dalam negeri dan hanya ada 3% yang bersikap menerima”. Data tersebut menunjukan  sikap penolakan terhadap homoseksualitas lebih besar. Dalih dengan adanya perlakuan diskriminasi karena perilaku menyimpang, menjadi senjata bagi mereka memperoleh haknya melalui HAM, terlepas dari itu perilaku mendiskriminasi memang selayaknya tidak boleh dilakukan terhadap siapapun. 
Penyimpangan Perilaku dari Nilai dan Norma di Masyarakat
            Fenomena LGBT di masyarakat merupakan penyimpangan perilaku yang tidak lazim dan menyimpang dari nilai dan norma di masyarakat. Keberadaan LGBT tidak banyak diketahui hanya transgender yang nampak dan mudah diketahui ini menandakan bahwa LGBT tidak mendeklarasikan dirinya ke hadapan publik sebagai LGBT, namun nyatanya mereka ada dan hidup di tengah masyarakat.  Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa, kriteria perbuatan susila adalah kehendak yang baik, keputusan akal yang baik dan penyesuaian dengan hakikat manusia. Sesuai dengan tujuan pendidikan maka perbuatan susila adalah perbuatan yang sesuia dengan nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila, (Surajiyo, 2000, hlm. 159). Penyebutan terhadap LGBT masih ada beberapa yang menyebutnya dengan istilah yang khas Indonesia seperti yang kita kenal homo dan  waria namun saat ini mereka tergabung dalam transgender. Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa, Orang-orang Indonesia masih nampak kebingungan untuk membedakan antara waria dan gay, padahal keduanya berbeda satu sama lain, kelihatannya gay Indonesia mulai menyebut diri mereka gay  dan lesbi pada tahun 1970 sampai awal 1980an (Boellstorff, 2006, hlm. 3). 
Banyak hal-hal yang dialami pada individu-individu LGBT, kebanyakan terjadi pada individu transgender. Baik ketika berkegiatan sehari-hari maupun berkegiatan dengan komunitas transgender melalui acara-acara, begitupun terjadi pada lesbian, gay, dan bisexual yang menghadiri dan mengadakan kegiatan  bersama komunitas  LGBT. Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa, sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan identitas gender mencerminkan  kontras antara mereka yang bersikap progresif dan bersedia menerima dengan populasi jauh lebih besar yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar. Sebagian besar masyarakat tidak mengenal orang LGBT yang membuka diri. Orang dengan orientasi seksual atau identitas gender yang beragam  mungkin mendapatkan sekedar toleransi dari pada penerimaan, meskipun hal ini hampir mustahil dapat diharapkan dari anggota keluarga, (Oetomo dkk, 2013, hlm. 10).
Pembahasan-pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Fenomena LGBT di masyarakat dipandang sebagai perilaku seksual yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang hidup dan dilaksanakan di masyarakat. Respon terhadap perilaku menyimpang dapat ditemukan ketika kebanyakn orang mengetahui tentang penyimpangan perilaku tersebut. Kebanyakan LGBT di Indonesia tidak mendeklarasikan diri sebagai LGBT namun Individu-individu LGBT yang non-konformitas lebih mudah diketahui. Segala bentuk kegiatan komunitas LGBT selalu mendapat penolakan karena perilaku seksualnya yang menyimpang, meski ada beberapa yang mentoleransinya. Penolakan tersebut dilandasi oleh pola pikir kesadaran moral masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Faktor Dalam dan Faktor Luar
            Banyak faktor  yang mempengaruhi seseorang menjadi individu-individu LGBT, pada umumnya faktor-faktor tersebut merupakan determinasi lingkungan yang dominan serta berlawanan dengan  identitas dirinya. Hanya beberapa indikasi yang tidak terlalu dominan muncul dari internal diri, selebihnya adalah faktor luar yang dominan sehingga mereka merasa nyaman dengan hal tersebut. Pengalaman masa lalu, lingkungan yang mendukung serta pertemuan dengan orang yang mengalami hal yang sama menjadikan hal tersebut terjadi dan dirasa nyaman kemudian bertahan dengan keadaan tersebut dengan sadar. Kegelisahan tentang perasaan suka terhadap sesama jenis, lingkungan bermain dan bergaul, pengalaman-pengalaman yang menandakan suka terhadap sesama jenis, serta pertemuan dengan orang yang merasakan hal yang sama sehingga hubungan seksual sesama jenis terjadi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa, pendekatan fisiologis, dalam tubuh manusia terdapat hormon-hormon pria dan wanita. keseimbangan yang relatif antara hormon-hormon tersebut merupakan faktor yang ikut menunjang kadar  maskulinitas atau feminitas dari individu. Penyelidikan-penyelidikan terhadap orang-orang homoseksual mengungkapkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu ketidakseimbangan hormon memang ada, tetapi pengaruhnya sebagai faktor penyebab munculnya homoseksualitas tidak pernah ditetapkan dengan pasti, (Semiun, 2006, hlm. 44).  Dapat ditarik kesimpulan bahwa  secara umum faktor yang menyebabkan seseorang menjadi LGBT dipengaruhi banyak oleh faktor luar diri, yang dilakukannya secara sadar meliputi pengalaman-pengalaman yang mengindikasikan suka terhadap sesama jenis dan pertemuan dengan orang yang merasakan hal yang sama. Faktor dalam diri hanya berawal dari ketidakseimbangan hormon hingga menyebabkan kegelisahan perasaan suka terhadap sesama jenis.
Perilaku yang Menyimpang dari Nilai-Nilai Pancasila
Semua agama yang diakui di Indonesia sesuai ajaran-ajarannya tidak megakui atau melarang pernikahan sesama jenis. Semua mengatakan bahwa perilaku LGBT ini menyimpang dari nilai-nilai religius. Namun pada dasarnya mereka juga makhluk ciptaan Tuhan.  Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa religiusitas Pancasila, sebagai sebuah gagasan yang dirumuskan Notonagoro, merupakan gagasan yang akan menjadi aktual kembali ketika kita berwacana untuk menafsirkan dan memperkuat kembali posisi dan vitalitas Pancasila dalam kehidupan berbangsa di negera kesatuan yang memiliki keserbamajemukan ini, terutama kemajemukan umat beragamanya, (Hidayatullah, 2016, hlm. 40).
Sesungguhnya mereka yang LGBT merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Harus ada upaya lain bagaimana untuk mengembalikan  harkat dan martabat mereka sebagai manusia dan  merangkul mereka,  agar terjauh dari kontradiksi yang justru menimbulkan perpecahan tanpa adanya solusi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada sila-sila pancasila merupakan nilai yang universal, dan dalam pengertian inilah soekarno mengistilahkan weltanschauung. Nilai-nilai tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi norma-norma kenegaraan maupun norma-norma moral untuk dilaksanakan dan diaktualisasikan oleh setiap warga negara Indonesia, (Kaelan, 2013, hlm. 676).  Selanjutnya sesuai dengan pendapat sebelumnya bahwa nilai Kemanusiaan merupakan kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya, (Supriyono, 2014, hlm. 340). 
Adanya kecenderungan stigma negatif justru aka nada yang merasa disudutkan dan didiskriminasi dalam menyikapi fenomena LGBT ini. Perlu adanya pengetahuan tentang nilai-nilai Pancasila dan pengetahuan mengenai bahaya seks bebas serta penyimpangan seksual sebagai upaya untuk meminimalisir kekisruhan yang tidak menuai solusi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila merupakan ideologi nasional yang meliputi dan memayungi segenap orientasi didalamnya. Artinya, adanya pandangan hidup-pandangan hidup dalam masyarakat diakui dan dibenarkan untuk berkembang, baik dengan mengeksplisitkan potensi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, maupun melalui akulturasi, (Poespowardojo, 1991 hlm.52-53). Sesuai dengan pendapaat sebelumnya dikatakan bahwa nilai persatuan merupakan usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dan sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia, (Supriyono, 2014, hm.340).
Kemudian para tokoh agama sepakat untuk mendukung pemerintah agar tidak melegalkan aktivitas LGBT secara perilaku menyimpang, serta tidak mengakui perkawinan sejenis. Hal tersebut sesuai dengan ajran-ajaran agama yang diakui di Indonesia yang tidak mengakui perkawinan sejenis.  Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa “…sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dalam Pancasila pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan terus memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan…,” (Pimpinan MPR & Tim Kerja Sosialisasi MPR, 2013, hlm. 45-78). Berdasarkan pemaparan pembahasan tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam menyikapi fenomena LGBT dilakukan dengan mengedepankan upaya-upaya yang demokratis, dengan melakukan dukungan terhadap pemerintah untuk tidak melegalkan LGBT secara perilaku dan tidak melegalkan perkawinan sejenis secara yuridis sebagai wujud pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Upaya Yuridis dan Non Yuridis
Upaya yang harus dilakukan dalam menyikapi dan meminimalisir penyimpangan LGBT semua tokoh agama dari 6 agama yang diakui di Indonesia sepakat untuk  mendorong pemerintah untuk tidak melegalkan aktivitas LGBT, dan  mendorong pemerintah untuk tidak melegalkan perkawinan sesama jenis. Karena hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama yang diakui di Indonesia sesuai kitab sucinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa eksistensi LGBT di Indonesia tidak mungkin diakui secara yuridis di Indonesia apabila dihadapkan pada Pancasila. sistem hukum Pancasila final sebagai identitas dan tidak akan pernah mencapai tujuannya yang bulat dan utuh. Bentuk, rumusan, isi dan tujuan yang akan dicapai kesemuanya masuk dalam ranah identitas Pancasila. dengan demikian sistem hukum Indonesia sudah mempunyai ketentuan-ketentuan sendiri sesuai dengan Pancasila dan tidak bisa menerima LGBT, (Manik dkk, 2016, hlm. 10).
Bagi pelaksanaan  nilai-nilai Pancasila dalam  melaksanakan HAM di Indonesia harus dilakukan tinajaun terhadap pelaksaan HAM di Indonesia dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Karena pada dasarnya pelaksanaan HAM harus disesuaikan dengan kondisi dimana HAM tersebut dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa perkembangan HAM secara kontemporer telah dibentuk oleh pemikiran Barat dan dalam hal ini, banyak konsep yang sering digunakan dalam perdebatan politik, seperti: demokrasi, keadilan, kebebasan, kesetaraan dan martabat manusia. Dengan demikian, sebagai upaya untuk menghentikan penggunaan kata-kata tersebut agar tidak secara otomatis diasosiasikan dengan konsep HAM, maka tugas kita sebagai orang Indonesia yang memiliki tata nilai dan tata kelakuan yang berbeda dengan bangsa Barat adalah dengan melonggarkan konsep-konsep HAM dari belenggu modernitas Barat dan merekonstruksi konsep-konsep HAM berdasarkan pemikiran dan nilai-nilai bangsa Indonesia, (Santoso, 2016, hlm. 228-229).
Selanjutnya sebagai upaya yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat harus  mengupayakan penyuluhan bahaya seks bebas dan perilaku seks menyimpang. Membekali diri dengan pengetahuan nilai-nilai religius sesuai kepercayaan yang dianut. Membekali diri dengan pengetahuan seksualitas yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila agar tidak ada kecenderungan untuk menghakimi dan tidak ada yang merasa didiskriminasi juga sebagai filter dari kecenderungan melakukan perilaku seksual menyimpang. Hal tersebut setidaknya mampu melengkapi pendapat ini yang hanya dipandang dari satu sisi , yang mengatakan bahwa pada tahun 2010, Komnas Perempuan menyatakan waria sebagai perempuan. Pada pertengahan tahun 2013, Komnas HAM untuk pertama kali dalam sejarahnya selama sepuluh tahun, mencantumkan hak-hak LGBT pada agenda sidang Pleno. Langkah ini sempat menimbulkan kontroversi antara para komisioner dan di media massa. Kesepakatan yang tercapai adalah bahwa kelompok LGBT harus mendapatkan perlindungan negara dari tindak kekerasan dan diskriminasi,  (Anam dkk, 2016, hlm. 101).
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa secara yuridis LGBT tidak dapat diterima secara legal karena bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kemudian dalam proses pelaksanaan nilai-nilai Pancasila khususnya dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia tidak mengakui adanya perkawinan sejenis. Hal ini menandakan konsistensi pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diskriminasi tidak dikehendaki , namun pelaksanaan HAM sebetulnya harus di sesuaikan dengan kondisi dimana HAM di terapkan, artinya HAM dilaksanakan sesuai kultur dan naturnya Indonesia, yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai sumber dari pada sumber segala hukum yang berlaku di Indonesia.  perlunya pengetahuan tentang seksualitas agar tidak banyak kecenderungan opini publik yang hadir malah menghadirkan kontradiksi tanpa solusi yang ujungnya malah saling mendiskriminasi. Juga sebagai filter dalam mebatasi diri sebagai untuk tidak terjebak dalam perilaku seksualitas yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Pengetahuan tentang bahaya seks bebas juga perlu untuk menghindarkan diri dari dari kecenderungan perilaku menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.


Simpulan
Secara umum tinjauan nilai-nilai Pancasila mengenai fenomena LGBT yang menyimpang ini, semua ajaran agama yang diakui di Indonesia sepakat bahwa tidak mengakui adanya perkawinan sejenis dan menyatakan bahwa hal tersebut adalah penyimpangan perilaku. Pada hakikatnya LGBT pun merupakan ciptaan Tuhan yang harus dijunjung tinggi martabatnya namun dengan cara-cara dan  metode yang tidak menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dalam proses merangkulnya. Pelaksanaan HAM di Indonesia harus disesuaikan dengan kultur dan naturnya Indonesia tanpa mengesampingkan instrument HAM Internasional, karena pada dasarnya perlakuan diskriminatif tidak dikehendaki. Stigma yang bergulir dengan opini tanpa dasar pengetahuan justru akan memperkeruh suasana dan tidak menghadirkan solusi, perlu adanya pengetahuan tentang nilai-nilai Pancasila dan pengetahuan tentang seksualitas agar tidak lagi ada opini yang menimbulkan kontradiksi yang tidak kunjung selesai, serta agar tidak terjebak dalam penyimpangan perilaku seksual. Tidak melegalkan segala aktivitas menyimpang LGBT dan tidak melegalkan perkawinan sejenis merupakan upaya untuk menjaga keutuhan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. penyuluhan tentang bahaya seks bebas serta pengetahuan seksualitas untuk menghindarkan segenap generasi bangsa dari segala bentuk penyimpangan perilaku seksual serta untuk tidak saling mendiskriminasi.
Secara khusus dapat disimpulkan sebagai berikut;
1.      Tidak banyak faktor internal diri yang mempengaruhi seseorang hingga menjadi LGBT, kebanyakan merupakan faktor eksternal yang pada prosesnya menguat dan dilakukan secara sadar.
2.      Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara utuh dapat membentengi diri dari segala kecenderungan perilaku menyimpang baik diskriminasi, maupun penyimpangan perilaku seksual.
3.      Pelaksanaan HAM di Indonesia harus disesuaikan dengan kultur dan naturnya bangsa Indonesia.
4.      Seksualitas merupakan hal tabu untuk dibicarakan di masyarakat kita, namun sebetulnya pengetahuan tentang seksualitas akan menghindarkan dari segala penyimpangan perilaku seksual.
5.      Untuk dapat mengidentifikasi dari orang yang memiliki kecenderungan LGBT, dengan memperhatikan gaya berpakaian, gaya berbicara, serta gesture ketika berada di masyarakat.
6.      Penguatan civic disposition khususnya dalam norma-norma asusila yang bersandar pada nilai-nilai Pancasila mampu menjadi pondasi guna terhindar dari penyimpangan perilaku seksual.
7.      Pendidikan tentang seksualitas sepatutnya terintegrasi dengan mata pelajaran secara formal sesuai jenjang dan sesuai rantang usia, harus dilakukan sebagai benteng penyelamat bagi generasi bangsa dalam upaya meminimalisir degradasi moral bangsa.

Tulisan disadur dari :

Hafidin,Wildan.(2017). (Skripsi).Tinjauan Terhadap Fenomena Lgbt (Lesbian, Gay, Bisexual And Transgender) Dalam Perspektif Nilai-Nilai Pancasila. Departemen Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI.
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: