Saturday, August 31, 2013

Bukan Sembarang Tulisan

Oleh Lina Agustina
  • Mahasiswa adalah kaum elit dan intelektual. Sebagai garda sekaligus basis terdepan dari masyarakat (agent of change). Tentunya, kita masih ingat tahun 1998 disaat negara Indonesia sedang mengalami krisis moneter. Situasi politik, ekonomi, hukum dan segala bidang kehidupan sedang diambang kehancuran. Desakan reformasipun muncul dari berbagai kalangan terutama mahasiswa. Tragedi Trisakti menjadi bukti api sejarah di akhir pemerintahan orde baru.
    Kini kondisi Indonesia mulai stabil, membangun lagi masa keemasan dan kejayaan Indonesia. Cukup sudah Tragedi Trisakti menjadi catatan sejarah dibumi pertiwi ini yang tak akan terulang kembali. Saatnya generasi mudalah yang mengisi dan meneruskan perjuangan kemerdekaan negara ini dengan acara apapun yang konstruktif. Sudah 68 tahun negara Indonesia merdeka, merdeka dalam arti terbebas dari belenggu penjajah. Negara yang berdiri mandiri tanpa intervensi asing. Negara yang dapat mengurusi pemerintahan dan rakyatnya sendiri dengan mengelola potensi alam yang dimiliki bumi pertiwi ini.
    Namun, timbul pernyataan dari segelintir rakyat kita, “Negara kita memamg sudah merdeka, tapi sebernarnya kita belum merdeka dalam arti sepenuhnya”. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Tentu sebagai bangsa yang beradab kita harus bersyukur atas karunia Tuhan yang amat begitu besar bagi bangsa kita yaitu sebuah kemerdekaan. Seperti yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-3, “ Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan olek keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaab yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
    Paradigma itu muncul dari kalangan masyarakat yang memang kurang memaknai arti dan makna kemerdekaan. Memang kita akui, masih ada intervensi negara asing terutama dalam bidang ekonomi menguasai pasar Indonesia dan sebagian besar kekayaan alam negara ini di olah oleh PT asing. Maka, timbulah rasa kecewa dan ketidakpuasan atas kebijakan publik yang merembet pada kesenjangan sosial. Acap kali hal ini menjadi factor kuat yang mengurangi rasa kepercayaan terhadap pemerintah. Tak sedikit masalah-masalah sosial yang sedang melanda negeri ini. Dimulai dari kasus korupsi para oknum pejabat negara, jual beli pasal “hukum”, kasus suap, banyaknya angka pengangguran, kerusuhan antar suku, tawuran pelajar, masalah disentegrasi bangsa dengan adanya keinginan suatu wilayah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI dan masalah lainnya. Akankah kita sebagai anak bangsa membiarkannya? Tentu, tidak.
    Pokok permasalahannya ialah bagaimana solusi secara nyata yang setidaknya dapat meredam atau mengurangi konflik itu. Walau memang konflik itu pasti aka nada dalam kehidupan masyarakat sekalipun pada masyarakat madani. Tapi, kita juga harus cakap menilai konflik dan manfaatnya tidak selamanya berdampak negative. Mengutip pendapat dari W.Clay Hammer dan Dennis W. Organ (1978) menegaskan “bahwa suatu konflik mengakibatkan dampak positif dan negative. Dampak positif dari konflik adalah mencegah terjadinya stagnasi, memberikan suatu rangsangan terhadap timbulnya kepentingan dan keingintahuan, media untuk mengungkapkan berbagai persoalan untuk kemudian dicari pemecahannya,..”.
    Kemudian apa yang seharusnya kita lakukan? Menurut hemat saya dalam menanggapi permasalahan-permasalahan bangsa ini yang cukup pelik bahkan dapat merusak keutuhan NKRI ini perlu melibatkan beberapa dimensi kehidupan dan berbagai kalangan dilihat dari sudut pandang mana permasalahan itu dilihat.
    Inilah yang dibutuhkan oleh oleh negeri kita saat ini yaitu berbagai aspirasi-aspirasi dan bentuk tindakan yang konkrit. Contohnya menumbuhkan semangat juang dari para generasi penerus bangsa dengan menanamkan rasa nasionalisme dan patriotism sejak dini, mengkaji kajian isu-isu sosial dengan ikut terlibat memberikan solusi, pengabdian pada masyarakat, maupun menciptakan terobosan-terobosan dalam penelitian baru baik dalam ilmu pengetahuan maupun teknologi sesuai Tri Dharma PT. Kemudian merevitalisasi kembali lembaga-lembaga negara dengan membersihkan image dan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan melaksanakan fungsi dan kinerjanya sesuai UUD’45. Karena bahwasanya negara kita ini merupakan negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD NKRI 1945).
    Dari kedua elemen masyarakat tadi yaitu kaum terpelajar ‘mahasiswa’ dan para tokoh negara dapat bekerja sama secara konstruktif dengan menumbuhkan kepercayaan dan meniadakan rasa keegoisan masing-masing fihak. Ada salah satu istilah dalam budaya Jepang yang menurut saya sangat bermakna dan kita bisa mengambil hikmahnya yaitu shame culture (budaya malu). Budaya malu yang dimaksud disini yaitu budaya malu jika melakukan kesalahan atau menyimpang dari aturan nilai dan norma masyarakat maupun konstitusi negara. Mungkin hasil pengamatan saya saat ini negara kita kurang menumbuhkan budaya malu. Khusus bagi para pemimpin atau pejabat negara malu jika tidak melaksanakan amanah rakyat, malu jika memakan uang rakyat. Sekiranya, jika bangsa kita membudayakan budaya malu tentunya kasus korupsi tidak akan marak seperti sekarang ini.
    Landasan fundamental sebenarnya adalah masayarakat kita kurang menumbuhkan IMTAK (Iman dan Takwa). Jika, sepenuhnya rakyat Indonesia menumbuhkan IMTAK nya secara sadar dan keikhlasan akan menyertai setiap langkah kehidupannya pada jalan yang baik dan ridho oleh Tuhan YME. Maka oleh sebab itu sebagai bangsa yang berketuhanan sesuai sila pertama pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi pondasi utama yang perlu ditaati dan dijalankan. Kemudian, kita sebagai bangsa yang beragam tetap memegang kesatuan yang utuh “Bhineka Tunggal Ika” dengan menjunjung rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
    Selain itu, dimasa modernisasi dan pengaruh globalisasi ini negara dan bangsa Indonesia harus tetap berpegang teguh pada karakter bangsanya sendiri. Sikap ramah-tamah dan sopan-santun yang tetap harus dibudayakan di kehidupan masyarakat sesuai nilai-nilai pancasila dan norma yang berlaku. Teringat kalimat pidato yang dilontarkan oleh Bapak Proklamator kita “Soekarno Hatta” : Janganlah kita menjadi bangsa yang lupa akan jas merah. Maksudnya jangan sesekali menjadi bangsa yang lupa akan sejarah bangsanya sendiri.
    Dari berbagai solusi yang tertuang ini mudah-mudahan menjadi salah satu motor penggerak untuk ikut berperan tanggap terhadap permasalahan bangsa ini. Bukan hanya bela negara dengan fisik saja sebagai tanda bakti pada negar, tetapi dengan tindakan dan buah fikir yang bermanfaat bagi orang lain dan khususnya bagi bangsa Indonesia. Jika dengan tindakan tak bisa berbuat maka tulisanlah yang berbicara. Tentunya bukan sembarang tulisan.
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: