Sunday, July 28, 2013

Relakah Si kecil Manis Bermasa Depan Tragis ?

Oleh Yusup Bachtiar*

Begitu banyak kenangan ceria dan manis ketika kita berada di era 90-an. Ketika pagi hari kita disajikan dengan nyanyian lagu anak-anak yang begitu khas dan ceria. Ketika orang tua kita mengajak untuk menyanyikan lagu-lagu tersebut dan ketika itu pula nyanyian tersebut yang menemani dunia bermain anak-anak. Begitulah masa kanak-kanak yang saya alami dan masih terus teringat hingga saat ini. Mungkin kalian masih ingat lagu Menanam jagung, Ambilkan Bulan Bu, lagu di obok-obok yang dinyanyikan oleh Joshua Suherman dengan Video klipnya bersama Tukul Arwana, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Tasya, Tina Toon, Giofani, Saskia bersama eyang Titiek Puspa ataupun papa T. bob, bahkan yang paling mengesankan adalah ketika munculnya film petualangan Sherina dengan drama musikalnya membuat imajinasi anak-anak seolah-olah berada dalam adegan film tersebut. Hal tersebutlah yang menjadi warna baru dalam menghiasi dunia kanak-kanak pada saat itu.
Dari sekian banyak lagu anak-anak yang muncul di era tersebut begitu kental akan esensi ajakan untuk berbuat sebuah kebaikan ataupun bersikap sopan dan santun. Jika kita perhatikan kemasan lirik-lirik yang disajikan pun begitu ringan dicerna oleh usia anak-anak. Seperti lagu menabung, aku anak Indonesia, kasih ibu dll. Selain itupun sikap lucu dan ceria yang menjadi salah satu penghias dan sehingga membuat masa itu khas sekali dalam pembentukan karakter seorang anak. Begitupun Embrio karakter yang dibangun salah satunya melalui pembiasaan yang dikolaborasikan dengan lirik-lirik ataupun nyanyian khas anak-anak pada saat itu. Jika kita cermati kutipan dari Bernard Shaw  dalam Theory of The Harvest (Teori Hukum Panen)

“jika kita menanam pikiran maka akan menuai tindakan. Jika kita menanam tindakan maka akan menuai kebiasaan.  Jika kita menanam kebiasaan maka akan menuai karakter. Jika kita menanam karakter maka akan menuai pencapaian”.

                  Dari kutipan tersebut dapat kita cermati bahwa untuk membangun karakter anak bangsa yang bermoral tentunya perlu kita lihat fondasi apa yang akan kita tanam pada diri mereka.  Jika kita didik dan sajikan dengan hal-hal yang belum semestinya di dapat, maka moral yang dibangun pun akan menyimpang. Hal ini lah yan terjadi di era globalisasi dan modernisasi serta era Borderless  (tanpa batas) dimana nasib anak-anak sekarang ternodai dengan sajian-sajian musik dan tayangan yang belum pantas untuk mereka (anak-anak dibawah umur) nikmati. Kita tarik sebuah fenomena ketika dahulu di era 90-an kita begitu nyaman dengan bermunculan lagu anak-anak dan artis ciliknya, sekarang malah begitu miris dan kontradiktif. Lagu-lagu yang bermunculan dan sering disajikan di televise bahkan radio tidak memberikan sajian yang mendidik bagi anak-anak. Bahkan masa ini cukup dibilang krisis lagu anak-anak. Sajian dan produksi music tidak lagi mempunyai sisi idealismenya dalam menelurkan sebuah karyanya. Lagu-lagu yang bermunculan hampir semua menceritakan tentang sisi remaja dan orang dewasa yang cenderung akan percintaan ataupun kasmaran, namun sebaliknya produksi lagu anak-anak cenderung kalah oleh permintaan pasar yang notabene music remaja dan dewasa.

                  Melihat keadaan seperti ini membuat kita seharusnya tersentak terhadap kepedulian nasib generasi penerus yang dari kecil sudah dicekoki oleh hegemoni lagu remaja dan dewasa.  Memang kemunculan artis cilik di tahun-tahun ini ada seperti Umay dan Kesya Alvaro diantaranya, namun eksistensinya masih kalah dengan keadaan zaman sekarang yang terkesan menggerus ,moral anak bangsa. Selain itu yang menjadi perhatian saya selama ini ketika memperhatikan acara-acara di stasiun TV yang mencoba mengakomodir dunia bakat anak namun pada kenyataannya penampilan-penampilan bakat yang muncul belum sesuai dengan umur anak kecil. Lagu-lagu yang dinyanyikan pun kadang-kadang tidak sesuai dengan usianya. Fenomena seperti ini butuh perhatian yang sangat mendalam. Kenapa demikian? Karena berkaitan dengan nasib anak bangsa dikemudian hari. Pertama, pemerintah harus memberi kebijakan berkaitan dengan kebijakan siaran media untuk memberi ruang kepada anak-anak agar diberikan tayangan atau program music khusus anak-anak (dengan catatan program yang diusung harus memiliki kriteria yang sesuai dengan karakter anak-anak dan tidak terkontaminasi dengan hal yang berbau remaja atau dewasa). Kedua, butuh kerja sama dengan pemusisi untuk menciptakan sebuah karya music yang mencerminkan karakter anak bangsa seperti halnya yang dilakukan oleh Alm. A.T Mahmud, papa T. bob, Titiek Puspa dll.  Ketiga, sinkronisasi lembaga pendidikan anak usia dini ataupun sejenisnya yang turut mengembangkan dan mengkolaborasikan dengan proses pengajaran. Keempat, peran dari orang tua sebagai agent control yang paling dekat dengan anak di lingkungan primer yang harus turut pula memperhatikan hal tersebut dan jangan sampai ada pembiaran nasib dunia anak saat ini. Mari kita mulai percikan sinar harapan untuk generasi penerus bangsa selanjutnya yang memiliki nilai, karakter dan moral yang baik serta santun dalam berpikir maupun bersikap.

*) Penulis, Wakil Ketua Umum BEM HMCH FPIPS UPI 2013-2014
Previous Post
Next Post

Unit Pers dan Penerbitan HMCH adalah salah satu unit khusus dalam intern Himpunan Mahasiswa Civics Hukum Jurusan Pendidikan Kewaganegaraan FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia yang bergerak di bidang jurnalistik

0 comments: