Oleh Yusup Bachtiar*
Begitu
banyak kenangan ceria dan manis ketika kita berada di era 90-an. Ketika pagi
hari kita disajikan dengan nyanyian lagu anak-anak yang begitu khas dan ceria. Ketika
orang tua kita mengajak untuk menyanyikan lagu-lagu tersebut dan ketika itu
pula nyanyian tersebut yang menemani dunia bermain anak-anak. Begitulah masa
kanak-kanak yang saya alami dan masih terus teringat hingga saat ini. Mungkin
kalian masih ingat lagu Menanam jagung, Ambilkan Bulan Bu, lagu di obok-obok yang
dinyanyikan oleh Joshua Suherman dengan Video klipnya bersama Tukul Arwana, lagu-lagu
yang dinyanyikan oleh Tasya, Tina Toon, Giofani, Saskia bersama eyang Titiek
Puspa ataupun papa T. bob, bahkan yang paling mengesankan adalah ketika
munculnya film petualangan Sherina dengan drama musikalnya membuat imajinasi
anak-anak seolah-olah berada dalam adegan film tersebut. Hal tersebutlah yang
menjadi warna baru dalam menghiasi dunia kanak-kanak pada saat itu.
Dari
sekian banyak lagu anak-anak yang muncul di era tersebut begitu kental akan
esensi ajakan untuk berbuat sebuah kebaikan ataupun bersikap sopan dan santun.
Jika kita perhatikan kemasan lirik-lirik yang disajikan pun begitu ringan
dicerna oleh usia anak-anak. Seperti lagu menabung, aku anak Indonesia, kasih
ibu dll. Selain itupun sikap lucu dan ceria yang menjadi salah satu penghias
dan sehingga membuat masa itu khas sekali dalam pembentukan karakter seorang
anak. Begitupun Embrio karakter yang dibangun salah satunya melalui pembiasaan
yang dikolaborasikan dengan lirik-lirik ataupun nyanyian khas anak-anak pada
saat itu. Jika kita cermati kutipan dari Bernard Shaw dalam Theory of The Harvest (Teori Hukum
Panen)
“jika kita menanam pikiran maka akan
menuai tindakan. Jika kita menanam tindakan maka akan menuai kebiasaan. Jika kita menanam kebiasaan maka akan menuai
karakter. Jika kita menanam karakter maka akan menuai pencapaian”.
Dari kutipan tersebut dapat
kita cermati bahwa untuk membangun karakter anak bangsa yang bermoral tentunya
perlu kita lihat fondasi apa yang akan kita tanam pada diri mereka. Jika kita didik dan sajikan dengan hal-hal
yang belum semestinya di dapat, maka moral yang dibangun pun akan menyimpang.
Hal ini lah yan terjadi di era globalisasi dan modernisasi serta era Borderless (tanpa batas) dimana nasib anak-anak sekarang
ternodai dengan sajian-sajian musik dan tayangan yang belum pantas untuk mereka
(anak-anak dibawah umur) nikmati. Kita tarik sebuah fenomena ketika dahulu di
era 90-an kita begitu nyaman dengan bermunculan lagu anak-anak dan artis
ciliknya, sekarang malah begitu miris dan kontradiktif. Lagu-lagu yang
bermunculan dan sering disajikan di televise bahkan radio tidak memberikan
sajian yang mendidik bagi anak-anak. Bahkan masa ini cukup dibilang krisis lagu
anak-anak. Sajian dan produksi music tidak lagi mempunyai sisi idealismenya
dalam menelurkan sebuah karyanya. Lagu-lagu yang bermunculan hampir semua
menceritakan tentang sisi remaja dan orang dewasa yang cenderung akan
percintaan ataupun kasmaran, namun sebaliknya produksi lagu anak-anak cenderung
kalah oleh permintaan pasar yang notabene music remaja dan dewasa.
Melihat keadaan seperti ini
membuat kita seharusnya tersentak terhadap kepedulian nasib generasi penerus
yang dari kecil sudah dicekoki oleh hegemoni lagu remaja dan dewasa. Memang kemunculan artis cilik di tahun-tahun
ini ada seperti Umay dan Kesya Alvaro diantaranya, namun eksistensinya masih
kalah dengan keadaan zaman sekarang yang terkesan menggerus ,moral anak bangsa.
Selain itu yang menjadi perhatian saya selama ini ketika memperhatikan
acara-acara di stasiun TV yang mencoba mengakomodir dunia bakat anak namun pada
kenyataannya penampilan-penampilan bakat yang muncul belum sesuai dengan umur
anak kecil. Lagu-lagu yang dinyanyikan pun kadang-kadang tidak sesuai dengan
usianya. Fenomena seperti ini butuh perhatian yang sangat mendalam. Kenapa
demikian? Karena berkaitan dengan nasib anak bangsa dikemudian hari. Pertama,
pemerintah harus memberi kebijakan berkaitan dengan kebijakan siaran media untuk
memberi ruang kepada anak-anak agar diberikan tayangan atau program music khusus
anak-anak (dengan catatan program yang diusung harus memiliki kriteria yang
sesuai dengan karakter anak-anak dan tidak terkontaminasi dengan hal yang
berbau remaja atau dewasa). Kedua, butuh kerja sama dengan pemusisi untuk
menciptakan sebuah karya music yang mencerminkan karakter anak bangsa seperti
halnya yang dilakukan oleh Alm. A.T Mahmud, papa T. bob, Titiek Puspa dll. Ketiga, sinkronisasi lembaga pendidikan anak
usia dini ataupun sejenisnya yang turut mengembangkan dan mengkolaborasikan
dengan proses pengajaran. Keempat, peran dari orang tua sebagai agent control yang paling dekat dengan
anak di lingkungan primer yang harus turut pula memperhatikan hal tersebut dan
jangan sampai ada pembiaran nasib dunia anak saat ini. Mari kita mulai percikan
sinar harapan untuk generasi penerus bangsa selanjutnya yang memiliki nilai,
karakter dan moral yang baik serta santun dalam berpikir maupun bersikap.
*) Penulis, Wakil Ketua Umum BEM HMCH FPIPS UPI 2013-2014
0 comments: